Oleh: MAFULUDDIN MAHFUDZ, S.KOM.I
Wakil Ketua Bidang Politik, Kemanan dan BUMD DPD KNPI Kota Bogor
Selain itu, senjata khas kerajaan Pajajaran yaitu Kujang dijadikan lamÂbang kota Bogor dan diÂjadikan Landmark kota dalam bentuk Monumen Kujang. Bogor merupakan salah satu kota pedalaman terpenting di era koÂlonial, mengingat Bogor (dahulu Buitenzorg) pernah berfungsi sebagai ibu kota pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, yaitu seÂjak Gubernur Jenderal Van Alting (1780). Bogor mula-mula dibenÂtuk dengan penguasaan dan penÂgolahan lahan perkebunan yang dikelola tuan tanah yang akhirnya berkembang setelah dihubungkan Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang dibangun mulai 1811 oleh Daendels dan belakangan oleh jalur kereta api (Batavia-BuitenzoÂrg) pada 1873.
Bogor yang terletak pada kaki Gunung Salak dan Gunung Gede sangat kaya akan hujan orografi. Anginlaut dari Laut Jawa yang membawa banyak uap air maÂsuk kepedalaman dan naik seÂcara mendadak di wilayahBogor sehingga uap air langsung terÂkondensasi dan menjadi hujan. Hampir setiap hari turun hujan di kota ini dalam setahun (70%) sehingga dijuluki “Kota Hujanâ€. Keunikan iklim lokal ini dimanÂfaatkan oleh para perencana koloÂnial Belanda dengan menjadikan Bogor sebagai kota taman (garden city) sekaligus sebagai pusat peneÂlitian botani dan pertanian hingga sekarang. Banyak artifak fisik kota yang dibangun pada masa kolonial ini, salah satunya adalah istana Bogor (dulu bernama vila Buitenzorg) yang didirikan atas prakarsa Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff. Bangunan ini juga sempat berfungsi sebagai kantor resmi Gubernur Jenderal VOC maupun Gubernur Jenderal Hindia Belanda hingga pada akhÂirnya dijadikan Istana KepresideÂnan RI. Halaman istana BuitenÂzorg tersebut dibangun menjadi Kebun Raya (Botanical Garden) oleh seorang ahli Botani Jerman yaitu Prof.R.C.Reinwardth dan diresmikan sebagai Kebun Raya Bogor pada tahun 1887. Dengan luas 87 Ha Kebun Raya Bogor saat ini menjadi kebun raya terbesar di Asia Tenggara dan merupakan arÂtifak alam yang menjadi ciri khas kota Bogor.
Kota Bogor tumbuh dari konÂsentrasi tiga kawasan etnis yang ditentukan pemerintahan kolonial pada masa itu : Eropa, Tionghoa dan pribumi. Tiap kawasan meÂmiliki kekhasan dan karakter masÂing-masing.Zona permukiman maÂsyarakat Eropa ditandai dengan berbagai gedung pemerintahan dan fasilitasnya (sebagai civiccenÂter), permukiman yang didomiÂnasi rumah vila yang berpekaranÂgan luas, dan berbagai fasilitas umum danbangunan komersial (kantor, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain). Meskipun memiliki jumÂlah penduduk sangat kecil,zona Eropa menempati porsi lahan terÂbesar. Zona Eropa di Bogor dapat kita tandai mulai di sekeliling KeÂbun RayaBogor, gedung institusi pemerintah di sepanjang Jalan Ir Juanda, Jalan A Yani (untuk fungsi perkantoran danpemerintahan).
Struktur kawasan pecinan BoÂgor terbentuk di sepanjang Jalan Suryakencana (dulu dinamakan Handelstraat atau Jalan PerniÂagaan sesuai dengan fungsinya seÂbagai sentra ekonomi kota) yang terletak tepat di antara dua sungai (Ciliwung di timur dan CipakanciÂlan di barat). Masyarakat tionghoa yang terkotak-kotak dalam kelas sosial menempati hunian sesuai kelas mereka. Golongan pedagang berkumpul di sekitar Pasar Bogor, sedangkan golongan bawah mengÂhuni ruko sewa dan rumah petak di balik ruko. Masyarakat pribumi sebenarnya tidak memiliki konÂsentrasi atau domain khusus sepÂerti halnya masyarakat Eropa dan Tionghoa karena absennya kekuaÂsaan lokal di kawasan partikelir ini meleluasakan pemerintah kolonial untuk mengembangkan daerah ini sesuai dengan keingiÂnan mereka. Akan tetapi, Demang Wiranata (1749-1758) mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal untuk membuka lahan di Sukahati (Empang, dahulu masihÂpekarangan Istana Bogor) untuk dikelola. Kawasan ini kemudian berkembang sebagai konsentrasi permukiman pribumi dan Arab (permukiman Arab ditandai denÂgan masjidnya sendiri). Selain tumbuh sebagai pasar dan pusat keramaian, kawasan ini akhirnya tumbuh pesat sebagai kawasan komersial dan perdagangan yang unik karena diramaikan kios yang menjual peralatan shalat maupun diramaikan penjual hewan kurban jika menjelang Idul Adha.
Setelah Indonesia merdeka, seiring peresmian nama Bogor sebagai nama resmi wilayah yang dulu disebut Buitenzorg, kota ini pun lambat laun kehilangan kedudukan sentralnya seperti pada masa kolonial. Sejak taÂhun 1950Kota Bogor, bersama Tangerang dan Bekasi, menjadi kota yang direkomendasikan oleh Tim Jabotabek untukdimasukÂkan ke dalam wilayah kota metÂropolitan Jakarta. Kota Bogor diÂproyeksikan menjadi kota satelit bagiJakarta. Namun realisasi dari program itu baru terlaksana pada tahun 1970-an melalui pelaksaÂnaan proyek jalan tolpertama di Indonesia yang dikenal dengan nama Jagorawi.
Proyek ini dimulai dari tahun 1973 dan baru rampungserta dirÂesmikan penggunaannya pada tahun 1978.Struktur wilayah metÂropolitan Jabodetabek, dapat diliÂhat dengan adanya jumlah migrasi yang keluardan masuk DKI Jakarta dan kota sekitarnya. Jumlah ini menunjukkan suatu keterkaitan karena adanya pergerakanyang dapat disebabkan oleh kegiatan ekonomi (tempat bekerja), peÂrumahan (tempat tinggal), dan lainnya.Keterkaitan ini juga diduÂkung oleh adanya infrastruktur terutama transportasi dan komuÂnikasi yang mendorongaliran inÂformasi antar daerah.
Semakin mudahnya akses dan singkatnya waktu tempuh Jakarta- Bogor menyebabkan Bogor menÂjadi salahsatu alternatif daerah tujuan untuk bermukim. Sebagai konsekuensi dari peningkatan jumlah penduduk, Pemerintah Kotamadya Bogor pun berulangÂkali mengadakan pemekaran wilayah. Pada tahun 1984, luas kotamadya Bogor adalah 2.337,5 hektar dengan luas daerah yang terbangun mencapai radius 4 km. Adapun luas efektif kotamadya Bogor adalah 1.500 hektar dengan kepadatan penduduk 126 jiwa per hektar. Bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk ideal, yaitu 75 jiwa per hektar, kota ini dikateÂgorikan berpenduduk padat. Oleh karena itu, pada bulan Maret 1992 disepakati sebuah persetujuan peÂnyerahan 46 desa dari Kabupaten Bogor kepada Kotamadya Bogor. Sejak saat itu luas Kotamadya BoÂgor bertambah empat kali lipat dari luas sebelumnya, menjadi 11.850 hektar.
Sampai sekarang, Kota Bogor terbagi atas 6 kecamatan,31 keluÂrahan, dan 37 desa.
Sebagai satelit Ibukota, Bogor kemudian berbenah. Hal yang sangat jelas terlihat adalah pemÂbangunan fisik kota. Sebagai daeÂrah pemukiman, di Kota Bogor banyak dibangun perumahan. Mulai dari perumahan real estate, menengah, sampai perumahan rakyat. Lebih dari 90 perumahÂan dengan alokasi 6.217 hektar dibangun di kota ini. Selain itu berbagai fasilitas umum, seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibaÂdah, dan terutama pusat dengan alasan kepraktisan dibangun berdekatan dengan pemukiman-pemukiman tersebut. Sampai sekarang jalan utama di kota BoÂgor adalah warisan dari jalan koÂlonial yang sempit. Padahal jumÂlah kendaraan pribadi yang terus meningkat, dan volume angkutan umum semakin membludak. PeÂnataan kota yang buruk membuat Kota Bogor semakin hari terlihat semakin semeraut dan tidak nyaÂman untuk dihuni.
Belum selesai dengan masalah tersebut Kota Bogor terlanjur diÂproklamirkan sebagai kota tujuan wisata. Sejak masa kolonial meÂmang wilayah Kota Bogor memang telah dijadikan daerah tujuan wisata terutama oleh orang-orang Eropa yang bekerja di Eropa. Naar Boven adalah ungkapan yang sering diucapkan apabila seorang Eropa ingin berkunjung ke BoÂgor. Pada masa itu, Bogor meruÂpakan tempat persinggahan untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke wilayah Puncak. NaÂmun demikian, belakangan, Kota Bogor bukan saja menjadi daerah persinggahan,tetapi menjadi daeÂrah tujuan wisata utama menggeÂser kawasan Puncak.
Memang setiap akhir pekan Kebun Raya Bogor masih ramai diÂkunjungi. Akan tetapi, tren wisata Kota Bogor tidak lagi bermuara pada wisata alam, tetapi wisata arÂtifisial terutama wisata makanan dan wisata belanja. Bila kita perhaÂtikan di sepanjang Jalan Pajajaran, dapat kita temukan lima pusat perbelanjaan, padahal pada awal tahun 1990 hanya terdapat sebuah pusat perbelanjaan, yaitu InterÂnusa yang kini menjadi Pangrango Plaza. Selain itu pusat perbelanÂjaan lain yang diserbu wisatawan adalah Factory Outlet (FO) yang berjejer di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Begitu pula dengan restoran-restoran tradisional mauÂpun moderen yang dibanjiri oleh para wisatawan pada akhir pekan.
Ibarat dua sisi mata uang, status Kota Bogor ini merupakan berkah sekaligus musibah. DiÂkatakan berkah karena sejak menjadi kota satelit, perekonoÂmian kota Bogor meningkat pesat. Namun dapat dikatakan pula musibah karena akibat dari pemÂbangunan ini kondisi fisik Kota Bogor tidak tertata dengan baik menggeser atau bahkan mencaÂplok ruang-ruang hijau yang ada.
Kita mungkin sering kali menÂjumpai lahan hijau di kota yang disulap menjadi perumahan, geÂdung perkantoran atau aparteÂment, hal ini menimbulkan damÂpak yang negative bagi lingkungan yaitu ketidak seimbangan ekologi dan mempercepat proses pemaÂnasan global yang tentunya berÂdampak pada kesehatan manusia cepat atau lambat. Belum lagi maÂsalah polusi udara yang membuat kita jengah dan terasa sulit berÂnafas. Sebagai gambaran, ketika kendaraan-kendaraan melaju berÂpacu di jalan raya, ada senyawa karbon yang ikut melambung ke udara. Senyawa karbon yang terÂdiri dari CO (karbon monoksida), HC (hidrokarbon), dan NOx (nitroÂgen oksida) ini meyusup masuk ke udara dan terhirup oleh manusia. pepohonan yang menjadi filter udara telah hilang berganti beton-beton. Maka bisa dibayangkan jutaan racun terhirup masuk dan bersarang dalam tubuh kita.
Padahal, berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Kota Bogor yang berisi pedoman pembanguÂnan Kota Bogor dari tahun 1974 sampai tahun 2000 peruntukan lahan kota secara proporsional terbagi atas perumahan penÂduduk, fasilitas kegiatan sosial, fasilitas kegiatan perekonomian dan kawasan perkantoran dan kelembagaan. Adapun perkemÂbagan fisik kota difokuskan di sebelah timur Sungai Ciliwung yang dijadikan kawasan Proyek Pembangunan Bogor Baru. Pada kenyataannya, pemerintah meÂmiliki kecenderungan untuk menÂdahulukan kepentingan ekonomi daripada sisi kenyamanan kota. Penataan kota tidak direncanakan dengan baik. Berbagai pusat perÂbelanjaan, resotoran, Factory Outlet, dan hotel tetap dibangun di pusat kota. Akibatnya konsenÂtrasi masa tumpah ruah di pusat kota. (*)