Oleh: RONNY P SASMITA
Analis ekonomi politik Internasional Financeroll Indonesia, alumnus Unpad dan Pascasarjana UI
Maka, caci-maki, saling menyudutÂkan, dan saling sindir akan menÂjadi ujung yang paling sering mencuat. SelanjutÂnya, tentu saling bongkar dan umbar aib, yang untuk waktu-waktu mendatang dipastikan akan merenggangkan kohesi sosÂial dan menumbuhkan bibit-bibit permusuhan yang tak perlu.
Hilangnya relasi sosial yang layaknya berlangsung pada hari-hari normal menjadi awal munÂculnya letupan-letupan emoÂsional yang kemudian berbuah peluru-peluru verbal konflitual, mempersempit sudut pandang, dan memberangus rasionalitas komunikasi antarsesama maÂsyarakat atau antarsesama keÂlompok masyarakat.
Secara teknis, belum tentu ada benefit yang akan diperoleh masing-masing anggota masyaraÂkat yang saling bersitengang. Tapi, setidaknya secara psikologis tampaknya ada semacam kepuaÂsan batin jika berhasil menyudutÂkan pihak lain dan mengedeÂpankan kelompok sendiri.
Ada rasa superioritas tersendÂiri yang muncul jika berhasil mengumbar aib setiap anggota kelompok yang bukan satu visi politik, rasa yang acapkali meÂnyeruak dengan naif tapi terlihat optimis.
Secara teoritik, konflik adalah objek kajian ilmu-ilmu sosial (poliÂtik, ekonomi, sosiologi, antroÂpologi, psikologi, komunikasi, managemen, dan lain-lain) yang umurnya sudah sangat tua, lebih tua dari teori konflik itu sendiri, yang dimapankan Karl Marx dan penerus-penerusnya untuk memÂbantah tesis struktural fungsional versi penganut teori modernisasi.
Secara kategoris, konflik meÂmiliki posisi yang mirip dengan energi dalam ilmu fisika, yang tidak bisa dihilangkan tapi bisa dialihbentuk atau diubah.
Begitu pula dengan konflik. Sungguh sangat niscaya untuk memberangus konflik. Sebagai bagian dari kehidupan, konflik menjadi sangat mustahil dihilanÂgkan, tapi bisa dikelola, diinstiÂtusionalisasi, dan dijadikan baÂhan racikan untuk meningkatkan penghormatan terhadap kemaÂnusiaan dan bahan mentah untuk pendalaman demokrasi.
Karena, konflik adalah gamÂbaran keberagaman, baik latar belakang kepribadian, pendidiÂkan, pengalaman, keyakinan, maupun kepentingan.
Semua perbedaan ini berÂpotensi saling berbenturan satu sama lain, sehingga harus ada mekanisme dan aturan main yang bisa diterima semua pihak untuk mengelolanya.
Dan, demokrasi adalah salah satu di antara aturan main dan mekanisme untuk menjinakkan konflik yang dianggap paling popÂuler dan layak saat ini, setelah gelÂombang ketiga demokrasi versi Huntington merebak dan sistem pengelolaan konflik versi rezim otoritarian dan totaliter pelan-pelan mulai ditinggalkan.
Penyebutannya mudah tapi melaksanakanya sungguh sangat berat. Ya, itulah demokrasi yang acapkali malah menjadi bencana ketimbang berkah. Demokrasi acap kali menjadi ajang pesakiÂtan bagi kaum yang lemah yang kepentingannya tergilas oleh keÂpentingan yang kuat, tenggelam dalam kontesatsi-kontestasi yang tidak imbang.
Karena, selain membutuhÂkan prasyarat legal sistemik di satu sisi, mulai dari keberadaan prosedur dan tata laksana yang konstitusional, sampai pada keberadaan institusi-institusi ekonomi politik yang ingklusif-partisipatif, demokrasi juga membutuhkan prasyarat kultural dan psikologis.
Dan, lebih dari itu, terkadang demokrasi juga membutuhkan parameter-parameter sosial ekoÂnomi, walau tidak mutlak haÂrus seperti yang ditetapkan para pencetus teori demokrasi ekonoÂmi seperti Adam Pzeworski atau Daron Acemoglu dan Richard Robinson, misalnya.
Tapi bagaimanapun, deÂmokrasi adalah sebuah sistem tata laksana, sistem nilai, dan peÂdoman perilaku publik, bahkan gaya hidup, yang memang memÂbutuhkan batas minimal secara ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.
Bahkan, menurut Proffesor Juan linz, demokrasi substantif akan tercapai jika menjadi the only game in the town alias menÂjadi satu-satunya aturan main yang diterapkan.
Nah, jika itu tak jua dipenuhi, maka demokrasi akan menjadi ajang yang memakan tuannya sendiri, yakni menjadi pertunÂjukan kedaulatan rakyat yang justru memakan rakyat itu sendÂiri di mana nama rakyat diagung-agungkan tapi kepentingan pubÂlik justru digilas sesuai kebutuhan para elite-elite.
Eksistensi prasyarat-praÂsyarat demokrasi tersebut tentu tak lepas dari peran para elite. Jika elite lokal dalam kontestasi pilkada gagal membentuk konÂsensus di antara sesama elite, terutama konsensus tentang konÂtestasi yang sehat dan mendewaÂsakan pemilih serta tentang manÂagemen konflik yang sama-sama bisa diterima, maka demokrasi lokal akan gagal berfungsi sebÂagaimana mestinya. Konflik akan merebak, permusuhan akan terÂbentuk, bahkan bisa melahirkan perang saudara, baik secara terÂbuka maupun terselubung.
Ini tentu akan merusak keseÂjukan di level akar rumput karena demokrasi lokal justru berubah menjadi arena tarung bebas semua melawan semua.
Jika berkaca kepada panÂdangan Samuel P Huntington (Alm) dalam karya klasiknya, Political Order in Changing SociÂety, fenomena macam ini akan menjadi awal terjadinya pembuÂsukan politik atau political decay di mana istitusi-institusi yang ada gagal menyerap dinamika yang terjadi, sehingga kejadian demi kejadian luber di luar sistem dan berjalan di luar kontrol institusi yang berwenang.
Jadi, kesejukan pilkada, mau tak mau, ada di tangan para kanÂdidat dan elite-elite daerah yang seharusnya mampu memfungÂsikan institusi-institusi yang ada dengan baik. Semoga.
sumber: suarakarya.id