INI ancaman setengah hati bagi pasangan kumpul kebo. Barang siapa yang tinggal bersama laki-laki dan perempuan bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan, bersiap siaplah masuk penjara, jika ada pengaduan.
YUSKA APITTYA AJI ISWANTO
[email protected]
Dalam Rancangan Undang Undang Kitab UnÂdang Undang Hukum Pidana (KUHP), unsur moral mulai mendapat perhatian. Dalam ranÂcangan itu, terdapat larangan oral seks, anal seks hingga kumpul kebo.
Dalam Pasal 488 RUU KUHP yang diserahkan Presiden Joko Widodo ke DPR berbunyi: Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II
“Ketentuan ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah kumÂpul kebo,†demikian bunyi penjelasan Pasal 488 RUU KUHP sebagaimana diÂkutip BOGOR TODAY, Minggu (9/8/ 2015).
Sayangnya, hukuman penjara ini masih bisa ditawar. Penggunaan frase ‘atau’ pidana denda membuat pilihan hakim apakah akan dipenjara atau diÂdenda. Hakim bisa menilai pelaku tidak perlu dipenjara dan cukup didenda maksimal Rp 50 juta.
Meski demikian, kumpul kebo yang dilakukan sesama jenis alias perilaku homoseks masih diperÂbolehkan. Larangan homoseks hanya diberlakukan jika salah satu pasangan masih belum dewasa dan diancam maksimal 9 tahun penjara. Apabila homoseksualitas itu dilakukan dengan anal seks atau oral seks maka ancaman huÂkumannya naik menjadi 12 tahun penjara.
Selain itu, rasa moralitas RUU KUHP juga tercermin dalam pasal perkosaan. Rancangan ini memÂperluas perkosaan tidak hanya sebagai pemaksaan alat kelamin lelaki masuk ke dalam alat kelaÂmin perempuan, tetapi juga peÂmaksaan: Oral seks, anal seks, anal seks dengan alat bantu seks, alat bantu seks yang dimasukkan ke vagina.
Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, WahiduÂdin Adams, mengatakan, 6 Maret 2013 lalu, pemerintah memang telah menyerahkan draf RancanÂgan KUHP ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rancangan terseÂbut saat ini tengah dibahas oleh DPR RI sebelum disahkan menjadi KUHP baru dan menggantikan KUHP lama warisan pemerintah lokal Belanda.
Sebenarnya perzinahan sudah diatur dalam KUHP saat ini naÂmun hanya dikenakan bagi pria dan wanita yang sudah menikah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 284 KUHP yang mendefinisiÂkan zina sebagai perbuatan perseÂtubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.
Menurut Wahidudin, pemerÂintah memasukkan pasal perziÂnahan yang dilakukan oleh lajang dalam rancangan baru karena merupakan sebuah cerminan nilai yang telah dianut oleh masyaraÂkat.
Pasal perzinahan untuk lajang atau kumpul kebo ini berlaku sebagai aturan dari istri, suami, atau pihak ketiga yang merasa dicemarkan oleh pihak tersebut. Aturan itu tidak akan berlaku terÂhadap hasil sweeping petugas
RUU KUHP yang baru juga mengatur pasangan kumpul kebo atau para lajang yang hidup berÂsama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah dengan anÂcaman pidana 1 tahun penjara.
Namun menurut Ida Ruwaida, sosiolog dari Universitas IndoÂnesia, efektivitas pasal larangan berzina dan kumpul kebo ini akan percuma saja jika tidak ada yang mengatur dan mengontrol di laÂpangan.
Menurutnya, masyarakat di lingkungan perkotaan jarang melÂaporkan kejadian perzinahan dan kumpul kebo yang mereka lihat di lapangan.
Terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Andi Hamzah, menyatakan sulit untuk memperkarakan kasus kumpul kebo. Hal itu dia sampaikan terkait Pasal 485 Rancangan Undang-UnÂdang Kitab Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tindakan kumpul kebo. “Kumpul kebo termasuk ke dalam delik aduan, bukan delik pidana,†ujar Andi.
Dalam Pasal 485 Rancangan Undang-Undang KUHP disebutÂkan, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah dipiÂdana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta.
Dia khawatir diberlakukanÂnya pasal itu membuat sebagian masyarakat di Indonesia tidak setuju. “Di Indonesia ada tiga daeÂrah yang membolehkan kumpul kebo, yaitu Bali, Minahasa, dan Mentawai,†kata Andi.
Ia mengatakan, kemungkiÂnan masyarakat daerah-daerah itu tidak sependapat dengan Pasal 485 RUU KUHP. “DikhawatÂirkan malah nanti mereka ingin pisah dari NKRI,†ujar dia.
Andi pun mengaitkan pasal itu yang menjadi salah satu alasan studi banding DPR ke Eropa, April mendatang. Rencananya, 60 angÂgota Dewan hendak membahas RUU KUHP dan KUHAP di negara Eropa, yaitu Inggris, Prancis, BeÂlanda, dan Rusia. “Belanda meleÂgalkan kumpul kebo. Mereka pasti tidak setuju dengan aturan ini,†ucap Andi.
Ia mencontohkan, di negara Kincir Angin tersebut, perilaku kumpul kebo juga dilakukan oleh petinggi negara.(*