Oleh: DADANG H.PADMADIREDJA
Pengamat Budaya
Mereka mendeklarÂasikannya berteÂpatan dengan peringatan Hari Pendidikan NasiÂonal 2 Mei 2014 lalu di Lapangan Sempur. Ada yang menggelitik dengan pendeklarasian pada hari tersbut, apakah sekedar menÂgambil moment saja, ataukah dibaliknya ada pesan tersembuÂnyi yang hendak disampaikan.
Pertanyaan penulis agak sedikit terjawab, terlebih lagi pendeklaraÂsian selanjutnya selalu di sekolah-sekolah, entah iru sekolah dasar, SLTP atau setingkat SLTA.

Apakah ini ungkapan keprihaÂtinan terhadap kondisi pendidiÂkan di Kota Bogor? Secara hakiki, mungkin hanya para pelaku dan Sang Maha Pencipta yang tahu, namun berdasarkan rangkaian kejadian, penulis untuk sementaÂra bisa menyimpulkan, ada benaÂng merah antara Rebo Nyunda dengan kondisi perilaku pelajar di Kota Bogor.
Seperti kita ketahui bersama, salah satu permasalahan yang kerap timbul serta hingga sekaÂrang belum ada jalan keluarnya adalah menghilangkan dan menÂgurangi tawuran pelajar yang terjadi di Kota Hujan ini. Secara institusional dan pendekatan pendidikan. Pemkot Bogor meÂlalui Dinas Pendidikan, sejatinya pasti sudah melakukan tindakan, baik preventif maupun Curative.
Diantaranya dengan pembenÂtukan Satgas Pelajar, penjagaan di berbagai lokasi yang kerap diÂjadikan tawuran, penggeladahan isi tas, pelibatan Satpol PP dalam tindakan pencegahan serta prosÂes hukum agar menimbulkan efek jera.
Namun ternyata semua yang dihasilkan tidak sesuai haraÂpan, karena jadwal tawuran pun berobah menjadi malam hari, saat Satgas dan sekolah tidak dalam keadaan siaga.
Lalu apakah persoalan tawuran ada kaitannya dengan program Rebo Nyunda yang seÂdang digalakkan? Bisa jadi bisa juga tidak, tergantung kontens yang akan disampaikan dalam Rebo Nyunda tersebut.
Di balik itu semua, ada keyaÂkinan yang besar, bahwa Rebo Nyunda tidak hanya sebatas penggunaan pakaian dan bahasa Sunda saja. Tentunya ada pesen yang masih disembunyikan oleh para penggagasnya terkait penÂcangan Rebo Nyunda.
Seperti kita ketahui bersama, budaya Sunda sarat dengan niÂlai-nilai prilaku kehidupan yang sudah Islami, walaupun para leÂluhur kita pada masa itu belum memeluk agama Islam, karena memang syiarnya belum sampai.
Sunda sebenarnya sudah mempraktekan kehidupan yang isÂlami, yang menyangkut tiga hubunÂgan terintregasi, Hablum minallah (hubungan vertical dengan Sang Pencipta), Hablum minannas (hubungan dengan sesama, muaamalah serta hubungan dengan alam (hablum minalama) sekitarnya.
Salah satu ciri kehidupan yang masih kental dengan 3 jeÂnis hubungan ini bisa kita lihat di suku Kanekes yang merupakan potret kehidupan Sunda di masa lalu. Hubungan vertical mereka percaya dengan Sang Hyang Widi ( Sesuatu yang gaib yang mengizÂinkan) hubungan denag sesama, dijewantahkan dengan Tri TangÂtu yang terdiri dari Rama, Ratu dan Resi.
Kondisi ini secara tergamÂbarkan dalam 3 wilayah kokolot, Cikertawana, Cibeo dan Cikeusik. Sedang hubungan dengan alam, mereka menjaga kelestarian hutan secara utuh, larangan tidak boleh mandi pakaui sabun, tidak berani mematahkan ranting (teu wasa).
Contoh yang paling sederÂhana dan membuktikan Sunda adalah pelaksanaan wujud Islami tidak hanya praktek, jawaban dari sang anak, saat dipanggil orang tuanya.
Bagi anak lak-laki jawaban saat dipanggil adalah kulan, seÂdangkan anak perempuan menÂjawab dengan kata kah. Secara anatomi kata, tehnik pengucapan kata kulan dan kah, sangat tidak memungkinkan untuk diucapÂkan lebih tinggi (keras) dari yang memanggilnya.
Kondisi ini tentu saja sangat seÂjalan dengan agama yang melarang untuk meninggikan volume suarÂanya saat berbicara dengan orang tua, atau umurnya yang lebih tua. Contoh lainnya yang lebih kongkrit adalah bentuk penghormatan keÂpada orang tua, ibu bapak.
Islam seperti hadist Nabi Muhammad menekankan agar menuruti dan berbakti dengan kedua orang tuanya. Dalam salah satu hadistnya Rasulullh menÂgatakan dari Abdullah bin ‘Amrin bin Ash r.a.
ia berkata, Nabi SAW telah bersabda: “ Keridhoaan Allah itu terletak pada keridhoan orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murka orang tuaâ€. ( H.R.A – Tirmidzi)
Sunda mengenal peribahasa munjung kudu ka indung, muja kudu ka bapa, sebab indung anu ngandung (mengandung bayi) bapa anu ngayuga.
Pelanggaran terhadap keÂadaan ini disertai dengan sebuah ancaman yang mengerikan, ka luhur teu sirungan ka handap teu akaran mungkin kalau diterjaÂmahkan dalam bentuk lain idenÂtik dengan hidup segan mati tak mau, sebuah keadaan yang serba salah serta dalam keadaan mendÂerita. Bukankah ridho Allah berÂgantung kepada keridhoan orang tuanya?
Beberapa contoh diatas kiranÂya cukup membuktikan tentang ajaran Sunda yang sudah sangat Islami dan sangat kaya dengan keluhungan budi pekerti.
Dan tentu saja program Rebo Nyunda ke depannya, akan diisi dengan berbagai nilai-nilai luhur sehingga orang Sunda kembali ke jati dirinya atau mulih ka purwaÂdaksi, mulang ka purwadaksa.
Jadi bisa jadi Rebo Nyunda adalah salah satu cara transforÂmasi nilai-nilai kesundaan, atau kebangkitan Ki Sunda yang tidak mau selamanya menjadi bangsa yang ditinggalkan dan terbeÂlakang dalam kepemimpinan di negeri tercinta ini.
Sesuai dengan nasehat leÂluhur, ulah nepi jati kasilih ku junÂti. Mudah-mudahan saja seperti itu, serta kita tunggu bagaimana Rebo Nyunda ke depannya. (*)