Warga Banyumas, Jawa Tengah, Fudji Wong menÂgantungi hak ekslusif merek ‘mendoan’ untuk tempe mendoan. Hak ini dikeluÂarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Artinya, tak semua orang bisa memakai merek ‘mendoan’ dalam berdagang. Putusan ini melahirkan kontroversi.
(Yuska Apitya Aji)
BAGi orang asli Banyumas atau yang pernah pergi ke sana, pasti tahu cita rasa mendoan. Meski sama sepÂerti tempe pada umumnya, tetapi cara mengolah dan meÂmasaknya memiliki perbedaan yang khas dibanding dengan tempe tempat lain.
Kekhasan yang tercipta sejak dari nenek moyang masyarakat Banyumas ini yang mengÂgerakkan Fudji Wong mendaftarkan merek tersebut. Ia mendaftarkan merek ‘mendoan’ pada 15 Mei 2008 dan mendapatkan sertifikat dua tahun setelahnya. “Kita buat merek hanya kasih fotokopi KTP, terus didaftarkan ke sana (Kemenkum HAM). Isi surat pendaftaran, tanÂda tangan, sudah selesai,†kata Wong kepada wartawan yang menemui di rumahnya, Jalan Jenderal Suprapto, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu lalu.
Usahanya berhasil. Wong memegang serÂtifikat IDM000237714 yang terdaftar pada 23 Februari 2010 dan berlaku hingga 15 Mei 2018. Wong sendiri mengaku awam hukum. Sebagai pengusaha air minum ia tidak tahu kualifikasi merek apakah itu kata ‘generik’ atau merek hasil kreativitas yang boleh didaftarkan.
Pria kelahiran 1968 itu mengaku tidak ada yang aneh dengan mendaftarkan ‘mendoan’ ke Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkum HAM. “Saya tidak tahulah. Kalau orang Papua bilang, ini tempe setengah matang, ini tidak matang, saya mau dikeringin lagi. Saya samÂpai jelaskan ini ‘mendoan’. ‘Mendo’ (artinya) ya setengah matang, tapi mereka minta diÂmatangkan lagi, bahkan sampai kering sepÂerti keripik,†cerita Wong. “Apakah selama ini tidak ada komunikasi dengan Pemda BanyuÂmas dalam mendaftarkan merek ini?†tanya wartawan. “Ya tidak ada,†jawab Wong.
Menanggapi polemik ini, Pemerintah KaÂbupaten Banyumas akan melayangkan surat protes ke Kemenkum HAM. “Saya atas nama Pemkab Banyumas akan protes ke Kemenkum HAM. (Saya) Secara persuasif akan menemui orang yang mematenkan (merek mendoan-red) supaya ikhlas sadar untuk menggantinÂya,†kata Bupati Banyumas, Achmad Husein.
Protes juga dilakukan warga Banyumas, Jawa Tengah. Muncul merek ‘mendoan’ untuk tempe mendoan yang dikeluarkan Kemenkum HAM terhadap perorangan ini membuat seluruh warga Banyumas geram. Mereka menggelar Festival Mendoan 2015 di pusat kuliner dan souvenir Pratista Harsa, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (8/11/2015). “Alhamdulillah, tadi digoreng 10 ribu tempe mendoan,†kata Husein.
Banyaknya tempe yang digoreng dalam waktu serempak dan dimakan ramai-ramai ini menorehkan sejarah baru sebagai gerakan maÂkan mendoan terbesar. Baik di Indonesia atau di dunia. Festival ini digelar sejak pukul 07.00 WIB dan seluruh warga tumpah ruah. Festival Mendoan ini belum pernah digelar dalam event besar Banyumas, baik saat HUT RI atau Hari Jadi Banyumas. “Ini belum pernah sebelumnya. Bisa jadi ini yang terbesar,†kata Husein.
Sepuluh ribu mendoan ini digoreng oleh puluhan ibu-ibu yang datang secara sukarela. Mereka membawa wajan dan mendoan serta bumbunya dari rumah masing-masing.
Banyumas merupakan salah satu wilayah tertua di Jawa. Jejaknya mulai ada sejak KeraÂjaan Galuh Purba pada abad ke-5 M. Hari jadi Banyumas ditandai dengan diangkatnya Raden Joko Kaiman menjadi Adipati Wirasaba VII pada 6 April 1582 M.
Di era penjajahan Belanda, Banyumas menÂjadi kunci pemerintahan di Jawa Tengah bagian barat dengan membuat Karesidenan BanyuÂmas. Pusat pemerintahan dibangun, seperti pengadilan, industri gula hingga pusat kesehaÂtan. Seiring waktu, Banyumas dibagi menjadi empat wilayah yaitu: Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara. Sehingga, meski seÂcara wilayah administrasi Banyumas hanya ada di Kabupaten Banyumas, tetapi budaya BanyuÂmasan tersebar di empat kabupaten tersebut.
Selain mendoan, banyak makanan khas dari daerah yang tumbuh di sepanjang aliran Sungai Serayu itu. Tidak hanya itu, berbagai seni budaya Banyumas juga banyak ditemui, di mana seni budaya itu tidak ada di daerah lainnya.