Oleh: JUNANTO HERDIAWAN
Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia
Penyebab utama yang kerap kita dengar adalah karena faktor eksternal sehubungan dengan rencana keÂnaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Fed. Hal tersebut telah mengakibatÂkan dollar AS menguat terhadap berbagai mata uang lain di dunia, termasuk mata uang rupiah.
Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran. Ini artinya, apabila permintaan terÂhadap dollar AS lebih tinggi, seÂcara alamiah dollar AS akan menÂguat. Kalau kita ingin menjadikan rupiah lebih stabil dan menguat, jawaban sebenarnya sederhana, yaitu kurangi permintaan dollar AS, tingkatkan permintaan atau penggunaan rupiah.
Namun, masalahnya tentu tak sesederhana itu. Sejak 2011, kondiÂsi di pasar valuta asing (valas) kita diwarnai oleh lebih tingginya perÂmintaan valas, terutama dollar AS, daripada pasokannya. Tingginya permintaan dollar AS itu didasari oleh beberapa alasan, antara lain untuk kebutuhan impor, pemÂbayaran utang luar negeri, dan penjualan barang jasa dalam satÂuan valuta asing. Repotnya, guna memenuhi kebutuhan valas di dalam negeri, sekitar 80 persen pelaku pasar masih bertransaksi di pasar spot atau melakukan penjualan dan pembelian secara tunai atau langsung. Baru sekiÂtar 20 persen pelaku pasar yang melakukan transaksi bukan spot, seperti melalui forward atau swap (transaksi dengan janji membayar di kemudian hari).
Selain itu, baru sekitar 26 persen pelaku transaksi valas yang melakukan lindung nilai (hedging). Tentu saja, kondisi seperti di atas dapat menyebabÂkan permintaan valas melonjak dalam suatu waktu dan pelaku pasar menjadi rentan terhadap risiko nilai tukar yang bergejolak.
Di sisi lain, kebutuhan pemÂbayaran utang luar negeri kita juga meningkat. Hal ini seiring dengan jumlah utang luar negeri yang naik signifikan. Tahun 2005, utang luar negeri korporasi atau swasta berjumlah sekitar 80 miliar dollar AS. Pada 2015, jumÂlahnya meningkat dua kali lipat hingga mencapai sekitar 160 miliÂar dollar AS. Selain itu, rasio pemÂbayaran utang luar negeri swasta terhadap pendapatan ekspor atau yang dikenal dengan istiÂlah debt service ratio (DSR) juga meningkat dari sekitar 15 persen pada 2007 menjadi sekitar 54 persen pada 2015. Kondisi ini dapat mengakibatkan kerentanÂan pada kondisi makroekonomi.
Simbol Kedaulatan
Selain kedua faktor di atas, secara geoekonomi kita juga melihat kecenderungan meningÂkatnya pemakaian mata uang asÂing, khususnya dollar AS, dalam berbagai transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik InÂdonesia (NKRI). Dalam praktik sehari-hari, masih banyak maÂsyarakat Indonesia yang enggan menggunakan rupiah dan cenÂderung memilih menggunakan mata uang asing.
Transaksi mata uang asing di wilayah NKRI yang dilakukan antarpenduduk Indonesia secara nonbank jumlahnya cukup tinggi. Bayangkan, angkanya mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 78 triliun setiap bulan. Hal ini berarti sekitar Rp 936 triliun per tahun. Sementara itu, perÂputaran uang kertas asing di InÂdonesia mencapai sekitar Rp 10 triliun per bulan.
Tingginya transaksi dalam dollar atau “dolarisasi†tersebut telah merambah ke segala sektor ekonomi, mulai dari sektor migas, pelabuhan, tekstil, manufaktur, hingga perdagangan. Fenomena penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI tak bisa dipandang sebagai konsekuensi dari liberalÂisasi, tetapi dapat dilihat sebagai bentuk “ancaman†atau soft inÂvasion terhadap kedaulatan poliÂtik dan ekonomi suatu negara. Pengalaman beberapa negara di Amerika Latin, Karibia, dan PaÂsifik membuktikan bahwa sikap permisif pada penggunaan mata uang asing di dalam negeri pada akhirnya justru menggusur peran mata uang lokal. Ada premis yang mengatakan bahwa mata uang yang kuat akan menggeser yang lemah.
Beberapa kebijakan perlu ditempuh untuk mengatasi berÂbagai permasalahan di atas. PerÂtama, upaya melakukan pendalaÂman pasar keuangan. Langkah ini perlu dilakukan agar pelaku pasar memiliki lebih banyak pilihan instrumen dan kemudaÂhan dalam bertransaksi sehingga mengurangi risiko. Kedua, moniÂtoring yang ketat terhadap utang luar negeri, khususnya di sekÂtor korporasi. Utang luar negeri swasta yang tidak terkendali akan meningkatkan risiko nilai tukar, likuiditas, dan terlalu banyak berutang (over leveraging). KeÂtiga, dan yang tak kalah pentingÂnya, adalah perlunya masyarakat untuk mendukung penggunaan mata uang rupiah untuk berÂtransaksi di wilayah NKRI. UnÂdang-Undang Mata Uang (UU No 7/2011) serta Peraturan Bank InÂdonesia No 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI telah secara tegas mengatur hal tersebut.
Menjadikan rupiah sebÂagai mata uang yang stabil dan berdaulat memang bukan langÂkah mudah. Tekanan terhadap rupiah ditentukan oleh banyak hal yang saling berkelindan. Langkah meningkatkan produkÂtivitas ekonomi dan mengatasi defisit transaksi berjalan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Namun, di sisi lain, upaya menjadikan ruÂpiah berdaulat di negeri sendiri juga perlu didukung. Mata uang rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Kita pernah memiliki pengalaman paÂhit saat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Salah satu alasan yang muncul pada waktu itu adalah karena rupiah tidak lagi digunakan untuk bertransÂaksi di sana. (*)