JAKARTA, TODAYÂ – Komisi Nasional PeremÂpuan menyayangkan dan mengkritik surat edaÂran Kementerian Pertahanan yang memperboÂlehkan pegawainya untuk melakukan poligami dengan beberapa syarat tertentu.
Ketua Komisi Nasional Perempuan, Azriana mengatakan, surat edaÂran ini keluar saat maÂsyarakat sedang m e n g k r i t i s i dan melakukan upaya revisi terÂhadap Undang-undang PerkawiÂnan No. 1 Tahun 1974. “Kami meÂlihat surat edaran ini tidak sensitif terhadap perÂsoalan yang seÂdang dikritisi
 kaum perempuan, terkait pemenuÂhan hak asasi perempuan,†kata AzÂriana, di Jakarta, Minggu (9/8/2015).
Menurutnya, Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi yang menghargai hak perempuan dan menjamin tidak ada diskriminasi serta kekerasan terhadap peremÂpuan.
Beberapa regulasi yang diÂmaksud antara lain, UU No 23 TaÂhun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan UU No 14 Tahun 2009 yang melengkapi Konvensi PBB tenÂtang perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak.
“Harusnya produk hukum setelahnya, sejalan dengan komitÂmen negara untuk melindungi hak asasi perempuan,†kata Azriana.
Ia juga menyayangkan jika surat edaran tersebut memberi kesan bahwa terdapat peluang untuk berpoligami yang berada di Kementerian Pertahanan.
Sementara itu, pihaknya engÂgan mengaitkan aturan ini terhaÂdap potensi penyelewengan atau korupsi yang dilakukan oleh pegaÂwai yang berpoligami. “Bisa jadi ada benarnya, namun perlu diperÂhatikan berapa hal untuk menyimÂpulkan seperti itu,†kata Azriana.
“Banyak janji Jokowi untuk sejahterakan perempuan dan anak, itu harus terbukti,†tambah Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy YenÂtriyani.
Janji tersebut, katanya, termaÂsuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi diskriminasi serta meningkatkan partisipasi dan produktifitas perempuan di ruang publik. Untuk mewujudkan janji tersebut, dia menilai Jokowi tidak bisa menyerahkan tanggungjawab pada beberapa kementerian terÂkait kesejahteraan rakyat saja. “Urusan perempuan dan anak itu seharusnya jadi urusan lintas sekÂtoral kementerian,†ujar dia.
Selama ini, Andi melihat pemerintah seolah-olah hanya menyerahkan tanggungjawab keÂpada beberapa kementerian yang ada di sektor kesejahteraan rakyat seperti Kementerian PemberdayÂaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan serta KeÂmenterian Pendidikan dan KebuÂdayaan (Kemendikbud). Padahal, persoalan perempuan seringkali muncul akibat adanya kebijakan timpang dan diskriminatif yang menjadi ranah dan tanggungjawÂab beberapa kementerian, seperti Kementerian Agama, KementeÂrian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Koordinator PolÂhukam.
Andy menyebut salah satu contohnya adalah semakin banyak munculnya peraturan daerah syaÂriah, yang mendiskreditkan peran perempuan dan partisipasinya di lingkup publik. Peraturan terseÂbut, katanya, menjadi kewenanÂgan dari Kemendagri untuk menÂcabut atau memberikan izin bagi beleid bermasalah.
Menurut data dari Komnas Perempuan, selama 2013 terÂdapat 382 beleid yang dinilai disÂkriminatif terhadap agama dan perempuan. Beleid tersebut dianÂtaranya larangan keluar malam bagi perempuan, ketidakbolehan perempuan menjadi pimpinan serÂta kewajiban menggunakan jilbab di lingkungan pegawai negeri.
Masruchah selaku wakil Ketua Komnas Perempuan mengatakan, Perda diskriminatif muncul akiÂbat tidak adanya pemahaman dari para pembuat kebijakan mengenai isu perempuan, tata pembuatan perundangan serta ratifikasi konÂvensi ekonomi, sosial dan budaya. Beleid diskriminatif berdampak perempuan bisa rentan terhadap kekerasan dan pelemahan atas upaya perlindungan perempuan serta anak.
Oleh karena itu, dia mengÂharapkan agar calon menteri yang mengisi pos kementerian seperti disebutkan di atas bisa memiliki pemahaman gender yang luas. Termasuk diantaranya tidak perÂnah terlibat kekerasan atas peremÂpuan di ranah domestik dan pubÂlik, bukan pelaku poligami, serta punya komitmen atas isu gender.
Pada bulan September, KomÂnas Perempuan telah memberikan rekomendasi kepada tim transisi mengenai pakta integritas calon menteri kabinet Jokowi-JK. Hal itu termasuk memilih calon yang tidak terlibat dalam pelanggaran HAM serta kekerasan atas perempuan.
Seperti diberitakan harian ini Sabtu */8/2015), Kementerian Pertahanan mengeluarkan surat edaran pada 22 Juli 2015 lalu yang mengatur syarat jika pegawainya hendak melakukan poligami.
Surat edaran tentang ‘PersetuÂjuan/Izin Perkawinan dan PerÂceraian bagi Pegawai di LingkunÂgan Kemhan’ mengatakan pada dasarnya perempuan ataupun pria hanya diizinkan memiliki satu istri atau suami. Namun, Kemhan memberikan izin kepada karyÂawan laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu dengan beberapa persyaratan.
Kepala Pusat Komunikasi PubÂlik Kementerian Pertahanan DjunÂdan Eko mengatakan, aturan ini dikeluarkan karena adanya tren peningkatan pelanggaran yang dilakukan pegawainya terkait poÂligami ataupun poliandri. Bahkan, tidak sedikit yang telah dihukum dan dipecat karena menyalahi aturan. “Makanya, karena ada apeningkatan itu kami perhatiÂkan ini perlu diatur. Sulit untuk memenuhi pernyataan itu,†katÂanya.
(Yuska Apitya Aji)