PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak 2015 akan digelar di 169 wilayah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota. Dari 169 daerah terseÂbut, paling tidak ada 11 kabupaten/kota yang figur calon petahana nya kuat, yaitu Serang, Bantul, BoyoÂlali, Surabaya, Situbondo, Banyuwangi, Pacitan, Kediri, Kutai Kartanegara, Jembrana, dan Denpasar.
OLEH: IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
Belakangan diduga bahwa akan ada paling tidak tiga daerah yang mungkin akan terjadi penundaan pilkada akibat terlalu kuatnya calon petahana, yaitu di Kutai KartanegaÂra, Kalimantan Timur, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, dan Banyuwangi, sedangkan di Kota Surabaya, walaupun figur petahananyasangat kuat, yaitu pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana, koÂalisi Majapahit yang terdiri atas Partai DeÂmokrat, Gerindra, PKB, Golkar, PKS, dan PAN masih berupaya untuk memunculkan calon penantang Risma-Wisnu.
Meski jumlah daerah yang mungkin terjadi penundaan jumlahnya amatlah keÂcil, ini akan tetap mengganggu jalannya demokrasi kita dan proses penyerempakanpilkada di seluruh Indonesia pada 2027. Kita semua tahu bahwa pilkada serentak di 169 daerah ialah langkah awal menuju peÂmilu serentak di seluruh wilayah IndoneÂsia, tahap kedua akan dilaksanakan pada 2017. Dekatnya jadwal pilkada serentak 2015 dan 2017 itu, wacana untuk menunda pilkada di beberapa wilayah pun dihemÂbuskan oleh partai atau kelompok parÂtai yang tidak mampu memilih pasangan bakal calon kepala daerah yang dapat menantang dan mengalahkan pasangan petahana yang kuat.
Alasan politik di balik penundaan pilkaÂda itu ialah jika pilkada ditunda pada 2017, berarti calon petahana tidak akan memiliki posisi dan karisma politik yang cukup kuat sehingga dapat dikalahkan pada kontestasi politik tersebut. Cara perhitungan ini seÂcara matematis politik belum tentu menÂjadi kenyataan, karena rakyat tentunya sudah sangat pintar sehingga mengetahui dengan pasti partai atau kelompok partai mana yang mengorbankan kepentinganrakyat dan masa depan demokrasi hanya demi meraih kekuasaan lima tahunan. Rakyat juga tahu bahwa jika pilkada diÂtunda dan kepala daerah dijabat seorang caretaker, ia tidak memiliki otoritas untuk membuat kebijakan strategis pembanguÂnan di wilayah itu yang berarti kepentÂingan rakyat akan terganggu. Wacana penundaan pilkada juga akan dinilai rakyat sebagai kebijakan pengecut dari partai atau gabungan partai yang tidak berani maju dalam kontestasi politik yang sehat dan demokratis. Pengusul atau pengusung penundaan pilkada akan dipandang sebÂagai politikus yang pandangan politiknya amat cupet yang hanya memperhitungkan kalah menang dalam kontestasi politik dan bukan berpikir sebagai negarawan yang melihat ke depan masa depan demokrasi kita dan kepentingan rakyat secara keseluÂruhan.
Kita juga tahu wacana penundaan pilkada bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, kelompok partai yang tergabung di Koalisi Merah Putih (KMP) juga melakukan berbagaicara agar pilkada ditunda karena ada sempalan dua partai yang tidak dapat mengajukan calonnya di pilkada, yakni ParÂtai Golkar dan Partai Persatuan PembanguÂnan (PPP). Itu pula yang mendasari KMP yang mengadakan pertemuan-pertemuan khusus antara komisi III DPR-RI, KPU, BaÂwaslu, dan kementerian Dalam Negeri untuk memungkinkan Golkar dan PPP mengajukan calon yang diajukan secara terpisah oleh pengurus partai yang terpeÂcah, asalkan nama yang mereka ajukan sama. Kutak-katik aturan pilkada yang tiÂdak sesuai denganundang-undang ini merÂeka buat agar kepentingan politik dari faksi Golkar dan PPP yang ada di KMP terjaga.
Namun, adalah kenyataan bahwa tiÂdak sedikit bakal calon kepala daerah dari Partai Golkar yang memilih untuk menjadi calon independen atau mencari kendaÂraan politik dari partai lain, seperti PDIP, Gerindra, atau PKS. Itu yang menjadikan persoalan pengajuan daftar pasangan calon kepala daerah menjadi rumit dan bukan mustahil merugikan Partai Golkar. Tanpa ada kearifan politik di kalangan para pengurus teras Partai Golkar, partai ini akan mengalami kerugian politik yang amat dahsyat pada pilkada serentak 2015. Itu juga akan mengurangi modal politik Golkar pada pemilu nasional serentak pada 2019.
Kegagalan Partai Politik
Bila kita kaji lebih lanjut, upaya unÂtuk menunda pelaksanaan pilkada serenÂtak pada 9 Desember 2015, baik secara keseluruhandi semua daerah atau hanya di sebagian daerah pemilihan, menunjukkan betapa sebagian partai politik di Indonesia tidak menjalankan peran dan fungsinya seÂcara baik. Ada beberapa butir penting yang patut dikemukakan di sini.
Pertama, partai-partai politik di IndoÂnesia secara keseluruhan ialah institusi yang belum melakukan reformasi politik di dalam dirinya sendiri. Di kala kita sejak 1998 bicara mengenai desentralisasi dan otonomi daerah di bidang pemerintahan, partai-partai politik justru memperkuat konsep sentralisasi kekuasaan di tangan Dewan Pimpinan Pusat Partai. Dalam meÂnentukan para bakal calon kepala daerah juga sangat ditentukan oleh DPP partai. Ini semakin diperkuat di dalam undang-undang politik yang terkait dengan parpol dan pilkada. Para pembuat UU itu ialah pemerintah dan anggota DPR yang berasal dari partai-partai politik. Partai Demokrat di era Anas Urbaningrum sempat menerapkan wacana otonomi pengurus daerah dalam menentukan bakal calon kepala daeÂrah. Namun, sejak Anas digulingkandan digantikan Susilo Bambang Yudhoyono, penguatan posisi DPP dalam penentuan bakal calon kepala daerah kembali terjadi.
Kedua, walaupun PDIP melakukan sekolah partai untuk mempersiapkan para bakal calon kepala daerah yang berasal dari partainya, secara keseluruhan semua partai belum melakukan pendidikan poliÂtik, rekrutmen politik, dan kaderisasi poliÂtik yang baik. PKS mungkin ialah partai yang masih melakukan kaderisasi politik secara berjenjang dengan baik. Namun, dalam hal penentuan siapa menjadi bakal calon kepala daerah, semua partai masih mengandalkan ‘politik keroyokan’ agar duÂkungannya semakin kuat menghadapi satu atau gabungan parpol yang memiliki calon amat kuat untuk memenangi pilkada.
Ketiga, para pengurus di sebagian beÂsar parpol lebih banyak mengajukan para bakal calon kepala daerahnya atas dasar hitung-hitungan untung rugi finansial dan kalah menang politik, ketimbang keberaÂnian untuk maju terus pantang mundur, menang atau kalah. Padahal, kita tahu bahÂwa seorang calon kepala daerah yang kuat, apakah petahana atau bukan, dapat saja dikalahkan seorang calon underdog seperÂti yang terjadi dalam kasus pilgub di Jawa Barat saat Ahmad Heryawan mengalahkan Agum Gumelar, atau saat Ganjar Pranowo meluluhlantakkan kekuatan petahana BibÂit Waluyo pada Pilgub Jawa Tengah.
Keempat, sebagian besar pengurus partai atau bahkan bakal calon kepala daeÂrah tidak jarang lebih fokus pada persoaÂlan finansial ketimbang keseriusan untuk ikut kontestasi politik di pilkada. MaksudÂnya, ada bakal calon yang memiliki massa pendukung cukup banyak, tetapi bersedia untuk tidak maju pilkada karena ada calon kuat yang memberikan ‘mahar politik’ yang jumlahnya sampai puluhan miliar ruÂpiah. Sebaliknya, ada pula kelompok parÂtai atau calon yang bersedia maju sebagai ‘calon boneka’ untuk menantang calon petahana yang kuat agar persyaratan dua calon kepala daerah terpenuhi.
Kelima, hingga saat ini, semua partai di Indonesia tidak berusaha melakukan rekayasa politik melalui undang-undang ataupun peraturan partai yang memungÂkinkan murahnya penyelenggaraan pemilu dalam bentuk apa pun, apakah pemilu legÂislatif, pemilu presiden langsung, maupun pilkada. Uang masih menjadi kendala atau bahkan alat dagang politik.
Reformasi Total
Penguatan demokrasi di Indonesia akan terjadi bila partai-partai politik dapat mereformasi diri mereka secara total. Desentralisasi institusi partai ialah suatu keniscayaan bila kita menginginkan hiruk pikuk politik di pusat partai tidak berdampak negatif pada proses politik di daerah.
Pemerintah juga harus memberikan subsidi finansial yang cukup agar partai-partai politik dapat melakukan fungsi dan perannya secara baik dalam melakukan komunikasi politik, pendidikan politik, pengendalian konfl ik, rekrutmen politik, kaderisasi, dan sebagainya. Itu juga akan mengurangi politik uang secara signifikan dalam pemilu nasional dan pilkada. DenÂgan demikian, wacana untuk menunda pilkada karena hanya ada calon tunggal tidak akan terulang kembali. Para penguÂrus di sebagian besar parpol lebih banyak mengajukan para bakal calon kepala daeÂrahnya atas dasar hitung-hitungan untung rugi finansial dan kalah menang politik, ketimbang keberanian untuk maju terus pantang mundur, menang atau kalah. (*)