Oleh: SULAIMAN, S.SI.
Editor Fisika di Penerbit Quadra Inti Solusi
Sang Proklamator, Ir. Soekarno pernah berpeÂsan, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!†Ya, sejarah telah mencatat perjuangan panjang bangsa ini unÂtuk menjadi negeri yang merdeka dan berdaulat.

Kemerdekaan direbut dari cengkeraman negara-negara koloÂnialis (seperti Portugis, Belanda, dan Jepang) sejak tahun 1523 keÂtika pertama kali Portugis menyerang Kerajaan Islam Aceh.
Ingatlah ketika Belanda dibuat hampir bangkrut dalam Perang Jawa pada tahun 1825-1830 oleh perlawanan rakyat di bawah kepeÂmimpinan Pangeran Diponegoro yang konon menghabiskan biaya hingga 20 juta Gulden.
Jangan lupakan pula betapa beratnya perjuangan memperÂtahankan kemerdekaan setelah 17 Agustus 1945. Ingatlah ketika BeÂlanda dengan segenap kekuatan militer dan diplomatiknya ingin berkuasa kembali di bumi NusanÂtara setelah sebelumnya menyÂerah tanpa syarat kepada Jepang pada tahun 1942.
Perang Surabaya yang berkobar pada 10 November 1945 terjadi keÂtika tentara NICA (Belanda) memÂbonceng tentara Sekutu (Inggris dan Australia) yang ingin kembali menguasai Nusantara setelah JeÂpang hancur dibom atom Amerika.
Sejarah pun mencatat munculÂnya tokoh nasional seperti Bung Tomo yang mengobarkan semanÂgat juang rakyat Surabaya untuk bertempur habis-habisan melaÂwan tentara Sekutu dengan pidaÂtonya yang terkenal.
“Selama banteng-banteng InÂdonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan mau meÂnyerah kepada siapa pun juga!â€
Setelah masa perang keÂmerdekaan dan perang memperÂtahankan kemerdekaan usai, tanÂtangan bangsa ini rupanya tidak menjadi lebih ringan.
Sungguh benar yang dikatakan oleh Sang Proklamator, Dr. MoÂhammad Hatta, “Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. PerjuanÂgan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri.â€
Semangat membangun dalam mengisi kemerdekaan dikobarkan sendiri oleh Sang Proklamator, Ir. Soekarno, seperti salah satu pesan yang disampaikannya, “Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, SaudaÂra-saudara! Berjiwa besarlah, berimajinasilah! Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia!â€
Bahkan, ia menjadikan dirinya sebagai motor penggerak kemaÂjuan bangsa hingga Indonesia dipandang dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain sebagai negara berdaulat yang sedang membanÂgun menuju kemakmuran.
Sebagaimana kata beliau, â€BeriÂkan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya! Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!â€
Hasil pembangunan sebÂagai upaya mengisi nikmat keÂmerdekaan selama 70 tahun kini telah terlihat. Sistem pemerinÂtahan yang kuat, demokrasi bagi seluruh rakyat, stabilitas politik dan keamanan, kemandirian ekoÂnomi, kemajuan ilmu dan teknoloÂgi, politik luar negeri yang bebas dan aktif, pendidikan bagi seluruh rakyat, militer yang kuat, serta berbagai kemajuan di berbagai bidang lainnya kini telah terasa manfaatnya.
Indonesia kini telah menjadi negara besar yang memainkan peran strategisnya baik di tingkat regional maupun internasional.
Namun, dari sederet keberÂhasilan tersebut, masih banyak terdapat berbagai kekurangan. Tingginya angka pengangguran, banyaknya korupsi yang dilakuÂkan pejabat negara, rendahnya penegakan keadilan dan hukum bagi rakyat kecil, kesenjangan soÂsial dan ekonomi, bencana kabut asap tahunan, serta minimnya infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, bendungan, dan sarana transportasi umum yang layak guna, terutama di daerah-daerah pedalaman di luar pulau Jawa.
Mentalitas korupsi dan budaya feodal hasil peninggalan kaum kolonialis masih mengakar di maÂsyarakat yang menjadi penghamÂbat bangsa ini untuk maju.
Benarlah apa yang dikatakan Presiden RI keenam, Susilo BamÂbang Yudhoyono, “Penyakit bangÂsa kita yang paling parah adalah mentalitas KALAU BISA DIPERSUÂLIT KENAPA DIPERMUDAH.â€
PR (pekerjaan rumah) yang banyak ini membutuhkan kerja dan ide brilian dari pemimpin negara dan daerah yang visioner, aparat negara yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), rakyat yang mau bekerja giat, serÂta dukungan pemerintah kepada rakyat untuk menjadikan IndoneÂsia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat di segala bidang.
Penulis menyoroti pada masih rendahnya dukungan pemerintah kepada inovasi yang dihasilkan kaum cerdik pandai negeri ini.
Sebagai negara berkembang yang ingin mandiri dan berdaulat, pemerintah wajib mendukung dan menciptakan suasana yang mendoÂrong pertumbuhan ekonomi dan kreativitas warga negara agar mereÂka dapat berkontribusi dalam pemÂbangunan. Namun, sepertinya hal ini masih dalam angan-angan kita semua, setidaknya hingga saat ini.
Masih ingatkah kita dengan betapa kecewanya Presiden RI keÂtiga, B.J. Habibie ketika program pengembangan penerbangan naÂsional di IPTN yang telah dirintis selama bertahun-tahun sejak masa pemerintahan Presiden RI kedua Soeharto ditutup oleh pemerinÂtahan Presiden RI keempat AbdurÂrahman Wahid (Gus Dur)?
Apa yang terjadi selanjutnya? Para teknokrat penerbangan di IPTN yang sebelumnya telah didiÂdik dengan beasiswa negara terceÂrai berai hingga akhirnya mereka berdiaspora bekerja di institusi-inÂstitusi penerbangan di luar negeri.
Kejadian yang belum lama terÂjadi tentang upaya Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk menciptakan kemandirian bangsa di masa pemerintahan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono pun seakan menegaskan anggapan ini.
Kasus yang paling mencuat adalah terbengkalainya program mobil listrik nasional yang telah dirintis oleh Dahlan Iskan di mana kini program tersebut sedang diÂusut oleh Kejaksaan Agung karena ada indikasi korupsi. Padahal unÂtuk menjalankan program terseÂbut Dahlan Iskan telah menggaet dua teknokrat kenamaan IndoneÂsia, yaitu Ricky Elson (anak muda berprestasi yang telah menjabat sebagai kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Teknologi Permanen Magnet Motor dan GenÂerator di NIDEC Corporation, KyoÂto, Jepang) dan Dr. Agus SuherÂman (doktor muda perikanan di Kementerian BUMN yang pernah menjadi Direktur Utama di Perum Perikanan Indonesia).
Bahkan, kini Dr. Agus SuherÂman justru didakwa menjadi salah satu tersangka pelaku korupsi moÂbil listrik nasional.
Kedua contoh ini menjelaskan dengan gamblang bahwa negara belum memihak pada golongan cerdik pandai. Maka jangan heran jika negeri ini mengalami krisis Brain Drain yang akut.
Padahal cita-cita untuk menjadi bangsa mandiri memerlukan sangat banyak kaum cerdik pandai bumiÂputera untuk berkarya dan memaÂjukan negeri agar tidak lagi terganÂtung pada impor, baik teknologi, produk, dan tenaga ahlinya.
Ingatlah pesan yang pernah disampaikan oleh Presiden RI ketiga B.J. Habibie, “Kalau Anda mengimpor gelas (sambil menÂgangkat gelas), mengimpor meja (sambil menggebrak meja), dan mengimpor mic (sambil menunÂjuk mikrofon) maka Anda memÂbayar jam kerja orang sana. BayarÂlah jam kerja rakyat agar semua bisa mandiri!â€
Untuk menjadi bangsa yang maju, ingatlah pesan yang pernah disampaikan Presiden RI kedua, Soeharto, “Kalau kamu ingin menÂjadi pribadi yang maju, kamu harus pandai mengenal apa yang terjadi, pandai melihat, pandai mendengar, dan pandai menganalisis.â€
Dan akhirnya, nasihat Presiden RI keenam, Susilo Bambang YudÂhoyono pun sungguh benar. “Setiap masalah ada jalan keluarnya, setiap konflik ada solusinya, dan setiap krisis mengandung peluang.â€
Semoga negeri ini bergerak maju ke arah yang lebih baik dan para pemimpinnya tidak melupakÂan sejarah perjuangan bangsa. Ayo berjuang bersama memberantas kebodohan dan bekerja giat mencÂari solusi yang baik bagi negeri ini.
Alamat penulis:
Jl. Rasamala No. 32 Taman Yasmin
Sektor IV, Bogor, 16113
Telepon seluler:08176572010
pendapat yang bagus