Dasar mereka, waÂlaupun bisnis maÂsih jalan dan belum banyak terjadi deÂfault, tetapi nilai tukar rupiah dan Index Harga Saham Gabungan (IHSG) menunÂjukkan trend menurun semakin dalam. Ada juga Pihak yang lebih konservatif dalam menilainya, bahwa yang terjadi hanyalah perlambatan ekonomi. Mereka mendasarkan pada fundamental ekonomi makro yang sudah lebih memadai, sehingga kelambatan ini hanya diakibatkan oleh adanÂya tekanan ekonomi global.
Jika anda menyebut bahwa Indonesia jauh dari krisis, namun sementara tingkat kesulitan ekoÂnomi rakyat bertambah parah, gelombang PHK terjadi di mana-mana, maka krisis itu sejatinya ada. Jika anda menyebut bahwa Pemerintah mempunyai cukup “amunisi†dan strategi untuk mengantisipasi agar rupiah dan IHSG tidak terus memburuk, naÂmun sementara dari hari ke hari tingkat penurunannya semakin dalam, maka sejatinya “amunisi†dan strategi anda tidak lebih kuat dari krisis. Anda boleh “menghiÂbur†rakyat tetapi harus dengan menyimak kondisi realitas sehingÂga tidak terjadi paradoksal. Sekali rakyat tidak percaya, maka sulit bagi anda untuk memperoleh dukungan dalam memperbaiki keadaan. Padahal, dukungan rakyat adalah prasyarat PemerinÂtah untuk tetap lentur dan kuat dalam menghadapi keadaan yang sejatinya sulit ini, yaitu krisis.
Siapa yang percaya bahwa pelemahan rupiah dan ronÂtoknya Bursa Saham Indonesia tidak berhubungan dengan funÂdamental perekonomian? BiarÂpun “hiburan†datang dari Badan Otoritas seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (BI) dengan memberi pernyataan adanya pertahanan berlapis: DisÂamping mempunyai cadangan devisa yang cukup, Indonesia juga mempunyai Second Lines of Defense (SLD) yang bertujuan diÂantaranya sebagai Bilateral Swap Arrangement (BSA), atau tersediÂanya Deferred Drawdown Option (DDO) sebagai lapisan lain dana siaga, dan Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) sebÂagai dana cadangan apabila terÂjadi kondisi yang tidak diinginkÂan. Langkah Fiskal pun juga telah dilakukan dengan berlapis juga yakni; Pemerintah berupaya menjaga pasar sekunder Surat Berharga Negara (SBN) lebih aktif, agar arus modal keluar (capital outflow) tidak terlalu beÂsar. Bahkan BUMN yang berada di bawah kendali Kementerian Keuangan untuk terus membantu melakukan stabilisasi pasar dengan melakukan buyback SBN.
Namun, rakyat telah ditunÂjukkan oleh keadaan dimana maÂkin lemahnya daya beli sehingga tingkat konsumsi menurun, yang berakibat langsung pada kapasiÂtas produksi. Turunannya, dunia industri banyak yang tidak mamÂpu dengan melambungnya harga material dasar sehingga nilai jualÂnya tidak akan mampu terserap pasar karena mahal, apalagi daya beli masyarakat menurun. Wacana adanya ketahanan yang berlapis itu, tidak akan dipercaya ketika setiap hari rakyat dihadapÂkan pada gelombang PHK akibat dunia industri mengalami penuÂrunan produksi.
Persoalan ekonomi global diprediksi berlanjut sampai taÂhun 2016. Dalam laporan terbaru Moody’s berjudul “ Revisi ke Bawah Outlook Ekonomi 2016â€, pertumbuhan ekonomi negara yang tergabung dalam G20 tahun depan adalah 2,8%, lebih rendah dari prediksi awal 3,1%. PenyeÂbab utama Lembaga Pemeringkat Internasional itu merevisi kemÂbali ekonomi global adalah karena kondisi ekonomi China. Kebijakan yang diambil China saat ini untuk mendorong ekspor hanya akan menjadi sebagian kebijakan unÂtuk mengimbangi perlambatan yang terjadi di Negari Tirai Bambu tersebut. Hal inipun diambil oleh negara lain dalam rangka menaikÂkan kapasitas ekspor untuk memÂperkuat industri dan manufaktur, yakni dengan cara mendevaluasi mata uang. Jadi fenomena currenÂcy war dengan cara mendevaluasi mata uang adalah terjadi di banyak negara akibat dari lesunya daya beli dalam negeri sehingga ingin meningkatkan kapasitas ekspor. Celakanya, Indonesia tidak seperti negara lainnya. Nilai ekspor komoÂditas tetap “jeblok†walaupun nilai tukar rupiah turun.
Kenapa kebijakan moneter dan fiskal telah diambil secara berlapis tetapi kondisinya tidak membaik justru menurun? Harus ada terobosan selain kebijakan moneter dan fiskal. Pemikiran yang konkret dan realistik adalah dengan mempercepat masuknya dolar ke Indonesia, melalui inÂvestasi dunia usaha. Pikiran yang simple ini adalah obat yang pas, ketika dolar “pulang kampung†akibat capital outflow dengan membaiknya iklim investasi di Amerika. Dolar ditarik kemÂbali melalui penawaran proyek-proyek infrastruktur melalui pubÂlic private partnership. Masuknya investor Asing jelas akan meninÂgkatkan kembali jumlah dolar di dalam negeri (capital inflow) sehingga rupiah perlahan akan menguat, dan juga kepercayaan pasar akan kembali pulih sehingÂga IHSG akan naik. Masuknya dolar melalui kegiatan proyek-proyek adalah real untuk penguaÂtan ekonomi, bukan semu yang terjadi pada perdagangan saham.
Upaya mempercepat maÂsuknya Investor Asing harus menÂjadi fokus utama pemerintah denÂgan cara: Pertama, mempercepat proses deregulasi aturan yang diÂanggap menghambat arus investaÂsi. Seperti dilaporkan, hanya perÂsoalan dwelling time saja (waktu tinggal barang di pelabuhan), ada 122 aturan yang beberapa diantaÂranya tumpang tindih. Asosiasi-asosiasi dunia usaha telah menÂcacat ada sekitar 110 regulasi yang tidak memberikan iklim usaha yang baik. Hal ini belum lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus ijin-ijin tersebut. TerÂcatat, ada pengurusan ijin sebuah proyek infrastruktur yang memÂbutuhkan waktu sampai 900-an hari. Di bidang perpajakan juga kalah bila dibandingkan dengan saingan kita dari negara-negara ASEAN. Pajak Badan yang dikeÂnakan oleh negara ke Perusahaan Asing memang sudah diturunkan sampai sekitar 25 persen. Tetapi bila dibandingkan dengan MalayÂsia masih lebih tinggi 5 persen.
Kedua, meningkatkan koordiÂnasi di antara Menteri yang menÂgurusi perekonomian. Banyak contoh kasus bagaimana terjadi ketidakharmonisan antar satu departemen dengan departemen lainnya. Kasus batalnya pembanÂgunan pelabuhan Cilamaya, KarÂawang. Rencana pembangunan Pelabuhan ini telah melewati studi kelayakan yang cermat oleh professional company, dilakuÂkan bertahun-tahun dengan angÂgaran yang dibiayai oleh APBN. Peraturan Presiden juga telah diterbitkan yang menandakan secara hukum sudah sah untuk dibangun. Tetapi hanya dalam hitungan hari, oleh Wakil PresÂiden rencana pembangunan itu dibatalkan. Banyak contoh lain yang membuat para Investor berÂpikir seribu kali untuk menanamÂkan uangnya ke Indonesia karena tidak adanya kepastian hukum akibat para pemangku otoritas saling berselisih paham.
Contoh masih anyar adalah bagaimana tidak kompaknya di antara Menteri dalam menyikapi pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Sampai sekarangÂpun Menko Kemaritiman masih ngotot untuk merevisi target itu hanya separonya saja. Padahal proyek itu sudah diputuskan meÂlalui Keputusan Presiden. Anda bisa membayangkan bagaimana susahnya PLN sebagai operator lapangan dalam melaksanakan kebijakan itu? Jika Pelaksana Tender saja bingung, bagaimana mungkin pemilik modal berani mengucurkan dananya yang jumÂlahnya ratusan juta dolar?
Ketiga, mempercepat penyerÂapan anggaran belanja negara unÂtuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Dalam kondisi kriÂsis ekonomi, pemerintah adalah sumber kekuatan ekonomi untuk memacu pertumbuhan melalui kebijakan ekspansif, dengan meÂningkatkan pelaksanaan proyek-proyek publik yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Bagi saya, keadaan ekonomi saat ini termasuk krisis. Hanya saja tidak sama dengan krisis di tahun 1998. Karena krisis tahun 1998 diperparah adanya akumuÂlasi gejolak politik dengan runÂtuhnya sebuah rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun, seÂhingga mengakibatkan kerusuhan massa yang luar biasa. Keadaan itulah yang memicu inflasi sampai dua digit dan roda perekonomian berhenti sehingga pertumbuhan minus minus 14 persen.
Akan tetapi, stigma kategoriÂtas apakah Indonesia saat ini beÂlum krisis, atau sudah menuju pada kondisi “semi-kritisâ€, atau mengalami perlambatan ekoÂnomi, bagi rakyat tidaklah pentÂing. Kalimat yang bersifat menÂenangkan semacam itu tidak bisa diucapkan secara terus-menerus. Pemerintah harus menambah the real capital inflow berupa dolar masuk kembali melalui penanaÂman modal asing. Akhirnya, mengundang Investor Asing tidak identik dengan menjual negara, seperti yang didengungkan oleh sebagian pihak. Rakyat juga tidak akan menjadi “kacung†di negaÂranya sendiri. Dengan regulasi yang kuat dan konsisten, negara akan mampu mengendalikan perekonomian. (*)