Oleh: BUSMAN EDYAR
Kandidat Doktor Pascasarjana UIN Jakarta, Alumnus Pesantren Thawalib Pd Panjang
Pemilihan tanggal 22 OkÂtober yang dikaitkan dengan seruan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 dikhawatirkan mereduksi makna jihad, mengingat jihad melawan penjajah tidak hanya setelah proklamasi kemerdekaan, tapi juga jauh sebelum Indonesia merdeka. Ketiga, peringatan HSN ini dikhaÂwatirkan dimanfaatkan untuk keÂpentingan politik tertentu.
Secara epistemologis, kekhaÂwatiran kelompok yang tidak setuÂju kurang beralasan. Sebab, perÂtama, akan munculnya polarisasi santri dan abangan terlalu berlebiÂhan. Konsep Clifford Geertz denÂgan trikotomi klasifikasi Islam di Jawa (abangan, santri, dan priyayi) ini dipertanyakan keabsahannya. Selain tidak mampu mengelaborasi makna santri dan abangan, antroÂpolog asal Amerika Serikat ini juga tidak konsisten menetapkan variaÂbel santri, abangan, dan priyayi.
Bagaimana mungkin perilaku keberagamaan seseorang (yang direpresentasikan oleh santri dan abangan) disandingkan dengan kelas sosial (dalam hal ini priyayi). Dalam realitasnya ada priyayi yang religius (santri) dan priyayi yang tidak menghirauÂkan agama (abangan).
Bahkan, harus diakui kalau perilaku religius atau tidak peduli agama jamak terjadi dan sampai kapan pun akan tetap ada. Di siniÂlah peran kaum santri memberiÂkan pencerahan. Peringatan HSN ini akan membuka ruang lebih besar bagi santri untuk mewarnai keberagamaan masyarakat IndoÂnesia yang lebih religius.
Kedua, kekhawatiran penetaÂpan HSN dapat mereduksi makna jihad yang sudah lama dilakukan para pejuang kemerdekaan juga kurang tepat. Memang benar jihad sudah dilakukan jauh sebelum resÂolusi dikeluarkan, tapi ini jadi moÂmentum perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan.
Secara kontekstual, mengÂgaungkan kembali gema jihad saat ini sangat relevan dilakukan. Jihad bisa ditransformasikan untuk moÂmentum perjuangan melawan koÂrupsi, melawan ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi yang semakin parah. Jihad tidak hanya punya makna berjuang mengangÂkat senjata, tapi juga lebih dari itu, mengeluarkan bangsa dari belengÂgu krisis multidimensi.
Kekhawatiran ketiga kalau HSN berpotensi untuk kepentingan poliÂtik pihak tertentu, jelas tidak bisa dihindari. Terutama bagi pemerÂintah, apa pun sikapnya tidak bisa dilepaskan dari kemungkinan asÂpek politiknya. Bisa jadi penetapan HSN dianggap sebagai upaya PresÂiden Jokowi merangkul umat Islam (terutama kalangan santri).
Bukan rahasia lagi kalau pemerintahan Jokowi dengan partai pendukungnya saat ini merupakan kekuatan politik yang kurang dekat dengan umat Islam.
Berbagai isu miring di awal pemerintahan Jokowi dianggap tak sesuai aspirasi umat Islam: mulai dari wacana KTP tanpa koÂlom agama hingga pengembanÂgan konsep Islam nusantara yang dikhawatirkan sebagai akomodasi Islam liberal. Untuk yang ketiga ini, kita berharap umat Islam tak sampai terkebiri daya kritisnya terhadap pemerintah.
Di balik kekhawatiran itu, perÂingatan HSN justru bisa jadi menÂguntungkan kelompok santri dan dunia pesantren. Sebab, hal ini punya makna bentuk legitimasi atas eksistensi santri di Indonesia, di mana pemerintah bisa lebih banyak memberikan perhatian dan kepedulian terhadap dunia pesantren dan santri yang selama ini pada posisi marginal.
Kelayakan santri dan pesantren mendapat apresiasi monuÂmental dari pemerintah juga buÂkan tanpa alasan. Sebab, pertama, mengingat peran santri dengan dunia pesantren yang tak sedikit mencerahkan bangsa. Dengan jumlah tak kurang dari 27.230 buah pesantren di Tanah Air (data Kementerian Agama 2012), lemÂbaga ini sudah mendidik jutaan santri yang tersebar.
Alumnus pesantren ini banyak menduduki posisi penting dalam mengisi dan memperjuangkan kehidupan bangsa dan negara. Pada era sebelum kemerdekaan, misalnya, kita mengenal tokoh-tokoh besar yang jalin berkelindan dengan dunia santri, seperti HOS Cokroaminoto (pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Presiden Sukarno) yang notaÂbene alumnus pesantren, KH Mas Mansur, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus HadikuÂsumo, KH Kahar Muzakkir, Abdul Hamid Hakim.
Pasca-Indonesia merdeka, alumni pesantren juga sukses melakukan transformasi ajaran Islam dalam tatanan hukum, poliÂtik, dan ekonomi. Sebagai contoh, Moh Rasyidi, alumnus Pondok Jamsaren yang kemudian menjadi Menteri Agama pertama; MohamÂmad Natsir, alumnus Pesantren Persis menjadi perdana menteri; KH Wahid Hasyim, alumnus PonÂdok Tebuireng; KH Kahar MuzakÂkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH MusÂlih Purwokerto dan KH Imam ZarÂkasyi, alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang NasionÂal; KH Idham Khalid menjadi wakil perdana menteri dan ketua MPRS.
Ketika era reformasi bergulir, beberapa tokoh yang tidak bisa lepas dari dunia pesantren, sepÂerti Gus Dur, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, dan lainnya tampil sebagai pemimpin bangsa berikut keterlibatan mereka dalam partai politik Islam yang sukses memÂperjuangkan aspirasi umat Islam dalam bentuk produk legislasi di parlemen (DPR).
Kedua, HSN bisa memperkuat peran santri dalam upaya menceÂgah negara dari jatuh ke arus sekulerisasi. Merujuk kata SP Huntington (1968), pembangunan politik (kehidupan berbangsa dan bernegara) hampir selalu diikuti dengan rasionalisasi kekuasaan. Kekuasaan yang semula bercorak religius diambil alih oleh kekuaÂsaan yang berwatak sekuler.
Peralihan ini, menurut GaÂbriel Almond dan Biingham Powel (1978), sebagai proses diferensiasi struktural dan sekulerisasi budaya yang berlaku untuk sistem manaÂpun juga. Sekulerisasi ini memÂbuat pengelolaan negara cenderÂung mengabaikan etika politik.
Masuknya kelompok santri seÂbagai kekuatan moral dengan misi amar makruf nahi mungkar diÂharapkan memberi warna tersendÂiri ke arah yang religius. Pada saat itu mereka tak hanya sebagai perÂwakilan bagi umat Islam lainnya, tapi juga sekaligus simbol kekuatan moral bagi politisi yang lain.
Ketiga, peringatan HSN bisa dijadikan pintu masuk bagi santri dalam melawan gerakan radikaÂlisme yang mengatasnamakan agama. Saat ini pemerintah beÂlum menemukan cara tepat dalam mengatasi paham radikalisme yang terus bermunculan.
Pendekatan struktural yang cenderung represif selama ini tiÂdaklah cukup untuk membendÂung gerakan radikalisme ini. Perlu melibatkan masyarakat terutama kalangan santri untuk melakukan pencerahan terhadap pelaku gerÂakan radikal karena sudah masuk aspek ideologi.
Yang mampu mengubah keyaÂkinan tentu orang yang punya pemahaman agama yang juga kuat. Dalam tradisi Islam, ada istilah muÂjadalah (adu konsep) tentang suatu pemahaman. Dalam pesantren, santri diajarkan tentang pemahaÂman keagamaan yang utuh. (*)
sumber: republika online