Oleh: YASRAF AMIR PILIANG
Pemikir Sosial dan Kebudayaan
Kekuasaan tidak bekerÂja karena ia tak mamÂpu melaksanakan apa yang dikatakan, mereÂalisasikan apa yang diÂjanjikan, atau mencapai apa yang telah direncanakan. Garis komÂando dalam roda pemerintahan tak hadir karena tak punya efek disiplin pada aparat-aparat lebih rendah.
Krisis keuangan global yang mengancam akhir-akhir ini kian menambah parah kehidupan berÂnegara dan berbangsa karena ia bersamaan dengan semacam â€kriÂsis kekuasaan†yang ada di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Krisis kekuasaan terjadi karena kekuasaan yang ada tak mampu menunjukkan legitimasinya, yaiÂtu kapasitas dalam menjalankan fungsinya sesuai harapan rakyat. Jokowi sebagai pemegang kekuaÂsaan tertinggi negara sejauh ini tak mampu menunjukkan kapaÂsitasnya dalam mengendalikan dan mengarahkan bangsa ke arah perubahan.
Kekuasaan tanpa kuasa tentu sebuah ironi karena ia seperti kata tanpa makna, atau konsep tanpa realitas. Namun, justru â€ironi kekuasaan†itu yang kini dialami negara-bangsa ini, yaitu ketika rezim kekuasaan tak mamÂpu menunjukkan dayanya dalam memecahkan aneka persoalan bangsa. Yang ada hanya ketakÂberdayaan, yaitu ketakmampuan menghadapi aneka tekanan: soÂsial, politik, ekonomi, hukum. Ironi kekuasaan ini akibat kentalÂnya pertarungan kepentingan di dalam tubuh pemerintah itu sendÂiri dan terabaikannya kepentingan bangsa yang lebih besar.
Kekuasaan Minimalis
Kekuasaan tidak bekerja keÂtika ia tak mampu mengarahkan elemen bangsa menuju perbaikan atau perubahan. Otoritas kekuaÂsaan memang ada, yang dipegang para pemangku kekuasaan di dalam aneka aparatus negara, tetapi ia tidak mampu menunjukÂkan kuasanya. Kekuasaan lantas menjadi â€kekuasaan minimalisâ€, yaitu ketika sistem kekuasaan hanya mampu menunjukkan efek kekuasaan sangat kecil, dengan efek perubahan sangat minim.
â€Kekuasaan†adalah kemamÂpuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, untuk mencapai sebuah tujuan, atau singkatnya kemampuan melakukan perubaÂhan. (Boulding, 1989). Artinya, kekuasaan adalah kemampuan merealisasikan apa yang dijanjiÂkan atau mencapai sebuah tujuan bersama melalui jalan perubahan. â€Revolusi mental†adalah sebuah konsep perubahan yang dicananÂgkan Jokowi, tetapi hingga kini tak mampu direalisasikan secara nyata bagi perubahan bangsa ke arah lebih baik.
Kekuasaan juga kemampuan untuk mengawasi, mengoreksi, mengendalikan, mendisiplinkÂan, dan menciptakan kepatuÂhan (Foucault, 1986). Ironisnya, semua kemampuan ini yang tak mampu ditunjukkan oleh Jokowi sebagai kepala negara. Sebaliknya, yang tumbuh adalah ketakpatuhan, indisipliner, pemÂbangkangan aparat-aparat tertenÂtu terhadap kekuasaan tertinggi, pertengkaran di antara para pejaÂbat negara, serta ketakmampuan Jokowi sebagai kepala negara melakukan koreksi, pengawasan, dan perbaikan.
Tak berfungsinya kekuaÂsaan dalam rezim pemerintahan Jokowi diperparah dengan tak berfungsinya aparatus negara sesuai bidang dan kapasitasnya. â€Aparatus†adalah segala sesuatu yang dalam cara dan kapasitas tertentu dapat mengarahkan, menentukan, menahan, menceÂgah, memodelkan atau menÂgamankan perilaku, opini atau wacana (Agamben, 2009). Akan tetapi, ironisnya, beberapa apaÂratus negara tampak tak mampu menjalankan fungsi memodelkan dan mengarahkan tindakan atau menahan dan mencegah aneka tekanan, gejolak, dan krisis.
Ketimbang menjalankan fungÂsinya secara profesional di bidang masing-masing, yang amat kenÂtara dalam rezim sekarang jusÂtru â€rivalitas politik†atas dasar kepentingan. Penunjukan jajaÂran kementerian yang kental nuÂansa politik jadi penyebab utama minimnya profesionalitas untuk menyelesaikan aneka masalah bangsa. Rivalitas politik menÂdorong mereka mendahulukan kepentingan politik sektoral dan sempit ketimbang memikirkan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Akibatnya, terjadi â€perebutan kekuasaan†tak tamÂpak di tubuh pemerintahan itu sendiri. Ada kepentingan â€kekuaÂsaan tak tampak†yang berebut pengaruh—juga lahan ekonomi— di balik aparatus negara yang ada menyebabkan terpecah-belahnya sistem kekuasaan jadi fragmen-fragmen kekuasaan yang tak mampu diintegrasikan oleh Jokowi sebagai pemegang kekuaÂsaan tertinggi negara. Disintegrasi kekuasaan ini menjadi titik lemah rezim Jokowi sehingga tak memiÂliki daya tangkal terhadap aneka tekanan politik dan rentan terhaÂdap ancaman badai krisis.
Krisis timbul ketika strukÂtur sistem pemerintahan hanya mampu menyediakan kemungÂkinan solusi sangat terbatas bagi penyelesaian masalah ketimbang yang diperlukan bagi keberlanÂjutan rezim. â€Krisis kekuasaan†adalah ketika kemampuan untuk mendisiplinkan, mengarahkan, dan mengendalikan yang ditunÂjukkan oleh rezim kekuasaan jauh dari yang diharapkan. KriÂsis kekuasaan macam ini dapat menimbulkan krisis lebih lanjut pada keberlanjutan pemerinÂtahan, berupa â€krisis legitimasiâ€. Jika krisis kekuasaan dan legitiÂmasi ini tak dapat diselesaikan, dikhawatirkan terjadi krisis mulÂtidimensi lebih parah dalam waktu dekat. Krisis multidimensi diprediksi terjadi apabila sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, dan kultural yang ada tak mampu menyediakan solusi bagi penyeleÂsaian aneka masalah bangsa yang kian menumpuk. Krisis kekuaÂsaan adalah akar dari kegaduhan dalam sistem pemerintah Jokowi, yang tak dapat diselesaikan denÂgan sekadar perombakan kabinet.
Kultur Kekuasaan
Perombakan kabinet yang dilakukan Jokowi baru-baru ini nyatanya tak banyak membantu memulihkan kepercayaan akan kemampuan pemerintahan mengatasi berbagai akumulasi perÂmasalahan bangsa yang kian kompleks. Ada masalah lebih fundamental yang pertama-tama harus diselesaikan terkait dengan â€kultur kekuasaanâ€, khususnya mental, suasana batin, karakter, dan nilai-nilai yang bekerja di balik sistem kekuasaan itu sendiri.
Disiplin dan kepatuhan dalam sistem kekuasaan dapat dibenÂtuk melalui berbagai karakter penguasa: karisma, ketegasan, kekuatan batin, kecerdasan, peÂsona diri, atau kecakapan. DisipÂlin dan kepatuhan yang didasari kesadaran nasionalisme dan kekuatan batin anak bangsa dapat jadi kekuatan besar menghadapi krisis karena ia mampu mengikat mereka dalam imagined comÂmunity di atas fondasi kebatinan yang sama. Kemampuan untuk membangun disiplin dan kepatuÂhan dalam bingkai imagined comÂmunity ini yang tak mampu ditunÂjukkan Jokowi.
Rezim otoriter menciptakan kepatuhan atas dasar ketakutan. Namun, rezim â€dis- otoriterâ€, yaitu rezim yang tak mampu menunjukkan kekuasaan, meÂnumbuhkan ketakpedulian atas dasar apatisme. Tidak saja sistem kekuasaan dan beberapa aparatus kekuasaan yang ada tak berfungÂsi, tetapi peran â€wakil rakyat†dan â€kekuasaan rakyat†itu sendÂiri sebagai kekuatan pengoreksi kekuasaan juga tak bekerja kareÂna ada semacam â€kemacetan†di DPR dan apatisme di tengah masyarakat. Padahal, manifestasi satu-satunya â€kekuasaan rakyat†di dalam sistem demokrasi masa kini adalah pada kekuatan untuk mengawasi, mengoreksi, dan meÂluruskan rezim kekuasaan agar sesuai dengan cita-cita, ideal, dan harapan rakyat. Inilah kekuatan â€demokrasi tandinganâ€, yaitu kekuasaan rakyat dalam mengaÂwasi dan mengendalikan rezim kekuasaan yang ada agar tak melÂenceng dari prinsip mencapai keÂbaikan bagi rakyat, dengan tujuan memastikan para pejabat terpilih memegang amanatnya (RosanvalÂlon, 2008).
â€Demokrasi tandingan†adalah semacam dinding penaÂhan dari aneka ancaman terhaÂdap kekuasaan demokratis meÂlalui kekuatan masyarakat sipil. Ia adalah kekuatan demos unÂtuk terus-menerus mengawasi, mengoreksi, dan meningkatkan efektivitas kekuasaan melalui demonstrasi, petisi, atau solidariÂtas sosial. Pengawasan kekuasaan tanpa jeda ini sebagai kompenÂsasi dari tak berfungsinya aparat dan aparatus-aparatus negara. Di sinilah mestinya peran relawan Jokowi, tentunya rakyat pada umÂumnya, dalam memandu agenda Nawacita yang telah dicanangkan.
Akan tetapi, ironisnya, dua fungsi kekuasaan di dalam tubuh demokrasi itu kini lumpuh. NegÂara lemah dan rakyat yang lemah menciptakan semacam efek ganÂda, memudahkan benih-benih kriÂsis multidimensional menjadi keÂnyataan yang menakutkan dalam waktu dekat ini. Negara lemah karena tak berfungsinya kekuaÂsaan pemandu perubahan; rakyat dan wakil rakyat lemah karena tak memiliki dorongan mengoreksi arah perubahan. Tanda-tanda ke arah krisis multidimensi sudah mulai tampak, berupa gejala-geÂjala krisis politik, ekonomi, dan sosial. Gejala â€krisis politik†diÂtunjukkan oleh ketakmampuan rezim mengendalikan kekuatan-kekuatan yang ada; gejala â€krisis ekonomi†ditunjukkan oleh anÂjloknya nilai rupiah, melambatÂnya pertumbuhan ekonomi, dan menurunnya daya beli masyaraÂkat; gejala â€krisis sosial†ditunÂjukkan oleh apatisme masyarakat dan tak adanya â€gerakan sosial†bagi perubahan: demonstrasi, peÂtisi, atau solidaritas sosial.
Apa yang terjadi adalah situasi di mana kompleksitas permasalaÂhan yang ada tak sebanding keÂcanggihan pemikiran, strategi, dan tindakan rezim dalam menÂgatasinya. Ini diperparah oleh tak munculnya kekuatan demokrasi tandingan untuk mengoreksi kekuasaan. Memang, permasalaÂhan ekonomi yang dihadapi sekaÂrang sangat kompleks karena cara kerja ekonomi kini sudah seperti cara kerja politik. Akan tetapi, bagaimanapun, â€kekuatan nasiÂonal†adalah benteng yang mamÂpu menghadapinya.
Untuk itu, Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara harus melakukan langkah-langkah â€budaya politik†untuk menghadapi ancaman krisis. Pertama, Jokowi harus mampu merevitalisasi dan memulihkan otoritas kekuasaannya dengan menunjukkan kemampuannya dalam mengomandokan, menÂgendalikan, mendisiplinkan, menciptakan kepatuhan pada jaÂjaran-jajarannya dan rakyat pada umumnya. Untuk itu, ia harus dapat melepaskan diri dari aneka tekanan dan rongrongan â€kekuaÂtan-kekuatan†di luar otoritas kekuasaannya. Ia tak dapat lagi menggunakan â€tangan orang†lain melawan sebuah kekuatan.
Kedua, Jokowi harus mamÂpu membangun â€suasana baÂtin†rakyat—dengan lebih sering tampil di depan publik—untuk membangkitkan sentimen nasiÂonal, menumbuhkan sense of criÂsis, mengajak rakyat sebagai baÂgian dari krisis, dan membangun semacam â€kekuatan batin†untuk menghadapi ancaman krisis globÂal. Syaratnya, penampilan Jokowi di depan publik demi pencitraan harus dihentikan. (*)