JAKARTA, TODAY — Pemerintahan Presiden Joko Widodo ( Jokowi) didesar segera menuÂrunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebÂagai upaya stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Ekonomi Indonesia yang lesu karena melambatnya ekonomi global termaÂsuk jatuhnya harga komoditas, membuat daya beli masyarakat ikut turun tajam. Direktur Lembaga PenyeliÂdikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Teguh Dartanto mengungÂkapkan, paket kebijakan yang dikeluarkan Presiden Jokowi sifatnya hanya menata iklim bisnis di dalam negeri. DamÂpak konkretnya ke masyarakat masih butuh waktu beberapa bulan ke depan. Deregulasi 134 peraturan dampaknya jangka panjang dan bersifat makro.
“Kalau mau cepat memÂperbaiki daya beli masyarakat, sebenarnya tinggal turunkan harga BBM saja. BBM kan kalau mengacu harga internasional sudah turun, jadi kalau pun turun tidak membahayakan APBN. Tapi sampai sekarang beÂlum turun,†ujar Teguh dalam diskusi Senator Kita, di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (20/9/2015).
Selain dampaknya cepat, keÂbijakan penurunan harga BBM, juga sifatnya riil dan efeknya bisa dirasakan semua pelaku usaha. “Kalau paket kebijakan hanya menyentuh pengusaha besar karena sifatnya makro. KaÂlau BBM kan riil semua masyaraÂkat sampai bawah merasakan. Saya heran harga Premium samÂpai sekarang masih kayak harga Pertamax,†ucap Teguh.
Selain itu, paket kebijakan ekonomi hanya stimulus yang sifatnya level nasional, namun tidak menyentuh pembanguÂnan ekonomi di daerah. “Dari 134 kebijakan itu kalau dilihat itu levelnya nasional semua. Seolah pemerintah daerah (Pemda) nggak diajak, damÂpaknya implementasi di lapanÂgan susah,’’ kata Teguh.
Pemda, menurut Teguh, bingung mau ngapain dengan adanya paket kebijakan. AkhÂirnya yang kementerian yang di pusat saja yang jalan. ‘’PaÂdahal Pemda ini yang justru paling menggerakan ekonomi secara nasional,†katanya.
Senada dengan Teguh, Guru Besar Ekonomi UniverÂsitas Lampung Bustanul Arifin mengungkapkan, paket kebiÂjakan ekonomi pemerintah tidak menyentuh masalah, apalagi memperbaiki daya beli masyarakat untuk menggerÂakan pertumbuhan ekonomi. Saat ini pemerintah sedang menyiapkan deregulasi 134 peraturan terkait mendorong ekonomi.
“Dari 134 itu, mana yang benar-benar aksi. Semua kan masih dipetakan di tingkat keÂmenterian, beberapa malah sifatnya masih pekerjaan rutin, bukan gebrakan. Kalau mau yang nyata dampaknya di laÂpangan yah BBM, atau kemuÂdahan kredit buat UKM,†jelas Bustanul Arifin.
Bustanul mengatakan, keÂbijakan penurunan suku bunga pun nyatanya sulit direalisasi. Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya pun, serapan kredit UKM selalu keÂcil meski dengan iming-iming bunga rendah.
“Karena yang diperbaiki tidak di level aksi. Coba lihat bunga KUR (kredit usaha rakyÂat), bahwa agar pantas dibiÂayai KUR, usaha rakyat harus dapat rekomendasi dulu dari dinas setempat, tapi dari dulu sampai sekarang kalau mau dapat rekomendasi selalu ada pungutan. Jadinya siapa yang mau ngajukan kredit, itu yang diharapkan pelaku usaha kecil di daerah,†imbuh Bustanul.
Desakan agar pemerintah menurunkan harga BBM juga datang dari DPR. Harga minÂyak dunia saat ini memang turun, sehingga desakan ini bermunculan. Seperti diketaÂhui, harga minya dunia saat ini berada pada kisaran USD40-USD45 perbarel. Namun harga BBM di tingkat eceran masih relatif tinggi. Harga bensin Premium, misalnya, masih diÂjual Rp 7.600/liter, Peramax 92 dijual Rp 9.150, dan Pertamax Plus Rp 10.300/liter.
(Alfian M|net)