Untitled-10Dasar mereka, wa­laupun bisnis ma­sih jalan dan belum banyak terjadi de­fault, tetapi nilai tukar rupiah dan Index Harga Saham Gabungan (IHSG) menun­jukkan trend menurun semakin dalam. Ada juga Pihak yang lebih konservatif dalam menilainya, bahwa yang terjadi hanyalah perlambatan ekonomi. Mereka mendasarkan pada fundamental ekonomi makro yang sudah lebih memadai, sehingga kelambatan ini hanya diakibatkan oleh adan­ya tekanan ekonomi global.

Jika anda menyebut bahwa Indonesia jauh dari krisis, namun sementara tingkat kesulitan eko­nomi rakyat bertambah parah, gelombang PHK terjadi di mana-mana, maka krisis itu sejatinya ada. Jika anda menyebut bahwa Pemerintah mempunyai cukup “amunisi” dan strategi untuk mengantisipasi agar rupiah dan IHSG tidak terus memburuk, na­mun sementara dari hari ke hari tingkat penurunannya semakin dalam, maka sejatinya “amunisi” dan strategi anda tidak lebih kuat dari krisis. Anda boleh “menghi­bur” rakyat tetapi harus dengan menyimak kondisi realitas sehing­ga tidak terjadi paradoksal. Sekali rakyat tidak percaya, maka sulit bagi anda untuk memperoleh dukungan dalam memperbaiki keadaan. Padahal, dukungan rakyat adalah prasyarat Pemerin­tah untuk tetap lentur dan kuat dalam menghadapi keadaan yang sejatinya sulit ini, yaitu krisis.

Siapa yang percaya bahwa pelemahan rupiah dan ron­toknya Bursa Saham Indonesia tidak berhubungan dengan fun­damental perekonomian? Biar­pun “hiburan” datang dari Badan Otoritas seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (BI) dengan memberi pernyataan adanya pertahanan berlapis: Dis­amping mempunyai cadangan devisa yang cukup, Indonesia juga mempunyai Second Lines of Defense (SLD) yang bertujuan di­antaranya sebagai Bilateral Swap Arrangement (BSA), atau tersedi­anya Deferred Drawdown Option (DDO) sebagai lapisan lain dana siaga, dan Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) seb­agai dana cadangan apabila ter­jadi kondisi yang tidak diingink­an. Langkah Fiskal pun juga telah dilakukan dengan berlapis juga yakni; Pemerintah berupaya menjaga pasar sekunder Surat Berharga Negara (SBN) lebih aktif, agar arus modal keluar (capital outflow) tidak terlalu be­sar. Bahkan BUMN yang berada di bawah kendali Kementerian Keuangan untuk terus membantu melakukan stabilisasi pasar dengan melakukan buyback SBN.

Namun, rakyat telah ditun­jukkan oleh keadaan dimana ma­kin lemahnya daya beli sehingga tingkat konsumsi menurun, yang berakibat langsung pada kapasi­tas produksi. Turunannya, dunia industri banyak yang tidak mam­pu dengan melambungnya harga material dasar sehingga nilai jual­nya tidak akan mampu terserap pasar karena mahal, apalagi daya beli masyarakat menurun. Wacana adanya ketahanan yang berlapis itu, tidak akan dipercaya ketika setiap hari rakyat dihadap­kan pada gelombang PHK akibat dunia industri mengalami penu­runan produksi.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Persoalan ekonomi global diprediksi berlanjut sampai ta­hun 2016. Dalam laporan terbaru Moody’s berjudul “ Revisi ke Bawah Outlook Ekonomi 2016”, pertumbuhan ekonomi negara yang tergabung dalam G20 tahun depan adalah 2,8%, lebih rendah dari prediksi awal 3,1%. Penye­bab utama Lembaga Pemeringkat Internasional itu merevisi kem­bali ekonomi global adalah karena kondisi ekonomi China. Kebijakan yang diambil China saat ini untuk mendorong ekspor hanya akan menjadi sebagian kebijakan un­tuk mengimbangi perlambatan yang terjadi di Negari Tirai Bambu tersebut. Hal inipun diambil oleh negara lain dalam rangka menaik­kan kapasitas ekspor untuk mem­perkuat industri dan manufaktur, yakni dengan cara mendevaluasi mata uang. Jadi fenomena curren­cy war dengan cara mendevaluasi mata uang adalah terjadi di banyak negara akibat dari lesunya daya beli dalam negeri sehingga ingin meningkatkan kapasitas ekspor. Celakanya, Indonesia tidak seperti negara lainnya. Nilai ekspor komo­ditas tetap “jeblok” walaupun nilai tukar rupiah turun.

Kenapa kebijakan moneter dan fiskal telah diambil secara berlapis tetapi kondisinya tidak membaik justru menurun? Harus ada terobosan selain kebijakan moneter dan fiskal. Pemikiran yang konkret dan realistik adalah dengan mempercepat masuknya dolar ke Indonesia, melalui in­vestasi dunia usaha. Pikiran yang simple ini adalah obat yang pas, ketika dolar “pulang kampung” akibat capital outflow dengan membaiknya iklim investasi di Amerika. Dolar ditarik kem­bali melalui penawaran proyek-proyek infrastruktur melalui pub­lic private partnership. Masuknya investor Asing jelas akan menin­gkatkan kembali jumlah dolar di dalam negeri (capital inflow) sehingga rupiah perlahan akan menguat, dan juga kepercayaan pasar akan kembali pulih sehing­ga IHSG akan naik. Masuknya dolar melalui kegiatan proyek-proyek adalah real untuk pengua­tan ekonomi, bukan semu yang terjadi pada perdagangan saham.

Upaya mempercepat ma­suknya Investor Asing harus men­jadi fokus utama pemerintah den­gan cara: Pertama, mempercepat proses deregulasi aturan yang di­anggap menghambat arus investa­si. Seperti dilaporkan, hanya per­soalan dwelling time saja (waktu tinggal barang di pelabuhan), ada 122 aturan yang beberapa dianta­ranya tumpang tindih. Asosiasi-asosiasi dunia usaha telah men­cacat ada sekitar 110 regulasi yang tidak memberikan iklim usaha yang baik. Hal ini belum lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus ijin-ijin tersebut. Ter­catat, ada pengurusan ijin sebuah proyek infrastruktur yang mem­butuhkan waktu sampai 900-an hari. Di bidang perpajakan juga kalah bila dibandingkan dengan saingan kita dari negara-negara ASEAN. Pajak Badan yang dike­nakan oleh negara ke Perusahaan Asing memang sudah diturunkan sampai sekitar 25 persen. Tetapi bila dibandingkan dengan Malay­sia masih lebih tinggi 5 persen.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Kedua, meningkatkan koordi­nasi di antara Menteri yang men­gurusi perekonomian. Banyak contoh kasus bagaimana terjadi ketidakharmonisan antar satu departemen dengan departemen lainnya. Kasus batalnya pemban­gunan pelabuhan Cilamaya, Kar­awang. Rencana pembangunan Pelabuhan ini telah melewati studi kelayakan yang cermat oleh professional company, dilaku­kan bertahun-tahun dengan ang­garan yang dibiayai oleh APBN. Peraturan Presiden juga telah diterbitkan yang menandakan secara hukum sudah sah untuk dibangun. Tetapi hanya dalam hitungan hari, oleh Wakil Pres­iden rencana pembangunan itu dibatalkan. Banyak contoh lain yang membuat para Investor ber­pikir seribu kali untuk menanam­kan uangnya ke Indonesia karena tidak adanya kepastian hukum akibat para pemangku otoritas saling berselisih paham.

Contoh masih anyar adalah bagaimana tidak kompaknya di antara Menteri dalam menyikapi pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Sampai sekarang­pun Menko Kemaritiman masih ngotot untuk merevisi target itu hanya separonya saja. Padahal proyek itu sudah diputuskan me­lalui Keputusan Presiden. Anda bisa membayangkan bagaimana susahnya PLN sebagai operator lapangan dalam melaksanakan kebijakan itu? Jika Pelaksana Tender saja bingung, bagaimana mungkin pemilik modal berani mengucurkan dananya yang jum­lahnya ratusan juta dolar?

Ketiga, mempercepat penyer­apan anggaran belanja negara un­tuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Dalam kondisi kri­sis ekonomi, pemerintah adalah sumber kekuatan ekonomi untuk memacu pertumbuhan melalui kebijakan ekspansif, dengan me­ningkatkan pelaksanaan proyek-proyek publik yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Bagi saya, keadaan ekonomi saat ini termasuk krisis. Hanya saja tidak sama dengan krisis di tahun 1998. Karena krisis tahun 1998 diperparah adanya akumu­lasi gejolak politik dengan run­tuhnya sebuah rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun, se­hingga mengakibatkan kerusuhan massa yang luar biasa. Keadaan itulah yang memicu inflasi sampai dua digit dan roda perekonomian berhenti sehingga pertumbuhan minus minus 14 persen.

Akan tetapi, stigma kategori­tas apakah Indonesia saat ini be­lum krisis, atau sudah menuju pada kondisi “semi-kritis”, atau mengalami perlambatan eko­nomi, bagi rakyat tidaklah pent­ing. Kalimat yang bersifat men­enangkan semacam itu tidak bisa diucapkan secara terus-menerus. Pemerintah harus menambah the real capital inflow berupa dolar masuk kembali melalui penana­man modal asing. Akhirnya, mengundang Investor Asing tidak identik dengan menjual negara, seperti yang didengungkan oleh sebagian pihak. Rakyat juga tidak akan menjadi “kacung” di nega­ranya sendiri. Dengan regulasi yang kuat dan konsisten, negara akan mampu mengendalikan perekonomian. (*)

============================================================
============================================================
============================================================