Dirjen-BIMSituasi dilematis dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di saat nilai tukar dolar Amerika Serikat melambung tinggi, negri ini justru harus impor gula untuk memenuhi kebutuhan industri.

Oleh : Alfian Mujani
[email protected]

Pemerintah akhirnya memu­tuskan impor gula jenis raw sugar (gula mentah) sebesar 3,2 juta ton pada tahun de­pan. Jumlah ini naik 5% dibanding­kan impor raw sugar di 2015. Meski gula manis, jika harus diimpor saat ini dengan kurs Rp 14.000/USD akan terasa pahit.

“Raw sugar impor sudah dipu­tuskan kenaikan 5% dari tahun lalu, jadi 3,2 juta ton,” ungkap Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, usai rapat koordinasi, di Kantor Ke­menko Perekonomian, Jakarta, Rabu (16/12/2015).

Panggah menjelaskan, kenai­kan tersebut sudah mempertim­bangkan kondisi perekonomian tahun depan. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman. “Untuk industri makanan dan minuman. Karena kenaikan moderat saja, se­benarnya kenaikan rata-rata itu 7%, kita ambil 5%,” jelasnya.

Bila kuota impor tersebut kurang, Panggah memungkinkan adanya im­por tambahan pada pertengahan ta­hun. Pemerintah akan memantau se­cara berkala. “Kita lihat nanti,” kata Panggah.

BACA JUGA :  Lauk Sehat Rendah Lemak dengan Ikan Kukus Asam Pedas

Proses selanjutnya, Panggah menambahkan adalah menunggu surat izin yang akan dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Menurutnya proses tersebut tidak akan memakan waktu lama. “Tinggal nunggu izin impor dari Kemendag,” imbuhnya.

Tidak Mampu

Sementara itu, industri gula nasi­onal sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan gula, baik untuk kon­sumsi rumah tangga maupun untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. Hal ini terjadi karena se­bagian besar pabrik gula (PG) yang ada sudah tak efisien.

Bahkan pabrik gula milik BUMN kalah jauh dibanding PG milik swas­ta. Hal tersebut terlihat dari renda­hnya efisiensi, waktu berhenti gil­ing yang panjang, hingga tingginya kehilangan hasil penyaringan yang berujung pada harga gula tidak ber­saing.

Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), Purwono beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa berdasarkan hasil risetnya, sebagian besar pabrik gula milik BUMN memiliki kinerja sangat buruk.

“Kinerja PG BUMN belum mem­baik. Kapasitasnya masih 3.000 TCD (ton canes day), padahal swasta ada yang punya kapasitas 10.000 TCD. Boilernya sangat boros, bu­tuh kayu banyak dan loses (ke­hilangan hasil penyaringan) tinggi yaitu lebih dari 20%,” katanya. Penggunaan mesin-mesin tua, masa gilingnya pun turut membuat PG BUMN kurang efisien. “Jam berhenti pabrik di luar masa giling masih ter­lalu panjang. Ujung-ujungnya, biaya produksi gula lebih dari Rp 8.000/ kg,” tambahnya.

BACA JUGA :  Bekal Sekolah dengan Sosis Dadar Nori yang Simple dan Sederhana

PG BUMN mencakup produksi 59% dari total gula kristal putih (GKP) nasional. Saat ini jumlah PG swasta maupun BUMN ada 60 PG GKP dan 11 PG Gula Kristal Rafinasi (GKR).

“50 PG GKP dimikiki oleh BUMN yang sebagian besar memiliki kinerja dan mutu produk di bawah standar. Sebanyak 12 PG diantaranya perlu direvitalisasi. Dua diantaranya perlu ditutup dan dibangun pabrik baru,” kata Purwono.

Peningkatan efisiensi PG, mut­lak dilakukan jika PG BUMN in­gin memiliki daya saing dengan produk impor. “PG BUMN harus ditata. Harus direvitalisasi. Apa­lagi PG yang tidak efisien. Kita ha­rus memulai membangun pabrik baru. Satu pabrik dibangun pada awal 2016 saja baru bisa beroperasi 2020 mendatang,” pungkasnya.

============================================================
============================================================
============================================================