KESADARAN, wacana dan daya kritis terhadap ruangkota, dibangun bersama oleh para perupa dan seniman Bogor. Melalui perhelatan Bogor Art Movement 2015, mereka mencoba menarik gerak bebas kesenian di ruang publik. Semangat baru ini, patut dihargai sebagai ciri perkembangan seni rupa di Kota Bogor.
Oleh: RIFKY SETIADI
Respon ini tentu tidak datang begitu saja. Tak bisa dipungkiri, Kota Bogor saat ini masih dikepung berbagai ornamen luar ruang yang tidak menginÂdahkan ‘estetika kota’ dan abai terhadap hak-hak publik atas ruang terbuka. Mata kita dipaksa melihat banyak perang kepentingan, reklame konsumÂtif, hingga wajah politis yang nyinyir di tengah kota. Nyinyir karena pesan yang ditaruhnya bertabrakan dengan etika dan estetika ruang publik. Kondisi ini seperti ‘sampah visual’ yang tak terkendali dan bahkan pada beberapa hal telah memÂbawa bumerang bagi citra seni rupa. Mural painting, lukisan di dinding tembok bisa dituduh sebagaivandalisme, sejajar dengan corat-coret kaum yang tak bertanggungjawab.
Papan reklame menjadi pembunuh sudut pandang, memaksa selera dan pemahaÂman di saat warga kita memÂbutuhkan kebebasan berpikir. Akibatnya, harkat seni rupa telah diperalat bukan sebagai pengindah ruang, melainkan menjadi periuh kesimpangÂsiuran sajian pandang (visual performing) sebuah kota. Di ruang-ruang publik Bogor, nyaris menjadi kota tanpa seleraseni.
Di tengah situasi itu, kita bisa melihat bagaimana resÂpek warga kota terhadap temÂpat tinggalnya yang terasa mengalamikemunduran. SehaÂrusnya publik kota memahami dengan benar makna privacy dan individualisme yang sudah tentu jauh berbeda dengan egoÂisme. Bukankah individualisme hadir demi respek kepada orang lain? Termasuk lingkungannya, bahkan sejarah.
Bogor Art Movement (BAM) 2015 sebagai aktivitas seni yang dikelola oleh Ruang8 meruÂpakan program pameran seni rupa dari Dinas Pariwisata, KeÂbudayaan dan Ekonomi Kreatif (Disbudparekraf) Kota Bogor yang didukung oleh komunitas Arteri, DPD KNPI Kota Bogor dan koran harian Bogor Today. Acara ini mulai berlangsung pada 10-15 Oktober 2015. Mulai tanggal 10 Oktober, para seniÂman melakukan proses karya eksperimen di Underpass KeÂbun Raya Bogor (KRB) dan diÂhadirkan hingga akhir Oktober mendatang, sementara secara resmi opening ceremony dibuÂka oleh Wakil Wali Kota Bogor, Usmar Hariman pada Senin (12/10/2015) di Botani Square, Bogor. Di ruang Botani Square itu, pameran lukisan digelar dan diisi oleh sekitar 30 seniÂman dan sekitar 70 karya luÂkis. Sedangkan di Underpass dan selasarnya, dihadirkan karya-karya seniman berupa seni instalasi, pertunjukan seni, sastra dan kegiatan buÂdaya lainnya. Sambutan pubÂlik yang luar biasa telah memÂbuat nafas dan suasana baru bagi di Kota Bogor. Bentuk dan format kegiatan semacam ini memang merupakan kali pertama dihadirkandi Bogor. Walikota Bogor, Bima Arya, merespon kegiatan seniman dengan menghadiri kegiatan dialog dengan para seniman, budayawan dan pemerhati ruangpublik. Bima berdialog soal estetika kota dan ruang publikdi Kota Bogor pada Rabu (14/10/2015) di ruang paÂmeran Botani Square, Bogor.
Melalui semangat tema “Menilik Ruang Publikâ€, BAM 2015 diharapkan dapat memÂbangun kesadaran banyak pihak terhadap peran ruang publik. Itulah sebabnya, dalam realitas kota yang sekarang kita tinggali, sudah saatnya dipikirkanbagaimana sikap dan peran kita dalam memÂbangun kota tanpa melahirkan konflik baru.
Ruang publik dalam kategorispasial kota adalah ruang yang ditujukan untuk keÂpentingan publik. Modernitas dalam hal ini harus bertangÂgung jawab atas dehumanisasi yang turut dihasilkannya; ruangpublik adalah salah satu jalan bagi anggota masyarakat unÂtuk menemukan kembali ruang kemanusiaannya. Dalam strateÂgi lingkungan, ia adalah fungsi yang dibayangkan (dibayangÂkan publik membutuhkannya dan dibayangkan pula publik akan menggunakannyauntuk kegiatan sosial-komunal atau personal yang produktif).
Beberapa prasyarat harus dipenuhi agar bayangan atas fungsi ini bisa terwujud. RuÂang publik bisa berarti tempat (plaza/piazza/alun-alun, taÂman/hutan kota) tapi mungkin lebih luas dari itu sebagaimana tempat umum (wc umum, rumah sakit umum) tidak selaÂlu berarti ruang publik. Dalam perencanaantata-kota yang berhasil, apa yang dibayangkan dan dirancang dapat terwujud pada (atau mengkonstruksi) kenyataan praktik sehari-hari. Tidak seluruh kasus strategi dan kenyataan mencapai keÂsepadanan. Strategi tata kota belum tentu berhasil. FakÂtor metode pendekatan yang keliruatau usang cenderung menjadi penyebabnya.
Jika strategi tata kota mungÂkin keliru, bisa dibayangkan apa yang terjadi jika suatu kota tidak memiliki strategi tata kota sama sekali. Mungkinkah suatu kota tidak memiliki strategi tata kota sama sekali? Bahwa setiap kota pasti mengeÂluarkan kebijakan tata kota, itu adalah kenyataan yang ditunÂtut percepatan dunia modern. Setiap kota, misalnya, haruslah punya kebijakan mengenai maÂsalah parkir. Sayangnya, kebiÂjakan tidak selalu datang dari suatu rancang strategis. KebanÂyakan kota di Indonesia telah berhasil menujukkan kegagaÂpannya menghadapi tuntuÂtan perubahan dunia modern dan semakin gugup begitu kebijakan-kebijakan taktis silih berganti dikeluarkan namun hasilnya kacau balau. Jika suÂdah pernah diduga sebelumÂnya bahwa transportasi publik yang buruk berseteru dengan meningkatnya urbanisasidan membludaknya kendaraan pribadi (dan kemudian berÂakibat pada pola konsumsi bahan bakar, kesadaran politik lingkungan, dan seterusnya), kenapa jalan keluar selalu terÂlambat? Jika perbaikan jalan, pembangunan trotoar atau sitem pembuangan sampah adalah sebuah strategi kota, mengapa masih harus terjadi saling gali tutup di jalan raya? Mengapa pejalan kaki menÂjadi kehilangan haknya saat ingin berjalan di trotoar? MenÂgapa pula sungai masih menÂjadi korban sebagai tempat pembuangansampah?
Kesenian, seperti seni rupa, seperti juga kota, bergerak dalam sekian arus modern yang bercabang dan mengÂhasilkan pula kecenderungan yang beragam. Salah satu yang paling kuat adalah kencenÂderungan untuk meninggalÂkan ruang-ruang dan tempat dipajangnya karya seni yang selama ini telah terlembaga. Sebutlah, galeri. Seni dalam perkembangan kini memang sudah seharusnya mendekati khalayak, menempati ruang publik, menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang berbudaya. Seni tak melulu berada di altar tinggi, dilayani layaknya bangsawan masa lalu. Seni bisa mengakar di selasar publik, tanpa harus kehilangan nilai keagungan dan pemikiran estetis dalam karyanya.
Seni, tanpa menjadi monoÂlitik, di antara yang bergerÂak meninggalkan galeri ini adapula, yang disebabkan kareÂna berbagai faktor, melakukan proyek-proyek seninya di temÂpat-tempat umum, dinding-dinding nganggur di pinggir jalan, mall, dan berbagai area lain yang berupaya menembus jarak spasialnya dengan orang banyak. Sementara galeri (yang belum juga dimiliki oleh Kota Bogor), sebenarnya bersifat pasif: menunggu kedatanganpengunjung atau gamblangÂnya, berharap hadirnyaseorang kolektor seni. DindÂing di pinggir jalan bersifat terbuka, lorong di tengah kota juga membuka interaksi sosial yang dilalui oleh banyak orang, meski mereka bukan pengunÂjung dan tidak selalu dalam inÂtensi mengapresiasi seni. Tapi seni disana bisa dinikmati oleh siapapun.
Seperti juga strategi tata kota, karya seni yang ditampilÂkan bukan tidak mungkin tidak disukai, bukan tidak mungkin juga sangat disukai. Frase ini ditujukan untuk menekankan karakter kesementaraannya; suatu seni rupa yang meÂmang dikerjakan dengan reÂsiko hilang, rusak, berdiam dalam rentang waktu yang lama. Sebagaisebuah bagian dari dialektika pertumbuhan kota, seni temporer ini telah berkembang di banyak temÂpat di seluruh dunia. Suatu perkembangan yang telah pula menghasilkan peta disiplinesÂtetik, teknik, tematik yang cukÂup luas dan teruji. Ia mengambilbanyak nama: mural, graffiti, instalasi, performance art dan masih banyak lagi. Adapula sebutan bagi jejaring dalam sistem kulturnya: street art, di mana direpresentasikan pula musik, out-door dance, battle mc, dan seterusnya.
Sebagai mana pengaruh seÂni-seni modernis di awal abad 20 pada seniman kita, perkemÂbangan seni temporer disini juga diwakili oleh beberapa seniman individual maupun kelompok. Karakter tempoÂrer dari seni yang berlangsung di jalan dan tempat-tempat umum ini mengandaikan bahÂwa respon langsung dari publik yang sangat beragam dan bersiÂfat terbuka.
Dalam beberapa tahun terakhir proyek seni luar ruÂang alternatif yang diinisiasi oleh beberapa seniman lokal di kota mereka masing-masing sudah lama muncul. Kehadiran karya semacam itu di Bogor, mungkin untuk dilihat (dan melihat diri) sebagai suatu strategi kebudayaandalam menciptakan ruang-ruang publik alternatif. Begitu yang terjadi pada Bogor Art MoveÂment 2015 ini. Ini karena, beÂrada di luar ruang, juga selalu diidentifikasi dengan proyek demokratisasi seni; yaitu bahÂwa seni seharusnya menjadi milik semua orang dan bukan sekedar kekuasaan beberapa golongan penentu nilai dan selera. Pun ketika karya-karya itu digelar di sebuah mall.
Sebenarnya, di tingkat praktik, seniman harus meÂmasuki skema sosial yang ruÂmit, sehingga niatan untuk mengadvokasi pandangan atas lingkungan kota (dan seni) itu sendiri butuh suatu advokasi politik dan budaya yang lebih luas. Praktik kesenian kolektif tidak selalu serta merta meÂnumbuhkan kesadaran politik lingkungan. Strategi wacana, adalah suatu kerja merancang diskursus, bukan sekedar meÂlempar wacana dan membiarÂkannya mati.
Bogor Art Movement ini menempuh resiko untuk mengambilsuatu awalan baru, yang setidaknya terasa segar. Awalan yang dimaksud adalah memulai kembali melakukan fasilitasi atas beberapa niatan, kecenderungan, dan keinginan segelintir seniman dalam memÂpresentasikan karya-karyanyadi ruang publik. Sebagai proyek memfasilitasi seniman, ia memposisikan dirinya untuk mempresentasikan estetika (atau non-estetika) dan gagasan (atau non-gagasan) seniman di tempat-tempat umum. SeniÂman-seniman tertentu yang dipilih karena selama beberapa tahun ini, dalam kondisi dan pasar wacana macam apapun, terus berkonsentrasi untuk melakukan seni-rupa di tempat non-konvensional. Sebagai baÂhan perbandingan, proyek ini juga mengundang keterlibatan seniman yang datang dari konÂteks perkotaan yang berbeda, tetapi mereka lahir dan besar bagi Kota Bogor. Harapan dari fasilitasi ini adalah pembiakan secara sosial: mengundang, memancing, mendorong piÂhak-pihak yang merasa berkeÂpentingan untuk merespon aktivitas ini dan menempatÂkannya dalam skema jejaring lingkungan yang bisa diraihnya dan atau menginisiasi peran seni dalam menata estetika Kota Bogor. (*)