Opini-2-FX-SugiyantoSELAMA BBM masih menjadi komoditas politik, selama itu pula isu mengenai bahan bakar selalu menjadi isu publik panas. Posisi sebagai komoditas politik tidak akan berakhir selama harga di pasar adalah harga disubsidi. Hanya dengan menghapus subsidi, wacana kenaikan harga bahan bakar tak lagi jadi isu politik seksi dan menguras energi untuk berdebat.

Oleh: FX SUGIYANTO
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro

Pada saat bersamaan, dalam posisi sebagai komoditas politik, ra­sionalitas atas perlunya menaikkan harga BBM akan dikalahkan oleh pertarungan kepentingan yang saling mene­likung antarelite politik untuk mendapatkan rente politik den­gan mengatasnamakan kepent­ingan rakyat. Berkait isu bahan bakar yang saat ini masih panas, hal itu tidak terlepas dari saling telikung antarelite politik, yang membuat rakyat jengkel.

Berdasarkan perhitungan se­cara ekonomi rasional, sudah se­harusnya harga BBM dinaikkan bila tak ingin APBN makin kepaya­han dan tidak berdaya menyangga kepentingan pelayanan publik, sementara politik anggaran tak berubah. Dari rencana belanja RAPBN 2015 Rp 2019,87 triliun, untuk subsidi BBM saja meng­habiskan Rp 291,11 triliun (14,41 %) dan listrik Rp 72,42 triliun (3,58 %), atau total sekitar 18%. Nilai subsidi itu setara dengan pembua­tan 65 jembatan Suramadu, atau membangun tiga jembatan di atas Selat Sunda.

Bahkan, bila kemudian asum­si-asumsi RAPBN meleset, misal harga minyak di pasar dunia dan kurs dolar AS lebih tinggi dari yang diasumsikan, dipastikan subsidi makin membengkak. Ringkasnya, defisit RAPBN yang diperkirakan 2,32% terhadap PDB bisa menin­gkat mendekati batas 3% yang diperbolehkan undang-undang. Ruang fiskal yang sangat sempit it­ulah yang dihadapi pemerintahan Jokowi-JK.

Saling Telikung

Dalam ruang fiskal yang san­gat sempit itu, hanya 92,37% RAPBN yang dapat dibelanjakan untuk pelayanan publik, semen­tara 7,63% untuk membayar bun­ga. Dengan subsidi energi dan pembayaran bunga begitu besar, multiplier belanja APBN semakin kecil. Karena itu menjadi benar bahwa mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM merupak­an kebijakan rasional. Siapa yang harus menanggung beban politik terkait kenaikan harga BBM? Di sinilah saling telikung terjadi.

Menggeser beban politik ke­naikan harga BBM kepada Jokowi- JK jelas tidak fair.

Justru mereka merasa diting­gali ”bom waktu”. Hal paling ris­kan adalah tidak adanya rencana belanja kompensasi dampak kenai­kan harga BBM dalam RAPBN 2015. Karena itu bisa dipastikan jika Jokowi-JK menaikkan harga BBM, ”bom waktu” tersebut meledak dan tidak ada alat peredamnya.

Dalam pandangan yang pro- Jokowi-JK, SBY mesti bertanggung jawab karena kemeningkatan konsumsi BBM bersubsidi; yang dikatakan tak mencukupi sampai akhir tahun, juga akibat kebijakan­nya membebaskan pajak impor LCGC. Kenyataannya, mobil mu­rah dan ramah lingkungan terse­but banyak mengonsumsi BBM bersubsidi, dan Jokowi terang-terangan tidak setuju kebijakan tersebut. Tapi bagi SBY, menaik­kan harga BBM di ujung pemer­intahannya sangat tidak mengun­tungkan dan bisa meninggalkan kesan buruk, sekaligus memberi bonus politik kepada Jokowi-JK. Sangat kecil kemungkinannya SBY bersedia menanggung beban poli­tik itu kecuali ia mendapat ”kom­pensasi politik” setimpal.

fair adalah SBYmenyediakan ruang yang lebih leluasa bagi tim transisi Jokowi-JK untuk terli­bat merevisi dan menyesuaikan RAPBN 2015. Andai SBY tak mau dituduh menelikung Jokowi maka ruang itu harus dibuka supaya Jokowi-JK bisa mulai merancang postur RAPBN 2015 yang disiap­kan untuk mengantisipasi kenai­kan harga BBM. Melihat dan mem­bandingkan RAPBN 2015 dengan visi-misi Jokowi-JK, sesungguhnya memungkinkan ruang fiskal yang lebih longgar.

Taruhlah, dengan tanpa men­gubah asumsi dan rencana defisit RAPBN, Jokowi-JK bisa merealoka­sikan rencana anggaran, baik pada sisi belanja maupun pendapatan. Pertama; pengurangan subsidi BBM direalokasikan untuk penam­bahan rencana belanja pelayanan publik; baik untuk belanja modal seperti infrastruktur ataupun pen­didikan, kesehatan, subsidi non­energi, maupun kompensasi aki­bat kenaikan harga BBM. Berapa besar pengurangan subsidi, dan untuk apa realokasi itu, biarlah tim Jokowi-JK yang menyimulasikan.

Kedua; penghematan belanja melalui perampingan birokrasi dan e-budgeting. Postur RAPBN 2015 dirancang berdasarkan bi­rokrasi sangat gemuk. Ada 86 ke­menterian/lembaga (K/L) diberi alokasi anggaran Rp 600,58 trili­un. Apabila Jokowi jadi meramp­ingkan dan kembali mengelom­pokkan tupoksi birokrasi, sangat dimungkinkan menghemat belan­ja. Tim transisi semestinya diberi ruang menyimulasikan anggaran berdasarkan konsep perampin­gan dan pengelompokan kembali tupoksi. Perkiraan penghematan inilah yang kemudian direaloka­sikan untuk penambahan belanja pelayanan publik, program sub­sidi pangan, subsidi UMKM, dana desa atau kompensasi dampak ke­naikan harga BBM.

Ketiga; peningkatan tax ratio. RAPBN 2015 disusun dengan san­gat konservatif.

Rasio pajak ditargetkan me­ningkat hanya 12,32% atau di­hitung andai pajak daerah dan lainnya 15,62%. Kepekaan peneri­maan pajak relatif konstan. Den­gan kenaikan penerimaan pajak 10,01% dan inflasi 4,4%, elastisitas penerimaan pajak hanya 1 (satu). Memang tak mudah menaikkan tapi fakta tax ratio Indonesia saat ini sekitar 12%, jauh lebih rendah dibanding beberapa negara ASE­AN, seperti Malaysia dan Thailand yang sudah sekitar 15%.

Lebih Progresif

Penelitian IMF tahun 2011 menemukan fakta bahwa den­gan potensi saat ini, rasio pajak Indonesia mestinya bisa sekitar 21,5%. Itu juga berarti ada tax gap yang besar, hampir sama dengan penerimaan pajak saat ini. Melihat besar potensi penerimaan pajak, mestinya pemerintah lebih pro­gresif menargetkan pendapatan pajak dalam negeri. Jika Jokowi-JK ingin membangun pemerintahan yang bersih, mestinya berani men­argetkan rasio pajak lebih tinggi.

Terkait hal ini, pemerintah SBY mestinya membuka ruang untuk menegosiasikan potensi penerimaan pajak dalam RAPBN 2015. Sangat tidak elok para politi­kus saling menelikung, sementara rakyat justru makin dewasa dan lebih memahami arti bernegara. Karena itu, cara paling fair menga­tasi kemelut BBM adalah dengan menegosiasikan ruang fiskal di RAPBN 2015. Menjadi lebih indah bila bukan hanya Jokowi-JK yang bertemu SBY untuk membuka akses ke RAPBN 2015, melainkan juga para pemimpin partai pen­dukung presiden-wakil presiden terpilih. Demi rakyat kiranya hal ini bisa dilakukan. (*)

============================================================
============================================================
============================================================