Oleh: SUPRAPTO
Ketua Yayasan Arbangun
Titik tolak itu pentÂÂing untuk melakukan pembenahan meneÂÂjemen daging atau bahkan menejemen pangan nasional, agar bangsa ini bisa mewujudkan swasembada daging yang benar, serta agar Pemerintah memiliki rintisan jaÂÂlan untuk mewujudkan Trisakti yang telah mereka janjikan, khuÂÂsusnya dalam rangka mencapai berdikari secara ekonomi. SwaseÂÂmbada pangan dan kemandirian pangan merupakan salah satu prasyarat mutlak bagi bangsa ini untuk mencapai cita-cita sepÂÂerti yang tertuang dalam Trisakti tersebut.

Salah satu pilar utama Tri sakti adalah berdaulat secara politik selain berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial kultural. Bangsa Indonesia akan dapat mencaÂÂpai kedaulatan politik, apabila negara tersebut memiliki keÂÂdaulatan dalam urusan pangan. Kedaulatan pangan akan dapat diraih apabila bangsa ini mamÂÂpu mencapai fase kemandirian dalam penyediaan pangan atau mampu mencapai swasembada pangan. Negara yang tidak meÂÂmiliki kedaulatan dalam sektor pangan, sesungguhnya bangsa ini tidak bisa dikelompokkan sebÂÂagai negara yang berdaulat secara politik. Banyak orang yang lebih tertarik pada urusan kedaulatan politik, tetapi mereka lupa bahÂÂwa esensi kedaulatan politik tiÂÂdak akan pernah terjadi apabila bangsa ini tidak mampu mencaÂÂpai kemandirian ekonomi, dan kemandirian ekonomi tidak akan pernah tercapai apabila bangsa ini tidak pernah memiliki keÂÂmandirian dalam sektor pangan.
Globalisasi dan pasar bebas hanya bisa diatasi apabila bangsa ini telah mampu mencapai keÂÂmandirian ekonomi secara lebih baik. Kemandirian ekonomi dan kedaulatan politik hanya akan diÂÂcapai apabila bangsa ini mampu mencapai kedaulatan pada sekÂÂtor pangan. Swasembada daging merupakan salah satu komponen utama dalam upaya pencapaian swasembada pangan. Dalam era pasar bebas bangsa ini akan seÂÂlamat apabila bangsa Indonesia memiliki kemandirian dalam uruÂÂsan pangan.
Belanja (masyarakat dan negÂÂara) dalam urusan pangan meruÂÂpakan belanja yang sangat besar nilainya. Pemerintahan Jokowi-JK telah menetapkan akan berupaya secara sungguh-sungguh untuk mencapai kedaulatan pangan, namun strategi pencapaiannya masih belum mampu meyakinkÂÂan masyarakat banyak, hal ini terbukti pemerintahan ini sering dibuat tidak berdaya oleh ulah para kartel pangan nasional dan internasional yang sering menyÂÂusahkan masyarakat khususnya dalam urusan pemenuhan kebuÂÂtuhan pangan. Beberapa langkah kebijakan yang kira-kira dapat dijadikan acuan oleh pemerintah khususnya untuk menata meneÂÂjemen penyediaan daging nasiÂÂonal antar lain:
Pertama, diperlukan kebiÂÂjakan pembenahan data pokok sektor peternakan nasional. Menurut pengamatan penulis disinilah awal pemicu permasalaÂÂhan amburadulnya menejemen penyediaan daging nasional. Statistik data ternak nasional kurang valid dan kurang up to date, karena sistem pendataan ternak atau data base ternak suÂÂdah ketinggalan jaman. Selain sistemnya kurang tepat, ternyata sarana dan prasarana penduÂÂkungnya termasuk SDM masih belum sesuai dengan kebutuhan pendataan yang akurat. KebiÂÂjakan di sektor peternakan seÂÂlama ini masih kurang tepat, hal ini dapat dibuktikan dari carut marutnya penyediaan daging naÂÂsional, dimana pemerintah dan masyarakat sering dibuat pusing oleh karena bergejolaknya harga produk sektor ini seperti daging sapi contohnya. Untuk itu diperÂÂlukan kebijakan pembenahan data pokok bidang peternakan nasional. Kebijakan dapat dibuat secara tepat dan sesuai denÂÂgan kebutuhan masyarakat dan pemerintah, syaratnya landasan pokok kebijakan tersebut yang berupa data pokoknya berkualiÂÂtas. Sebaliknya kebijakan nasionÂÂal sering kurang tepat dan tidak sesuai dengan kebutuhan karena landasan kebijakannnya lemah, inilah yang terjadi pada kebijakan penyediaan kebutuhan daging nasional, dimana sering terjadi gejolak yang merugikan masyaraÂÂkat banyak.
Kedua, diperlukan evaluasi dan pengawasan kinerja para imÂÂportir dan pedagang besar dagÂÂing nasional. Seperti yang terjadi pada saat ini dimana ada indikasi permainan para importir dagÂÂing, khususnya yang memiliki feed lot (tempat penampungan dan pemggemukan ternak sapi), dimana pada saat daging mulai langka di pasaran dan harganya naik, ternyata masih banyak diÂÂjumpai ternak hidup yang ditahÂÂan di areal feed lot para importir tersebut. Inilah bukti nyata beÂÂtapa sesungguhnya telah terjadi permainan stok sapi yang seÂÂmestinya tidak boleh dikerjakan oleh para penguasaha ternak dan daging. Untuk itu diperlukan inÂÂventarisasi, evaluasi dan sistem pengawasan yang lebih baik agar para importir tidak melakukan spekulasi dalam perdagangan daging nasional.
Selain itu perlu ditegakan sistem hukum yang lebih tegas dan lebih keras kepada para pengusaha bersangkutan. Kalau para pengusaha tersebut terbukti melakukan praktek kartel dan monopoli, serta spekulasi daging, maka seharusnya dicabut izin usÂÂahanya, karena kejadian seperti ini sering berulang kali terjadi. Sudah jelas bahwa terjadinya disparitas harga yang sangat mencolok antara negara pengekÂÂspor dan di Indonesia sebagai negara pengimpor itu menunÂÂjukkan indikasi kartelisasi telah terjadi di komoditas daging sapi. Para kartel dan mafia daging dan ternak sapi sudah sangat lama menyusahkan masyarakat dan membuat susah bangsa ini, tetapi mengapa seolah-olah pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa kepaÂÂda mereka.
Ketiga, kembalikan Bulog seÂÂbagai buffer pangan nasional, seÂÂmestinya Bulog tidak hanya menÂÂgurusi beras, tetapi setidaknya komponen pangan pokok terÂÂmasuk daging harus diurus oleh Bulog. Ketika Bulog difungsikan sebagai buffer pangan nasional, maka tidak boleh dibebani pada permodalan yang komersial, haÂÂrus ada regulasi khusus untuk Bulog agar lembaga ini bisa menÂÂjalankan misi sosial, dan jangan dibebani pada misi komersial. Karena tidak mungkin lembaga yang bersifat sosial tetapi masih dibebani pada misi komersial. Rekomendasi IMF yang memangÂÂkas fungsi sosial Bulog harus diÂÂcabut, agar lembaga ini dapat berperan secara lebih tepat, lebih benar, dan lebih berpihak kepada rakyat. Namun tetap diperlukan perubahan paradigma Bulog yang selama ini telah terjadi dimana Bulog telah berperan sebagai lemÂÂbaga komersial, sehingga kurang dapat berperan sebagai buffer pangan nasional yang wajar.
Keempat, diperlukan perbaiÂÂkan sistem menejemen pengemÂÂbangan ternak nasional. SebÂÂagaimana kita ketahui bersama bahwa sistem pengembangan atau budidaya ternak sapi lokal, masih bersifat dan berfungsi sebÂÂagai saving/tabungan para petani, bukan bersifat bisnis yang menÂÂguntungkan. Pada kenyataannya bahwa usahatani ternak lokal yang dikerjakan masyarakat maÂÂsih belum menguntungkan secara ekonomi, karena keuntungan bersih dari usaha tani ternak sapi ini sangat minimal dan kadang-kadang rugi. Hal ini terjadi karena input usaha tani ternaknya sanÂÂgat besar, khususnya berkaitan ongkos pakan ternaknya. Untuk itu diperlukan kebijakan yang afirmatif seperti adanya subsidi pakan ternak yang berupa banÂÂtuan pengembangan kebun rumÂÂput pakan ternak di setiap lokasi pengembangan ternak masyaraÂÂkat, atau membuat kebijakan subsidi pengembangan pakan ternak yang sangat murah, agar mampu dijangkau oleh petani peternak. Sesungguhnya masih banyak tanah-tanah kosong yang ada di sekitar lokasi pemukiman masyarakat yang dapat dijadikan kebun rumput pakan ternak koÂÂmunal, tinggal pemerintah memÂÂbuat kebijakan pengembangan seperti yang diusulkan. Selain itu diperlukan kebijakan yang lebih tepat agar induk sapi produktif tidak dijadikan sebagai sapi poÂÂtong, melalui pemberian subsidi pemeliharaan atau regulasi penÂÂgawasan yang lebih ketat. Dengan kebijakan yang seperti diuraiÂÂkan tersebut maka diharapkan pengembangan ternak sapi lokal akan lebih berkembang, karena dengan kebijakan yang afirmatif tersebut akan mampu meningÂÂkatkan keuntungan usaha tani ternak sapi secara lebih sugnifiÂÂkan. Setiap usaha yang mampu menghasilkan keuntungan bersih yang lebih tinggi dijamin akan dikerjakan dan dikembangkan seÂÂcara masif oleh masyarakat, dan dijamin akan berkelanjutan, keÂÂbijakan seperti inilah yang sudah sangat ditunggu oleh petani peÂÂternak sapi lokal. Pengembangan peternakan sapi lokal yang menÂÂguntungkan tersebut merupakan jawaban riil terhadap gejolak harÂÂga daging sapi di pasaran.
Kelima, diperlukan evaluÂÂasi yang komprihensif terhadap bisnis pakan ternak nasional yang selama ini telah menangÂÂguk keuntungan maha besar di Indonesia. Selama ini bangsa ini telah terlena, sehingga kita tidak pernah sadar bahwa masyarakat petani peternak telah dikuasai oleh para investor atau produsen pakan ternak yang telah puluhan tahun berusaha di Indonesia. Sebagai contoh adalah mengapa pengembangan ternak ayam peÂÂtelur, ayam pedaging, bebek, ikan dan sapi, keuntungannya sangat rendah. Karena input usaha tani yang berupa pakan ternak itu telah menggerus sebagian besar input usaha tani yang harus diseÂÂdiakan oleh para pelaku usaha. Sehingga ketika hasil usaha tani dikurangi dengan input usaha tani, ternyata hasil bersihnya sanÂÂgat kecil. Apa itu maknanya, sejuÂÂjurnya para pelaku usaha tersebut telah diperalat dan diperas habis oleh para produsen pakan terÂÂnak, karena keuntungan terbesar dari kegiatan usaha tani yang dikÂÂerjakan oleh para pelaku usaha tersebut sebagian besar dinikmati oleh para produsen pakan ternak bersangkutan, sedangkan para petani peternak hanya kebagian ongkos buruhnya saja, sehingga wajarlah kalau para pelaku usaha tersebut tetap miskin.
Kejadian seperti ini telah berÂÂlangsung sangat lama dan pemerÂÂintah tidak pernah melakukan evaluasi yang lebih komprihensif kepada para petani dan kepada para pengusaha pakan ternak. Inilah ketidak adilan yang selama ini terjadi dan tidak pernah disÂÂadari oleh pemerintah RI. Inilah jawaban atas pertanyaan mengaÂÂpa industri pakan ternak berkemÂÂbang sangat pesat, tetapi petÂÂani peternak tetap miskin, dan celakanya negara dan masyaraÂÂkat konsumen sampai sekarang selalu dibuat pusing oleh karena gejolak harga daging. Gejolak harga daging sapi sudah menjadi ritual tahunan yang tidak pernah ada solusi, kasihan masyarakat konsumen dan para petani proÂÂdusen. Alangkah enaknya menÂÂjadi produsen pakan ternak dan menjadi importir daging dan terÂÂnak sapi.
Keenam, diperlukan pengaturan perdagangan daging dan terÂÂnak sapi nasional, agar tidak terÂÂjadi kartelisaasi dan tidak terjadi monopoli perdagangan daging sapi dan ternak sapi. Sejujurnya di negeri ini telah terjadi kartelisasi perdagangan daging sapi. Selain itu juga telah terjadi pemaksaan dalam penetapan negara pengekÂÂpor, seolah-olah hanya Australia dan New Zealand yang pantas dan layak mengekspor daging kenegeri ini. Negara produsen daging sapi seperti Brazil tidak boleh dijadikan sumber impor daging sapi. DaliÂÂhnya dari tahun ketahun selalu sama bahwa negara selain AustraÂÂlia dan New Zealand masih rawan penyakit PMK (Mulut dan Kuku). Kejadian seperti ini telah terjadi selama puluhan tahun lamanya, padahal sejujurnya ini hanyalah akal-akalan para importir dan okÂÂnum pemerintah RI yang mungkin telah menikmati keuntungan dari kondisi seperti ini selama puluhan tahun lamanya, dan mereka tidak pernah mau dikurangi kenikmatan yang melimpah ruah yang telah mereka nikmati sekian lamanya itu. Padahal kalau pemerintah RI mau mengimpor daging dari BraÂÂsil maka dijamin harganya akan lebih mjurah. Semoga Pak Jokowi- JK dapat mengambil manfaat dari kejadian ini. (*)