Mikrofon yang dipakai Soekarno saat pembacaan proklamasi, mati ditengah-tengah. Konon karena kabel terinjak oleh pengunjung. Karena itulah saat pembacaan teks proklaÂmasi suara Bung Karno tidak terdengar dari speaker, jadi hanya orang yang berdiri dekat Bung Karno saja yang mendengar. Begitu sepenggal cerita dalam perjalanan bangsa yang berjuang mengibarkan Sang Merah PuÂtih.
Saat pengibaran pun, balada berkibarnya bendera Sang Merah Putih punya cerita lain. Seorang gadis berjalan bersama Suhud dari halaman belakang membawa nampan berisi bendera jahitan Bu Fatmawati. SesÂeorang berteriak, “Yu Tri – maksudnya SK Trimurti –, sampeyan saja yang mengibarkan bendera!â€. SK Trimurti menjawab, “Nggak usahlah, biar laki-laki dan prajurit berseraÂgam saja.†Melihat itu Suhud lalu membawa nampan bendera dan menyerahkannya pada Latief Hendraningrat. Latief kaget karena ia datang bukan untuk mengibarkan bendera, tetapi sebagai keamanan. Dalam buku yang diterbitkan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI tentang Proklamasi ditulis bahwa Suhud keÂmudian mengambil bendera dari nampan lalu mengikatnya ke tali pada tiang bendera. Sementara Latief membantunya mengerek bendera. Sumber lain yaitu Mbah Sudiro mengatakan bahwa saat mengerek bendera Latief juga dibantu oleh mahasiswa Ika Daigaku Prapatan 10, catatan lain menyeÂbutkan nama mahasiwa itu adalah Suraryo. (dikemudian hari muncul nama Ilyas Karim yang mengaku ditugaskan oleh Latief untuk mengerek bendera, yang kebenarannya ditoÂlak oleh peneliti LIPI Asvi Warman Adam). S. Suhud atau lengkapnya Suhud Sastro KusuÂmo, kemudian dikenal sebagai salah seorang pengibar bendera pusaka saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tepatnya sebagai pendamping Pak latif Hendraningrat.
Kisah mengenai bendera pun begitu menarik. Bendera Pusaka dikibarkan pada tahun 1945 di Jakarta. Namun pada tahun 1946 – 1948 Bendera Pusaka dikibarkan di Yogyakarta. Pada waktu itu dikibarkan denÂgan formasi 5 orang (3 putri dan 2 putra), formasi ini berdasarkan Pancasila. Bendera Pusaka dikibarkan sejak tahun 1945 – 1966 dengan formasi tersebut, sedangkan sejak tahun 1967 mulai menggunakan formasi paÂsukan 17-8-45 dan sejak saat itu pula Bendera Pusaka diganti dengan Bendera Duplikat.
Bendera Duplikat dibuat di Balai PeneÂlitian Tekstil Bandung yang dibantu oleh PT Ratna di Ciawi, Bogor. Upacara penyerahan Bendera Duplikat dilaksanakan pada tangÂgal 5 Agustus 1969 di Istana Negara Jakarta yang bertepatan dengan reproduksi Naskah Proklamasi Kemerdekaan. Bendera Duplikat mulai dikibarkan bersama dengan utusan-utusan dari 26 propinsi sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang.
Bendera Duplikat dibuat dari benang wol dan terbagi menjadi 6 carik kain (masing-masing 3 carik merah dan putih). Sedangkan Bendera Pusaka terbuat dai kain sutera asli.
Nama pasukan pengibar bendera pada tahun 1967 – 1972 dinamakan Pasukan PengerekBendera, sedangkan mulai tahun 1973 sampai dengan sekarang dinamakan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PaskiÂbraka). Regu-regu pengibar sejak tahun 1950 – 1966 diatur oleh rumah tangga kepresideÂnan, setelah itu diganti oleh Direktorat PemÂbinaan Generasi Muda.
Bendera pusaka adalah bendera yag diÂjahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno dan dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur 56, saat proklaÂmasi kemerdekaan RI di Jakarta, oleh Latief Hendraningrat dan Suhud. Bendera pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan. Karena aksi teror Belanda semaÂkin meningkat, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta.
Bendera pusaka dibawa ke YogyakarÂta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno, hingga ibukota Republik IndoneÂsia dipindahkan ke Yogyakarta. Selanjutnya sejak tahun 1946 hingga 1949, bendera ini dikibarkan di Istana Gedung Agung YogyaÂkarta. Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua di YogyaÂkarta. Presiden, wakil presiden dan beberaÂpa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda. Namun, pada saat-saat genting diÂmana Istana Presiden Gedung Agung YogyaÂkarta dikepung oleh Belanda, Soekarno semÂpat memanggil salah satu ajudannya, Mayor M. Husein Mutahar. Sang ajudan lalu ditugasÂkan untuk untuk menyelamatkan bendera pusaka. Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian “heroik†dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi Indonesia. Saat itu, SoekÂarno berucap kepada Mutahar:
“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memÂberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamuuntuk menjaga bendera kita denÂgan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkÂannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuÂali kepada orang yang menggantikanku sekiÂranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlahtugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakanÂnya.†Sementara di sekeliling mereka bom berjatuhan dan tentara Belanda terus menÂgalir masu melalui setiap jalanan kota, MuÂtahar terdiam. Ia memejamkan mataya dan berdoa, Tanggungjawabnya terasa sungguh berat. Akhirnya, ia berhasil memecahkan kesulitan dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu. Dengan bantuan Ibu PerÂna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan. Oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaiandan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia hanya bisa pasÂrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Yang ada dalam pemikiran Mutahar saat itu hanyalah satu: bagaimana agar pihak BeÂlanda tidak mengenali bendera merah-puÂtih itu sebagai bendera, tapi hanya kain biÂasa, sehingga tidak melaku-kan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah “prasasti†yang mesti diselamatkandan tidak boleh hilang dari jejak sejarah.
Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarnoditangkap oleh Belanda dan diasÂingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir daÂnau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan wakil presiden MohamÂmad Hatta langsung dibawa Bangka. Mutahar dan beberapa staf kepresidenan juga ditangÂkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Ternyata mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanankota, Mutahar berhasil melarikan diri denÂgan naik kapal laut menuju Jakarta.
Di Jakarta Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnyatidak ikut mengungsi ke YogÂyakarta. Beberapa hari kemudian, ia kost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama).
Selama di Jakarta, Mutahar selalu menÂcari informasi dan cara bagaimana bisa segera menyerahkan bendera pusaka kepada presiden Soekarno. Pada suatu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu meÂnyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya.
Sore harinya, surat itu diambil Mutahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali benÂdera pusaka yang dibawanya dari Yogya keÂpada Sudjono, agar dapat dibawa ke Bangka. Bung Karno sengaja tidak memerintahkan Mutahar sendiri datang ke Bangka dan meÂnyerahkan bendera pusaka itu langsung keÂpadanya. Dengan cara yang taktis, ia mengÂgunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kerahasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka.
Itu tak lain karena dalam pengasingan, Bung Karno hanya boleh dikunjungi olehangÂgota delegasi Republik Indonesia dalam peÂrundingan dengan Belanda di bawah pengaÂwasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia). Dan Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu, sedangkan Mutahar buÂkan.
Setelah mengetahui tanggal keberangÂkatan Soedjono ke Bangka, Mutahar beruÂpaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tanganmilik seorang istri dokter yang ia sendiri lupa namanya. Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya.
Dengan dibungkus kertas koran agar tiÂdak mencurigakan, selanjutnya bendera puÂsaka diberikan Mutahar kepada Soedjono unÂtuk diserahkan sendiri kepada Bung Karno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Bung Karno dengan Mutahar sewaktu di Yogyakarta. Dengan diserahkannya bendera pusaka keÂpada orang yang diperintahkan Bung Karno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Husein Mutahar. Sejak itu, sang ajudan tidak lagi menangani masalah pengiÂbaran bendera pusaka.
Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kemÂbali ke Yogyakarta dari Bangka dengan memÂbawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 AgusÂtus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Naskah pengakuan kedaulatan lndonesia ditandatangani 27 Desember 1949 dan sehari setelah itu Soekamo kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah emÂpat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, bendera pusaka dibawa kembali ke JaÂkarta.
Untuk pertama kalinya setelah ProklaÂmasi bendera pusaka kembali dikibarkan di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi17 Agustus 1950. Setelah itu benÂdera terus dikibarkan setiap tanggal 17 AgusÂtus hingga berakhirnya masa pemerintahan Soekarno. Kini, para pengibar bendera denÂgan gagah berani menjadi pewaris semangat perjuangan pengibaran bendera Merah PuÂtih. Itulah sebabnya, penghormatan terhaÂdap Sang Merah Putih layak dilakukan untuk mengenangperjalanan bangsa ini. (*)