BOGOR, TODAY — Walikota BoÂgor Bima Arya tetap menolak minuman beralkohol seperti bir masuk dan beredar bebas di Kota Bogor.
Deregulasi ekonomi PresÂiden Joko Widodo yang antara lain melonggarkan aturan yang melarang peredaran minuman beralkohol di minimarket, tiÂdak berlaku di Kota Bogor. Padahal deregulasi tersebut segera ditindak lanjuti KemenÂterian Perdagangan dengan merelaksasi Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang peÂtunjuk teknis pelaksanaan pengendalÂian peredaran dan penjualan minuman beralkohol bolongan A (kandungan alkohol di bawah 5 persen).
Rencana relaksasi tersebut meruÂpakan salah satu yang masuk dalam Peket Kebijakan Ekonomi 9 September 2015. Dalam paket tersebut, rencana untuk relaksasi ini masuk ke dalam Daftar Kebijakan Deregulasi September 2015, dan direncanakan akan selesai pada bulan yang sama. “Pekot Bogor sesuai kewenangan tetap memperketat minuman beralkohol. Tidak akan kami longgarkan, malah akan semeakin ketÂat. Ini Bogor, bukan Bali,†tandas WaÂlikota Bogor Bima Arya kepada BOGOR TODAY, Selasa (15/9/2015).
Menurut Bima, rencana relaksasi tersebut tidak berlaku untuk minimarÂket. “Hanya boleh di supermarket dan itu pun tidak boleh diminum di lokasi. Intinya kami akan tetap ketat dan tidak ada yang berubah,†tegasnya.
Mengenai cafe penjual minol, Bima menyatakan akan menutup usaha terseÂbut jika kedapatan tidak memiliki izin peredaran dan penjualan minuman berÂalkohol golongan A. Terlebih bagi cafe di dekat permukiman warga, sarana pendidikan, dan rumah ibadah. “Tidak boleh sembarangan. Kami akan perÂketat izinnya. Jika warga ada yang resah dengan keberadaan cafe itu, silahkan salurkan aspirasnya lewat telpon atau media sosial Pemkot,†tegas dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri KementÂerian Perdagangan, Srie Agustina, menÂgungkapkan bahwa Aturan Dirjen Dagri No. 04/2015 tentang tata cara penjualan minuman beralkohol golongan A, khuÂsusnya untuk daerah wisata. Namun dengan direlaksasinya aturan tersebut, maka nantinya pemerintah daerah yang akan memiliki wewenang untuk meneÂtapkan daerah mana saja yang bisa menjual bir dan minuman sejenisnya.
“Intinya, peraturan Dirjen Dagri yang mengatur khusus daerah wisata yang ada peraturan daerahnya itu, akan direlaksasi dan dikembalikan ke pemÂda. Biarkan pemda yang menentukan lokasi mana yang bisa menjual minuÂman beralkohol. Karena pemda yang paling paham terhadap masyarakatnya, apakah memerlukan minuman beralkoÂhol atau tidak,†kata Srie.
Kurang lebih ada sembilan jenis minuman beralkohol golongan A yang beredar di Indonesia, yaitu shandy, minuman ringan beralkohol, bir, lager, ale, bir hitam atau stout, low alcohol wine, minuman beralkohol berkarboÂnasi, dan anggur brem Bali.
Omzet Turun
Sebelumnya, pengusaha ritel menÂgalami penurunan omzet akibat larangan jualan bir di minimarket. Mereka meÂminta aturan Kementerian Perdagangan tersebut ditarik kembali. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (ApÂrindo) Roy N Mande menyarankan agar bir dengan kadar alkohol di bawah 5 persen bisa kembali dijual di minimarket.
“Kita berharap minol (minuman beralkohol) bisa dikembalikan dijual di minimarket. Tinggal pengaturan, pengawasan saja yang diketatkan. Jadi selain harus pakai KTP, kita juga mau terapkan jangan jual minol di dekat rumah sakit, tempat ibadah, perguruan tinggi atau sekolah. Ini yang perlu diketÂatkan,†tegas Roy.
Dia menilai, pemerintah tidak seÂharusnya melarang penjualan minol tapi justru lebih menyuarakan revolusi mental bagi para generasi muda yang kecanduan minol. “Suarakan revolusi mental, bagaimana peran negara hadir untuk generasi muda penikmat minol. Program Kementerian terkait apa unÂtuk ini, jadi bukan perdagangannya. Minum minol paling kembung kalau keÂbanyakan, tapi jika dicampur spirtus ya pasti berbahaya. Jadi obatnya apa yang kita kedepankan,†jelasnya.
Lebih ironis lagi, kata dia, jika pihak minimarket tidak menjual minol, jusÂtru penjualan disebut semakin ilegal. “Ironisnya pas berjalan beberapa toko ritel kita di daerah lain melihat di depan toko terjadi transaksi black market. MenÂtransaksikannya di depan toko ritel kita. Ini kan minol perlu diawasi, dicanangÂkan, bukan perdagangan. Bahkan beberÂapa industri mau pindahkan pabriknya ke negara lain. Akibatnya malah PHK,†kata dia.
(Apriyadi Hidayat)