Oleh: EDDY PRATOMO
Utusan Khusus Presiden RI untuk Penetapan Batas Maritim 2014, 2006-2009, dan 2002-2004
Pertama, kita harus bangga dengan nasiÂonalisme rakyat IndoÂnesia. Berbagai kalanÂgan telah menyatakan kesediaannya untuk menjaga AmÂbalat, bahkan bersedia berperÂang merebutnya kembali apabila dicaplok Malaysia. Kesetiaan dan semangat ksatria membela TaÂnah Air oleh rakyat Indonesia tiÂdak perlu diragukan lagi, terlebih apabila dihadapkan pada upaya mempertahankan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pahami Inti Persoalan
Kedua, pemahaman publik mengenai inti persoalan sebenaÂrnya masih sangat jauh. Hal ini tidak mengherankan karena nama “Ambalat†dalam pengetaÂhuan lokal masyarakat Indonesia merujuk kepada hal yang berbeÂda-beda.
Ambalat adalah nama desa di Kecamatan Sekatak, KabuÂpaten Bulungan, di Kalimantan Utara. Ambalat juga digunakan sebagai nama pantai pasir inÂdah di Kelurahan Amborawang Laut, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kedua daerah ini tidak berbaÂtasan langsung dengan Malaysia. Ambalat juga nama ikan teri dari dan dikembangbiakkan oleh neÂlayan Indonesia di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. Ambalat juga disebut sebagai singkatan “ambang batas laut terluarâ€, paÂdahal istilah hukum yang tepat untuk menunjukkan batas terluar adalah “garis pangkal terluar dari pulau-pulau terluar†atau cukup “garis pangkalâ€.
Kentalnya nama Ambalat yang merujuk pada identitas lokal Indonesia itu juga jadi alasan bagi Indonesia untuk menamakan wilayah blok konsesi minyak di dasar laut lepas (landas kontinen) yang terletak di Laut Sulawesi sebagai Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Dapat dipastiÂkan juga bahwa tak ada pulau di Indonesia yang menggunakan nama Ambalat. Mengingat beÂgitu jamaknya penggunaan nama Ambalat, maka perlu dipahami bahwa Ambalat yang dimaksud dalam kaitannya dengan MalayÂsia adalah konsesi minyak Blok Ambalat seluas sekitar 1.990 kiÂlometer persegi, dengan jarak beragam. Jarak terdekat terletak di dalam Laut Wilayah Indonesia, yang terjauh berada 40 km-50 km dari batas Laut Wilayah yang diÂtarik menggunakan garis pangkal kepulauan.
Dengan demikian, hak-hak InÂdonesia di dasar laut Ambalat ini beragam, mengikuti zona mariÂtim yang berlaku. Apabila di Laut Wilayah, Indonesia memiliki keÂdaulatan penuh. Sementara jika di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, Indonesia hanya memiliki hak berdaulat terÂhadap pengelolaan sumber daya alam yang berada di kolom air dan di dasar laut serta tanah di bawahnya. Sementara pihak asing bebas untuk berlayar, terbang, memasang kabel, dan memasang pipa di atasnya.
Ketiga, penyamaan Ambalat dengan pengalaman “kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau LigiÂtan†adalah referensi yang keliru. Dalam kasus Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia sepakat menghentikan diplomasi dan memulai proses hukum dengan mengajukan perkara kepemilikan status Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan kepada Mahkamah InterÂnasional (ICJ) di Den Haag.
Keputusan ICJ terhadap kasus ini yang penting untuk diketaÂhui adalah 1) penetapan tanggal kristalisasi sengketa, yaitu tahun 1969, sehingga hanya memperÂhitungkan penguasaan yang diÂlakukan sebelum 1969; 2) memuÂtuskan sendiri dari bukti hukum bahwa Inggris sejak tahun 1914 telah menerapkan pajak pengamÂbilan telur penyu di kedua pulau tersebut sehingga menunjukkan adanya penguasaan efektif oleh pemerintahan kolonial Inggris kala itu yang kemudian diterusÂkan Malaysia; dan 3) merujuk pada UU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang tidak memasukkan kedua puÂlau tersebut sebagai bagian dari NKRI. Dengan kata lain, IndoneÂsia bukan kehilangan, melainkan gagal mendapatkan tambahan dua pulau baru.
Sementara permasalahan Blok Ambalat pada pokoknya merupakan persoalan delimiÂtasi perbatasan maritim di Laut Sulawesi yang belum selesai diÂrundingkan antara Indonesia dan Malaysia. Di Laut Sulawesi ini, kedua negara masih perlu meneÂtapkan segmen Laut Wilayah (keÂdaulatan) dan ZEE serta landas kontinen (hak berdaulat). Hukum nasional Indonesia dan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS 1982) mewajibkan IndoÂnesia merundingkan batas-batas negaranya apabila berhadapan atau berimpitan dengan batas negara lain.
Keempat, perundingan peÂnyelesaian batas maritim meruÂpakan salah satu perundingan paling kompleks di dunia. Hal ini mengingat sifatnya yang melibatÂkan berbagai disiplin ilmu, mulai hukum internasional, hubungan internasional, geografi, geologi, geodesi, hidrografi, oseanografi, kartografi, navigasi, dan kesejaraÂhan. Di samping itu, perundingan semacam ini juga melibatkan berÂbagai instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok serta kepiawaian di bidang-bidang tersebut.
Indonesia telah berunding dengan Malaysia sebanyak 28 kali selama 2005-2015 untuk memÂbahas penetapan batas maritim kedua negara di semua segmen, yaitu Selat Malaka, Selat SingaÂpura, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Sulawesi. Selama 10 tahun perundingan, masih terdapat perbedaan mendasar mengenai metode serta prinsip-prinsip huÂkum penarikan garis batas mariÂtim. Guna mempercepat penyÂelesaian batas maritim dengan Malaysia, Presiden RI telah menÂgangkat Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Batas Maritim antara RI-Malaysia, dengan tugas utama mencari solusi kreatif peÂnyelesaian batas maritim kedua negara dengan mempertimbangÂkan faktor-faktor lain melengkapi aspek teknis dan hukum. Meski demikian, keberadaan utusan khusus penyelesaian penetapan batas yang rumit dan kompleks ini perlu disikapi dengan bijak. Keseriusan RI menyelesaikan penetapan batas maritim ini akan sangat bergantung pada itikad baik Malaysia.
Perbedaan Mendasar
Sampai sejauh ini masih terÂdapat perbedaan yang mendasar di kedua belah pihak. Di satu sisi, Peta 1979 yang digunakan Malaysia telah menuai protes dari Singapura, Brunei, Filipina, dan beberapa negara lain. Hal yang kontroversi pada Peta 1979 adalah penggunaan metode garis pangkal lurus untuk penarikan garis batas maritim, padahal MaÂlaysia tak berhak menggunakan metode itu sesuai UNCLOS 1982. Sebagai negara pantai, Malaysia seyogianya menggunakan garis pangkal biasa. Di sisi lain, posisi Indonesia sebagai negara kepuÂlauan sesuai UNCLOS 1982 dapat menarik garis pangkal kepulauan. Namun, kondisi ini masih belum diterima Malaysia, padahal MaÂlaysia telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan dengan disepakatinya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang Rezim Hukum Negara Nusantara/ Negara Kepulauan tahun 1982.
Mencermati perkembangan itu, sejauh mana masing-masing pihak mau beranjak dari poÂsisinya untuk mencapai suatu kesepakatan? Apakah waktu yang akan menentukan? Ataukah para utusan khusus dapat mencari opsi-opsi solusi komprehensif seÂbagai jalan keluar yang dapat disÂampaikan kepada kepala negara masing-masing. Marilah kita terus menjaga harga mati NKRI dengan nasionalisme yang cerdas. (*)