Untitled-6JAKARTA, TODAY — Keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) yang menahan suku bunga, bisa berdampak negatif. Yakni menimbulkan ketidak pastian keuangan.

Seperti diketahui, sidang ta­hunan The Fed yang berlangsung pada 17-18 September waktu AS, akhirnya memutuskan tidak menaikkan suku bunga acuan. Akibatnya, beberapa spekulasi makin bermunculan, ada yang memperkirakan suku bunga AS naik tahun ini, namun ada juga yang meyakini tahun depan.

Direktur Eksekutif Mandiri Institute, Des­try Damayanti mengatakan soal bunga the Fed yang tidak berubah, dampak negatifnya bagi Indonesia membuat ketidakpastian, namun ada sisi positifnya.

Menurut Destry efek positifnya adalah memberikan waktu bagi BI atau pemerintah untuk fokus membuat kebijakan domestik se­hingga tidak dipengaruhi tekanan oleh The Fed.

“Kalau bunga The Fed naik, dalam short time kalau ada gejolak kita bisa duga,” kata di acara diskusi Energi Kita di Gedung De­wan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Ia menambahkan, dampak negatifnya adalah ketidakpastian akan timbul, karena ada yang meyakini pada Oktober bunga The Fed akan naik. Namun ada yang meyakini bunga The Fed baru akan naik tahun depan.

“Saya melihatnya nggak mungkin pada 2015 naik, karena Amerika hati-hati dengan situasi ekonomi China yang melambat. Seka­rang dia (China) sudah all out, menurunkan suku bunga, menurunkan pajak penjualan, PPh segala macam, tapi kurang berhasil,” ka­tanya.

Menurutnya dengan melihat ekonomi riil China yang masih melemah ada kemungkinan China terus melakukan depresiasi mata uang untuk mendorong ekspornya. Dampaknya bagi Amerika dan Eropa, barang-barang im­pornya kurang kompetitif dengan China, saat AS menaikkan suku bunga.

BACA JUGA :  Kamu Penderita Diabetes tapi Ingin Makanan Manis? Coba Japanese Vanilla Cake Roll Ini

“Amerika bakal mikir, kalau naikin bunga, investasinya pasti kena. Investasi berarti kena ke sisi supply Amerika. Jadi sementara si China ini terus masuk dengan barang yang lebih murah karena ada depresiasi Yuan. Akhirnya, aku meli­hat di Amerika ada kemungkinan untuk mengge­ser lebih lama lagi kenaikan The Fed,” katanya.

Ia mengatakan saat ini BI memang masih fokus untuk menekan sisi permintaan (de­mand) USD dalam mengantisipasi tekanan dari The Fed terkait menjaga rupiah. Misalnya soal pembatasan transaksi USD maksimal USD 25.000 per bulan di dalam negeri.

“Kami berharap kebijakan ini juga dikem­bangkan dari sisi supply-nya. Yang dilakukan BI sekarang adalah memperkaya instrumen moneternya. Sekarang belum,” katanya.

Selain itu, yang dibutuhkan pelaku bisnis adalah pendalaman di sektor keuangan soal hedging kurs. BI punya salah satu peraturan mengharuskan dunia yang punya utang luar negeri harus mengamankan 50% utangnya dalam waktu 3 bulan.

“Berarti harus masuk ke hedging, dia harus masuk ke pasar derivatif. Kita tahu utang luar ngeri swasta besar sekali, ada sekitar USD 195 miliar dan 20% dalam jangka waktu 1-2 tahun, akan besar sekali kebutuhan dolar,” katanya.

Menanggapi keputusan The Fed menunda kenaikan suku bunga acuan, Gubernur Bank In­donesia (BI) Agus Martowardojo mengakatan bahwa keputusan tersebut membuat ketidak­pastian di pasar keuangan global berlanjut.

BACA JUGA :  Patroli 3 Pilar, Situasi Malam Takbiran di Kota Bogor Kondusif

Agus Marto menilai, keputusan The Fed telah melalui berbagai pertimbangan. Utaman­ya, perkembangan ekonomi dunia saat ini dini­lai lebih buruk. “Faktor yang paling besar adalah kuncinya ekonomi dunia perkembangannya lebih buruk dari bulan sebelumnya,” ujar dia.

Jadi, kata Agus, jika perkembangan eko­nomi dunia lebih buruk, itu tanda bahwa per­baikan ekonomi AS tidak secepat yang diper­kirakan. Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah perekonomian China yang juga dalam tren melemah. “Tiongkok ekonominya me­lemah. Orang bilang mereka ekonominya akan jatuh di bawah 7%, tapi mungkin akan lebih lemah,” katanya.

Di Indonesia sendiri, Agus mengatakan, perekonomian masih belum akan tumbuh tinggi. Masih minimnya realisasi anggaran pemerintah di proyek-proyek infrastruktur menjadi salah satu alasannya.

“Kita juga harus sadar bahwa sekarang su­dah September ya, mungkin kuartal tiga nanti kinerjanya nggak setinggi seperti yang di­harapkan karena masalah proses penyelesaian proyek dan pembebasan lahan,” terang dia.

Agus menambahkan, dari sisi nilai tukar rupiah, masyarakat Indonesia masih gemar bertransaksi menggunakan valuta asing (valas) di dalam negeri. Padahal, kewajiban peng­gunaan rupiah di dalam negeri sudah diatur dalam Undang-undang (UU).

“Transaksi di Indonesia masih banyak yang menggunakan valas padahal di UU harus pakai rupiah. Itu yang membuat sensitivitas ni­lai tukar tinggi dan memperbesar defisit kita. Jadi kita harus melakukan perbaikan struk­tural, jangan mengandalkan konusumsi tapi beralih ke produksi, tidak menjadi negara yang dominan pada impor tapi harus pada ekspor,” jelas dia.

(Alfian M|net)

============================================================
============================================================
============================================================