POSTUR Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 telah disusun dan disepakati antara Pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jumat (30/10/2015) dini hari. Target penerimaan cukai tembakau disepakati naik menjadi Rp 139,8 triliun, naik 15 persen dibandingkan target dalam APBN 2015 sebesar Rp 120,6 triliun.
YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]
Data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengungÂkapkan bahwa kenaikan tarif cukai akan mencaÂpai 15 persen berlaku di 2016. Nominal kenaikan akan berbeda di tiap layer, tergantung jenis rokok dan kapasitas produksi. Artinya, harga rokok dipastikan naik di kisaran angka 10 hingga 15 persen dari harga sebelumnya.
Kenaikan yang jauh di atas tarÂget inflasi dan pertumbuhan ekonoÂmi 2016 masing-masing sebesar 4,7 persen dan 5,3 persen sangat mengecewakan para pelaku indusÂtri yang sebelumnya mengharapkan target penerimaan cukai hasil temÂbakau berkisar di angka 7 persen.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan kenaiÂkan target penerimaan akan berbunÂtut pada kenaikan tarif cukai, seperti tahun-tahun sebelumnya.=
Moefti berharap, kenaikan harusnya disesuaikan dengan kondiÂsi ekonomi yang ada. “Paling pas memang di 7 persen,†ujarnya, JuÂmat (30/10/2015).
Menurut Sudarto, Ketua SPSI-RTMM kenaikan tarif cukai setinggi 15 persen adalah ancaman serius bagi pelaku indutri tembakau, khuÂsusnya segmen padat karya seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang tengah menurun. “Pada kenaikan 7-9 persen setiap tahunnya sudah ada PHK, apalagi kalau lebih dari itu,†katanya.
Di SPSI-RTMM sendiri terdaftar lebih dari 200 ribu karyawan yang terlibat dalam industri SKT. “PenuÂrunan segmen SKT sudah mengakiÂbatkan lebih dari 32 ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di 2014. Ini masih berlanjut di 2015,†lanjutnya.
Menurut Sudarto, buruh yang bekerja di SKT lebih besar dari yang diduga. Data yang dimiliki SPSI-RTÂMM hanya 33 persen dari jumlah seÂbenarnya. “Data dari Kementerian Perindustrian dan itu mencapai 600 ribu pekerja di bidang rokok, tentu PHK yang mengintai akan lebih beÂsar lagi,†jelasnya.
Sudarto meminta pemerintah memikirkan konsekuensi kebijakan tersebut karena industri rokok seÂlama ini sudah menyerap banyak sekali tenaga kerja.
Hal senada juga dikemukakan oleh Djoko Wahyudi, Ketua PaguyÂuban Mitra Produksi Sigaret (MPS). Ia menjelaskan bahwa satu pabrik SKT bisa menyerap banyak pekerja sehingga pabrik SKT sangat padat karya. Seluruh pekerja juga mendaÂpatkan upah di atas upah minimun dan setiap pegawai mendapatkan tanggungan kesehatan untuk sekiÂtar lima anggota keluarganya. “KaÂlau mereka di-PHK siapa yang akan menanggung (kehidupan) mereka, dari tahun 2014-2015 saja ada sekiÂtar 30 sampai 40 ribu anggota kami yang di PHK, nah itu dikalikan saja dengan lima anggota keluarga. SekaÂrang siapa yang ingin menanggung kesejahteraan orang sebanyak itu,†papar Djoko.
Menurutnya tarif cukai SKT meÂmang harus terpaut jauh dengan cukai SKM, hal ini untuk membuat produksi rokok SKT dapat lebih bersaing dengan produk SKM yang tidak memerlukan banyak pekerja, sehingga modal produksinya juga tidak sebesar SKT. “Kenaikan pita cukai tidak akan berpengaruh langÂsung pada harga rokok SKM tapi bagi SKT akan berimbas langsung, maka harga SKM juga dapat lebih rendah. Ini akan mengurangi daya saing SKT,†ujarnya.
Djoko menjelaskan dengan berkurangnya daya saing SKT maka akan ada PHK kembali dan hal ini bukan hanya berpengaruh pada perekonomian para pekerja, namun juga sangat berpengaruh bagi pereÂkonomian masyarakat dilingkungan tersebut.
“Contohnya seperti ini, saya berÂdomisili di Lamongan setiap bulan dari para pekerja di industri temÂbakau yang bekerja di luar LamonÂgan namun membawa penghasilanÂnya ke wilayah Lamongan saya bisa membawa sekitar satu miliar perbuÂlan, pendapatan ini sangat berpenÂgaruh pada perekonomian masaÂyarak di sini,†tegasnya.
Menurut data Direktorat JenÂderal Bea dan Cukai, SKT mengisi 21 persen dari total pasar industri tembakau di tahun 2014. Dari total 995 pabrikan, 569 atau 57 persen merupakan produsen SKT. Jumlah pabrikan ini sudah mengalami peÂnurunan dari 4.669 di 2007 menjadi 995 pabrik pada 2014. (/net)