SEPASANG kepala daerah memang dibutuhkan lazimnya badut dan bandit. Disebut badut karena salah satu harus rela menghibur warga. Sementara pasangannya harus mampu berperan sebagai bandit yang selalu siap menyandang dana ketika Sang Badut butuh makan dan minum di sela jeda.
Oleh: YUSKA APITYA AJI ISWANTO S.SOS,
Analis Sosial Kota Bogor
Di forum ini, saya mencoba mengupas sedikit soal kekoÂsongan kursi Wakil Bupati di KabupatÂen Bogor. Jauh sebelum Bogor dibuat gaduh kekosongan kursi bupati hingga kini telah terisi. Teramati betapa banyak politisi yang berambisi dan berekspektaÂsi mengisi kosong kursi.
Bupati–– Dalam anonim ketaÂtabahasaan bisa disastrakan, Bukan Pajangan dan Titipan (Bupati). Bupati juga tergambar sebagai pemimpin yang arif atas nilai-nilai kehidupan sebagaimaÂna diajarkan dalam lakon-lakon pewayangan.
Ajaran wayang adalah sistem etika sehingga sangat layak diÂpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar waÂcana di awang-awang. Wayang mengajarkan beragam karakter hebat. Misalnya ada karakter Rencakaprawa yang oleh dalang selalu digambarkan sebagai, â€Sang pemimpin bijak akan diÂhormati semua rakyatâ€.
Bupati dalam pewayangan digambarkan bijak karena senang memberi sandang kepada rakyat miskin, memberi pangan kepada rakyat yang kelaparan, memberi air kepada rakyat yang kehausan, memberi tongkat kepada orang yang sedang berjalan di tempat licin, memberi tutup kepala keÂpada rakyat yang kepanasan, dan memiliki cinta kasih terhadap musuh yang sudah menyerah. Tentunya, ini adalah pekerjaan yang maha berat. Butuh keihkÂlasan dan bukan cuma sekedar mengharap imbalan, termasuk gaji atau bargaining laba atas kuaÂsanya.
Dalam arti modern, jabatan bupati lahir dari masa Kerajaan Mataram, yakni pada masa SulÂtan Agung bertahta. Ia menitip pengurusan daerah yang ditakÂlukkannya kepada orang yang dipercayainya. Saat itu nama peÂjabat tersebut adalah «Adipati». Di masa Hindia Belanda, para Adipati disebut regent. Biasanya mereka dipilih dari kalangan priÂyayi.
Namun, hari ini, Bupati tak lagi dipilih priyayi. Bupati kini dipilih langsung oleh akar kekuaÂsaan, yakni rakyat. Artinya, buati adalah simbol dan representasi rakyat. Apa yang tergambar dan menjadi kondisi rakyat, itulah wajah bupati.
Melencengnya pemahaman terhadap keberadaan dan fungsi bupati yang tergambar saat ini adalah kohesi dari ambisi kekuaÂsaan dan politik transaksional. Politik dalam demokrasi pada akhirnya harus mengakui bahwa aksi komunikatif yang terbaik bukanlah dengan bahasa transÂaksional, tapi laku bahasa yang terbentuk karena krisis, konÂflik, kekurangan dan kesusuhan dalam kehidupan.(*)