Untitled-6BISNIS penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi berlabel ‘Pertamini’ tengah menjamur di beberapa tempat, terutama di Jabodetabek. Di Bogor pun, Pertamini kian menjamur. Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyatakan, praktik penjualan BBM bersubsidi lewat Pertamini adalah bisnis ilegal dan sudah sepatutnya ditertibkan.

YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]

Gebrakan dilakukan BPH Migas terkait kian maraknya pertamini. Praktik bisnis ini dipan­dang menjadi kompeti­tor yang ganas meski tak memiliki payung hukum.

Direktur BBM BP Migas, Hen­dry Ahmad mengungkapkan, pelaku yang melakukan penjualan BBM tak berizin bisa dikenakan hukuman pidana penjara 6 tahun atau denda sebesar Rp 6 miliar. “Saya tegaskan, Pertamini dan sejenisnya itu ilegal. Hukumannya jelas ada penjara sam­pai 6 tahun atau denda Rp 6 miliar, ada di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2013,” kata Hendry ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (20/8/2015).

Meski ilegal, menurut Handry, pihak yang melakukan penindakan adalah aparat penegak hukum, bu­kan BPH Migas sebagai regulator dari distribusi hilir migas. “Selama ini kan belum ada laporan. Kalau ada laporan bisa secara hukum bisa dipidanakan. Dan memang sudah seharusnya ditertibkan,” katanya.

Maraknya bisnis Pertamini, di­akui Hendry, disebabkan masih minimnya jumlah SPBU yang ada saat ini. “Margin SPBU sangat kecil, sementara modal satu SPBU mili­aran. Wajar banyak Pertamimi dima­na-mana. Makanya kita dorong ke pemerintah agar ada sub-SPBU yang modalnya cukup Rp 75 juta saja,” pungkasnya.

BACA JUGA :  Puncak Arus Balik, Kemenhub Prediksi 140 Ribu Kendaraan Mengarah ke Jakarta

Krisis SPBU

Jumlah SPBU di Indonesia khu­susnya di daerah masih sangat min­im, salah satu penyebabnya karena investasi mendirikan SPBU cukup mahal. Setidaknya untuk satu unit SPBU lengkap diperlukan diperlu­kan dana hampir Rp 20 miliar.

Untuk mendorong lebih banyak lagi jumlah SPBU, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) saat ini tengah mengusulkan regu­lasi yang mengatur pendirian sub SPBU dalam Peraturan BPH Migas No.6 Tahun 2015 yang mengatur pendistribusian BBM bisa dilakukan tanpa SPBU.

“Jadi nanti orang bisa bangun SPBU baru. Tapi sub saja dari distri­busi SPBU resmi yang terdekat. Nan­ti modal antara Rp 75-100 juta sudah bisa jadi distributor BBM resmi lay­aknya SPBU, kalau bangun SPBU kan sampai Rp 20 miliar,” kata Hendry.

Untuk harga BBM di sub-SPBU, kata Hendry, pemilik sub-SPBU menentukan harga minyak sesuai dengan harga yang berlaku di SPBU yang jadi pemasok, ditambah biaya margin pengangkutan BBM. “Margin pengangkutan nantinya ditentukan daerah. Bisa Rp 250/liter atau be­rapa tergantung kebijakan Pemdan­ya. Tapi harga dasar tetap mengacu pada SPBU,” jelas Hendry.

BACA JUGA :  Cegah Macet saat Arus Balik, Pemerintah Terapkan WFH Bagi ASN

Menurutnya, fasilitas yang ada di sub-SPBU ini hampir sama dengan fasilitas SPBU. “Hanya lebih kecil. Ini kan selain buat menambah SPBU, terutama di luar Jawa sekaligus kes­empatan bagi pengusaha kecil ber­main di hilir migas,” ujar Hendry.

Dia mengungkapkan, rasio SPBU di Indonesia yang rendah membuat biaya distribusi BBM sangat tinggi. Dengan jumlah penduduk saat ini, Rasio 1 SPBU di Indonesia harus mel­ayani 60.000 penduduk. Sementara di negara tetangga 1 SPBU dipakai untuk melayani 6.000 penduduk. “Itu pun sebagian besar konsentras­inya di Jawa,” tambahnya.=

Hendry menuturkan, saat ini implementasi anak SPBU ini baru pilot project di 3 kota yakni Mana­do, Bitung, dan Bengkulu. “Nanti modalnya nggak banyak. Kalau pilot project selesai, akan diberlakukan di seluruh wilayah. Tapi syarat buat bangun sub-SPBU ini pengusaha harus punya basis pelanggan dulu. Karena ini tertutup untuk kalangan sendiri,” pungkasnya . (*)

============================================================
============================================================
============================================================