Untitled-16INI mungkin kabar buruk bagi pemberantasan korupsi. Mahkamah Konstitusi (MK) mengetok palu terkait judicial review (JR) UU MD3. Keputusannya, para anggota DPR dan DPRD tidak bisa diperiksa penegak hukum tanpa seizin Presiden dan Mendagri.

YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]

Keputusan MK ini memang membuat jalan memutar bagi penyidik jika ingin memer­iksa anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ko­rupsi. Jika penyidik ingin memeriksa ang­gota DPR harus minta izin kepada Presiden, sedangkan anggota DPRD harus meminta izin ke Mendagri.

“Menurut mahkamah konstitusi izin ter­tulis dari Presiden juga harus berlaku untuk anggota MPR dan DPD. Sedangkan untuk anggota DPRD di provinsi kabupaten/kota pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan harus mendapat persetu­juan tertulis dari Mendagri,” kata Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams saat mem­bacakan putusannya di Mahkamah Konsti­tusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (22/9/2015).

Anehnya, putusan tersebut dibuat tidak sesuai permohonan pemohon. Pemohon meminta pemeriksaan penyidik tidak perlu izin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKH) dan langsung bisa diperiksa penyidik. Alih-alih menghapus kewenangan MKD, kini izin berpindah ke tangan presiden. “Menurut Mahkamah adanya persetujuan tertulis dari MKD kepada anggota DPR yang sedang di­lakukan penyidikan menurut Mahkamah tidak tepat, karena MKD meskipun disebut mahkamah hukumnya adalah alat kelengka­pan DPR dan merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana,” kata Adams.

Putusan ini berseberangan dengan semangat MK saat menghapus ketentuan penyidikan kepala daerah. Dalam putusan yang dibacakan pada 26 September 2012, MK memutuskan kejaksaan dan kepolisian dapat langsung memeriksa kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Itu bisa di­lakukan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Presiden.

Namun, MK mempertahankan ketentu­an bahwa izin Presiden itu tetap dibutuhkan jika kepolisian atau kejaksaan akan mena­han kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.

BACA JUGA :  Resep Membuat Mango Sago di Rumah Dijamin Anti Gagal

Berdasarkan berkas putusan yang diku­tip BOGOR TODAY dari website MK, Selasa (22/9/2015), putusan ini sebenarnya sudah selesai diputuskan dalam Rapat Permusy­awaratan Hakim (RPH) pada 20 November 2014 lalu. Namun, MK baru membacakan kemarin, RPH itu diikuti oleh:

  1. Hamdan Zoelva 2. Arief Hidayat
  2. Wahiduddin Adams 4. Maria Farida Indrati
  3. Anwar Usman 6. Patrialis Akbar
  4. Ahmad Fadlil Sumadi
  5. Muhammad Alim 9. Aswanto.

Namun setelah RPH itu diketok, putusan ti­dak kunjung dibacakan dan mengumumkan ke publik. Hingga Hamdan lengser sebagai hakim konstitusi per 1 Januari 2015 lalu dan tampuk Ketua MK jatuh ke tangan Arief Hi­dayat. Namun setelah itu, putusan juga ti­dak kunjung diselesaikan dan tidak pernah diumumkan hasilnya. Hingga MK memba­cakan pada Selasa (22/9/2015) atau setelah 11 bulan berlalu sejak putusan dibuat. “Mengabulkan permohonan II untuk seba­gian,” kata Ketua MK Arief.

Terlambatnya pengumuman putusan ini sangat kontras dengan kinerja Mahkamah Agung (MA). Saat ini MA membuat regu­lasi yaitu majelis mengumumkan putusan maksimal 1×24 jam sejak diketok. Artinya, regulasi ini sudah dipetieskan selama 11 bulan.

KPK Tak Mau Tahu

Menyikapi keputusan itu, Komisi Pem­berantasan Korupsi (KPK) menyatakan tak mau tahu. “Selama ini KPK berpedoman ke­pada UU 30 Tahun 2002 dalam melakukan pemanggilan saksi dan atau tersangka KPK dalam kaitan dengan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kecuali jika tidak diiatur oleh UU 30 tahun 2002 maka KPK akan mengacu pada KUHAP dan KUHP,” kata Plt Pimpinan KPJ Johan Budi, Selasa (22/9/2015).

Jadi, KPK akan tetap melakukan pe­manggilan tanpa perlu izin Presiden atau Mendagri. Lagi pula, dahulu aturan UU MD3 ini tidak berlaku bagi KPK yang mempunyai UU Khusus.

Sebelumnya, keharusan ini dituangkan dalam putusan yang dimohonkan Perkum­pulkan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. Pemohon meminta pemeriksaan penyidik tidak perlu izin Mahkamah Kehor­matan Dewan (MKH) untuk memberikan kesamaan warga negara di muka hukum. Tapi anehnya, selain menghapuskan keten­tuan itu, MK malah mengalihkan kewajiban penyidik meminta izin ke presiden. “Kita kecewa dengan putusan MK. Sebab menu­rut kami ini janggal. Sebab kita perlu tahu kenapa ajukan permohonan untuk keseta­raan perlakukan WNI. Kalau orang umum dipanggil tanpa izin, lalu kenapa untuk ang­gota DPR harus ada izin,” ujar kuasa hukum Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, Ichsan Zikry, usai persi­dangan di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Selasa (22/9/2015).

BACA JUGA :  Kontroversial Wasit di Laga Indonesia vs Qatar, PSSI Layangkan Protes ke AFC

Untuk memutus seperti itu dia meni­lai hakim harus memiliki alasan rasional dan objektif. Dia mencontohkan dengan UU Pemda tentang keharusan izin Pres­iden untuk Walikota dan Bupati yang hen­dak diperiksa, namun dibatalkan oleh MK. “Sebelumnya hanya DPR, sekarang makin parah karena anggota DPD dan MPR harus izin juga, bahkan DPRD juga. Bukan norma 245 itu saja. MK perluas objek pemerik­saan hingga pasal 224, yang mana memang berkaitan saat dia jalankan tugas dan ke­wenangan sebagai anggota DPR,” kata dia. “Tapi poin yang kita sayangkan, kenapa semangat kesetaraan DPR malah berujung semakin parahnya diskriminasi. Yang har­usnya kita ingin anggota DPR tak perlu izin MKD, justru diperluas ke MPR dan DPD,” sambungnya.

Dia khawatir prosedur izin antara lem­baga eksekutif dan legislatif ini akan mem­perlambat proses penegakan hukum. Juga akan mempersulit proses hukum anggota DPR. “MK juga akui dalam pertimbangan, saat dipanggil proses hukum tak mengha­langi tugas-tugas dia. Pertanyaannya kalau tak ganggu kinerja kenapa harus ada izin. Ini kan cuma pemanggilan pemeriksaan. Kalau penahanan okelah bisa ganggu kinerja, tapi ini kan dipanggil doang. Kalau begini caran­ya semua pejabat negaa kalau mau diperik­sa harus ada surat izin, bagaimana sulitnya usut pidana,” kata Ichsan. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================