Anda pernah merasa gugup saat diminta presentasi karena tak terbiasa berbicara di depan umum? Atau khawatir lantaran orang terkasih tak kunjung memberikan kabar?
Oleh : ADILLA PRASETYO W
[email protected]
Perasaan seperti itu merupakan hal lumrah. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Danardi SasroÂsumiharjo, setiap orang bisa menÂgalami kecemasan atau anxiety. â€Terlebih dengan tekanan hidup di zaman sekarang,†ujarnya.
Cemas, Danardi melanjutkan, berbeda dengan takut. Bedanya ada pada sumber. â€Takut memiÂliki sumber yang jelas di depan mata, seperti berpapasan dengan harimau yang siap menerkam di hutan,†katanya. â€Tapi kalau cemas itu ketakutan dengan sesÂuatu yang tak jelas, seperti pasanÂgan yang tidak kunjung pulang.â€
Gejala cemas beragam, meÂliputi kecemasan terhadap masa depan, ketegangan motorik- -contohnya berjalan mondar-mandir dan bicara berulang serta over-aktivitas otonomik, seperti berkeringat dan pusing.
Penyebab kecemasan sendÂiri cenderung tak jelas. Secara garis besar, ada tiga penyebab, yaitu biologis, psiko-edukasi, dan sosio-kultural. Secara biologis, hormon dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan. Contohnya saat perempuan datang bulan, dia bisa lebih gampang marah dan sensitif. Penyakit otak dan gangÂguan neurotransmitter juga maÂsuk kategori ini.
Sedangkan psiko-edukasi, misalnya kejadian yang pernah dialami sebelumnya, menyebabÂkan trauma, tekanan lingkungan, dan pola asuh orang tua. Anak yang dibesarkan oleh orang tua yang gampang cemas ada keÂmungkinan juga akan mengalami masalah serupa. Adapun sosial-kultural menyangkut norma yang dianut masyarakat, budaya, atau agama. Misalnya “pantangan†bagi perempuan didahului meniÂkah oleh adik laki-lakinya dalam budaya Jawa.
Menurut dokter spesialis keÂsehatan jiwa, Andri, kecemasan sebenarnya manusiawi. Dalam banyak kasus, cemas justru memotivasi untuk mempersiapÂkan diri. Ketika akan maju presenÂtasi di depan umum, contohnya, orang akan mempersiapkan diri agar tak malu saat di panggung.
Namun, dalam banyak kaÂsus, kecemasan ini bisa menjadi tak tertangani. Bahkan saat maÂsalahnya selesai. Ujungnya, bisa depresi. Efek lain meliputi jantung berdebar keras, sulit bernapas, dan asam lambung meningkat. Padahal tak ada masalah dengan fisiknya. “Banyak orang datang ke dokter dengan keluhan fisik, tapi setelah diperiksa, semuanya norÂmal,†kata Andri lagi.
Andri mengatakan setiap orang punya cara sendiri menÂgatasi ketidaknyamanan ini. KeÂmampuan mengatasi kecemasan bisa dilatih dengan menerima kondisi secara lapang dada. Hal ini bisa dilakukan dengan menÂgenali diri terlebih dulu. “Kenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri,†kata psikiater sepÂerti ditulis Koran Tempo, Senin (16/11/2015).
Pola hidup sehat dan rutin berolahraga juga bisa menguranÂgi tingkat kecemasan. Hormon endorfin yang meningkat dengan olah tubuh bisa membuat pikiran rileks. Kecemasan juga bisa diÂkurangi dengan bercerita kepada teman. Untuk sebagian orang, dengan didengarkan, separuh beban serasa hilang.
Namun jika terus mengeluh berkepanjangan, kata Andri, itu tanda bahwa jiwa tak kuat menanggung beban yang ada. Jika demikian, atau muncul keÂluhan fisik berkepanjangan, penderita perlu bantuan orang lain. Caranya, bisa berkonsultasi dengan psikolog ataupun psikiaÂter. Mereka akan mencoba menÂgatasi rasa cemas pasien dengan mengobrol. Tapi jika konsultasi tak mampu membuat kondisi stabil atau pasien meminta, psikiater bisa memberikan obat. “Ini jika kondisi sudah parah,†ujar Andri. (*)