A1---5082015-BogorTodayMESKI dihapus Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintahan Jokowi-JK kembali mengusulkan pasal penghinaan Presiden dalam RUU KUHP. Pasal 263 KUHP tersebut sudah diusulkan sejak pemerintahan Presiden SBY. Namun kandas di meja MK.

RIZKY DEWANTARA|YUSKA APITYA
[email protected]

Putusan MK kan 2006. Kemudian pemerintah SBY usul­kan 2012, tapi tidak tuntas pembahasannya sehingga dikembalikan lagi pada pemerintah,” ujar Tim Komuni­kasi Presiden Teten Masduki di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta, Selasa (4/8/2015).

 Teten menjelaskan, pada pemerin­tahan saat ini melalui Menkum HAM dan DPR diputuskan untuk masuk dalam Prolgenas 2015. Menurut Teten, secara substansi sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan pemerin­tahan lalu. “Bedanya pasal-pasal yang diusulkan itu berbeda dengan yang diputus MK,” kata Teten tanpa merinci pasal yang dimaksud.

Teten mengatakan, pasal yang ada saat ini di KUHP merupakan pasal karet. Sebab siapapun bisa dikenakan pidana karena tergantung interpretasi penegak hukum.

“Nah kalau di RUU yang baru itu pasalnya lebih jelas supaya tadi misal­nya mereka yang lakukan kontrol ter­hadap pemerintah demi kepentingan umum tidak dikenakan pidana. Tapi kalau penghinaan misalnya, fitnah, itu bisa dikenakan,” paparnya.

Pasal Penghinaan Presiden diha­puskan Mahkamah Konstitusi (MK) karena sangat membahayakan bagi de­mokrasi. Namun, Presiden Joko Wido­do (Jokowi) kembali mengusulkan pasal itu ke DPR untuk dihidupkan lagi dalam RUU KUHP. “Kalau saya pribadi, sejak walikota, gubernur, presiden, itu yang namanya diejek, dicemooh, dicaci, dihina, sudah makanan sehari hari. Dan sebetulnya yang seperti itu bisa di… kalau saya mau bisa saja itu dipidanakan. Bisa ribuan kalau begitu, kalau saya mau,” kata Jokowi kepada wartawan di Pluit, Jakarta Utara, Selasa (4/8/2015).

Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang disodorkan Presiden Jokowi ke DPR berbunyi: Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana pen­jara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV

BACA JUGA :  Resep Membuat Tumis Tahu Kuning dan Tauge, Lauk Praktis dan Sederhana di Tanggal Tua

Ruang lingkup Penghinaan Pres­iden diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempel­kan tulisan atau gambar sehingga ter­lihat oleh umum, atau memperden­garkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

“Tapi hingga detik ini hal tersebut tidak saya lakukan. Tapi apapun nega­ra kita ini bangsa yang penuh kesantu­nan,” ucap Jokowi.

Pasal itu di UU KUHP sudah dihapus oleh MK pada tahun 2006. Tidak hanya menghapus Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP, MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus nor­ma itu dari RUU KUHP. “Tapi masalah kedua, masalah kedua ini tentang pasal penghinaan, ini kan masih rancangan, usulan rancangan kepada dewan,” ujar Jokowi.

“Kalau saya lihat di situ sebetulnya itu untuk memproteksi orang-orang yang kritis, yang ingin melakukan pen­gawasan untuk tidak dibawa ke pasal karet, jangan dibalik-balik. Itu justru memproteksi. Jadi yang ingin mengkriti­si memberi pengawasan koreksi silakan, jangan sampai nanti ada yang memba­wa ke pasal karet,” sambung Jokowi.

Jokowi menyatakan pasal tersebut tidak hanya akan berlaku bagi dirinya, tetapi juga untuk presiden siapa pun. “Inikan urusan presiden sebagai sim­bol negara, bukan pasalnya saja. Nanti digunakan untum presiden berikutnya. Kalau saya pribadi seperti yang saya sampaikan, itu makanan sehari hari,” cetus Jokowi.

Rencana ini pun menuai kontra dari sejumlah elemen. Rencana menghidup­kan kembali pasal penghinaan ini juga dianggap dapat menciptakan rezim oto­riter. “Ini akan kembali ke Orde Baru, selain subversif, dia akan gunakan Un­dang-undang KUHP yang baru,” ujar Koordinator ICW Emerson Yuntho di Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (4/8/2015). “Penting bagi DPR tidak terburu-buru membahas RUU ini. Agar DPR juga jangan jadi upa­ya melanggengkan rezim Orde Baru, rezim otoriter,” sambungnya.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Pengajuan pasal penghinaan pres­iden dianggap sebagai langkah mundur ke belakang bagi iklim demokrasi di Indonesia. Emerson menilai jika pasal tersebut dihidupkan kembali akan juga menghidupkan rezim orotiter. “Ka­lau presidennya bener mungkin enak. Tapi kalau presidennya juga bersikap otoriter, semua hal yang dianggap me­nyenggol presiden itu sangat mungkin dikriminalisasi,” jelasnya.

Mahkamah Konstitusi juga diminta proaktif dalam pembahasan-pemba­hasan di DPR. Hal ini perlu dilakukan untuk mengingatkan pasal-pasal yang memiliki konsekuensi yang akan meru­sak proses demokrasi. “Kemudian me­langgengkan praktek, dan menghidup­kan kembali rezim Orde Baru,” terang Emerson.

Bahkan DPR juga diminta untuk mengundang pihak MK sehinga tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam pembahasan pasal yang dapat meru­gikan masyakarat. “Ini jadi sesuatu hal yang memalukan untuk DPR, barangka­li regulasi ini jadi dilakukan judicial re­view oleh pihak tertentu. Artinya, me­kanimne, akuntabiltas, transaprasi dan sebagainya tidak berjalan dalam proses penyusunan di DPR,” pungkasnya.

Terpisah, Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai tidak tepat apabila pasal Peng­hinaan Presiden masuk lagi ke KUHP. Di era saat ini, seharusnya tidak ada lagi alergi terhadap kritik. “Saya kira kurang tepat. Sekarang kan zamannya kritik itu sesuatu yang biasa. Saya per­nah didemo 72 hari juga tidak apa-apa,” kata Zulkifli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/8/2015).

Pasal soal penghinaan presiden di UU KUHP sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Dengan demikian, pasal itu tidak seharusnya masuk lagi ke RUU KUHP. “Kalau su­dah dibatalkan MK, kalau ada lagi nanti bagaimana?” ujar Ketum PAN ini.

Pada akhirnya, semua akan kembali kepada proses pembahasan antara DPR dan pemerintah. Pembahasan akan di­lakukan setelah masa reses. “Namanya usulan boleh saja. Terpulang pada kes­epakatan DPR dan pemerintah,” ucap Zulkifli.

============================================================
============================================================
============================================================