BERITA pahit datang dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Selasa (15/12) BPS melaporkan bahwa Neraca Perdagangan Indonesia pada November 2015 mengalami defisit sekitar US$ 0,35 miliar (atau Rp. 4,8 triliun), setelah surplus sejak Desember tahun lalu. Seperti diberitakan oleh Bisnis Indonesia, capaian ini disebabkan adanya realisasi impor senilai US$ 11,51 miliar dan pada saat bersamaan ekspor melemah 7,91% dari US$ 12,12 miliar menjadi US$ 11,16 miliar. Menyedihkan, karena kecenderungan penurunan ekspor Indonesia berlangsung secara kontinu dari bulan ke bulan selama satu tahun ini. Laporan BPS ini semacam kado pahit di akhir tahun.
Oleh: NURKHAMID ALFI
Praktisi Kelistrikan
Seperti kebiasaan, jika ada berita buruk maka pihak Pemerintah beramai-ramai memberiÂkan pernyataan yang seakan-akan menutupi kalau berita itu sebenarnya buruk bagi perkembangan perekonomian Nasional. Menko PerekonomiÂan bahkan berpendapat bahwa seakan terjadi tren positif adanya perbaikan ekonomi domestik akiÂbat peningkatan impor barang modal, di saat permintaan ekspor masih melemah akibat lesunya perekonomian global. Benarkah kenaikan impor itu untuk barang modal? Para Praktisi berpendapat, bahwa kenaikan impor itu terjadi pada barang konsumsi (naik sekiÂtar 25,48%). Sementara itu, bahan baku hanya tumbuh 3,12% dan baÂrang modal bahkan turun 2,62%. Sehingga bisa ditarik garis tegas bahwa tingginya impor itu bukan sebuah indikasi adanya perbaikan ekonomi seperti yang dikemukaÂkan oleh pemerintah, melainkan peningkatan konsumsi produk imÂpor, dimana mutu dan harÂganya lebih baik dari produk local. BaÂrang logam misÂalnya, di tengah membanj irnya baja impor dari China, produk baja lokal hanya menumpuk di gudang karena mengalami kesuliÂtan untuk memasarkannya.

Menelisik Struktur Ekspor Kita
Secara teoritis, jika daya saing produk yang dihasilkan suatu NegÂara tidak kalah dalam percaturan dagang international maka sehaÂrusnya nilai ekspor Negara terseÂbut naik tatkala nilai mata uangnya turun. Hal ini karena harga jual barang Negara tersebut menjadi murah. Itulah sebabnya, Negara-negara seperti Vietnam dan China mendevaluasi nilai mata uangnya dalam rangka meningkatkan volÂume ekspornya. Namun hal ini tidak terjadi pada Indonesia. Mata uang rupiah, walaupun tidak dideÂvaluasi, turun dengan sendirinya sampai 20-an persen, akan tetapi volume ekspor tidak terkatrol bahÂkan selalu dalam kecenderungan terus turun dari waktu ke waktu. Kenapa ini terjadi? Masalahnya adalah, struktur ekspor barang kita terdiri dari 70% berasal dari tambang dan kebun yang tidak ada nilai tambahnya, dan hanya 30% yang berbentuk produk manÂufaktur. Inipun kita anggap 30% yang berbentuk barang manufakÂtur (jadi) itu berkualitas semua. Dengan demikian, ketika harga komoditas tersebut turun hargÂanya, maka nilai ekspor akan ikut turun, sekalipun volume perdaÂgangannya naik.
Berbeda dengan Vietnam. Negara yang baru saja muncul dalam percaturan dagang dunia ini (jika dibandingkan Indonesia) telah mampu mengekspor barang berupa barang manufaktur / baÂrang jadi sekitar 76% dari volume ekspornya. Sebagai ilustrasi, sepÂerti data yang dikemukakan oleh Abdi Amna, Bisnis InÂdonesia, tentang bagaimaÂna Vietnam bekerja keras dalam menata Industrinya dengan deregulasi sejumlah aturan untuk mempermuÂdah iklim investasi dalam usaha memproduksi barang manufaktur dengan harga kompetitif. Kinerja ekspor yang menakjubkan itu, seperti yang dipublikasikan oleh Center for Public Policy TransÂformation, sebuah lembaga riset independen, bahwa Vietnam telah memulai memperbaiki iklim investasi dengan menciptakan sistim pelayanan terpadu sejak tahun 1994., yang disebut One Door Department. Lembaga ini khusus mengurus seluruh perizÂinan administrasi investasi baru, baik investasi Lokal maupun AsÂing. Pada tahun 2000 Pemerintah mengeluarkan UU Perusahaan dengan menghapus ratusan meÂkanisme perizinan yang mengÂganggu investasi. Akibatnya, jika Lima tahun lalu, ketika ekspor persepatuan Indonesia mencaÂpai US$ 2 miliar, ekspor Vietnam hanya US$ 400 juta, maka kini, ekspor Negara itu telah mencapai US$ 12 miliar sementara IndoneÂsia masih US$ 4 miliar.
Kita juga terhenyak seraya tak percaya dengan industri tekstil, di mana selama ini menjadi produk unggulan Indonesia. Kendati di atas kertas industri tekstil IndoÂnesia lebih unggul dari Vietnam, namun, data asosiasi dagang menunjukkan kinerja ekspor VietÂnam telah mencapai US$ 28 milÂiar, sementara Indonesia hanya US$ 13 miliar per tahun.
Melalui fakta di atas maka Indonesia sudah tertinggal jauh. Tidak ada perbaikan yang dirasa signifikan dalam upaya memperÂbaiki struktur ekspornya sejak Era Reformasi, dari Presiden Gus Dur sampai dengan akhir kepemimpiÂnan Pak SBY. Pembangunan dan pengembangan manufaktur denÂgan cara menderegulasi aturan-aturan dalam upaya merangsang masuknya investasi baru dan menggiatkan riset di bidang inÂdustri tidak serius dilakukan. Pemerintah “hanya†mampu menjual barang tambang dan keÂbun yang tidak ada nilai tambahnÂya sama sekali.
Investasi Pabrik dan Tantangan MEA
Perdagangan “tradisional†dengan mengekspor barang menÂtah selayaknya dikurangi. PemerÂintah Indonesia harus mampu merubah struktur komoditas ekspor menjadi minimal 50% baÂrang tambang / perkebungan dan 50% barang manufaktur. Kalau tiÂdak, resikonya besar dalam mengÂhadapi pasar global. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan berlaku pada 1 januari 2016. Pada MEA, Kawasan Asia Tenggara akan dijadikan satu wilayah kesÂatuan pasar dan basis produksi. Dengan demikian, tidak ada lagi hambatan arus barang, jasa inÂvestasi dan modal.
Pada MEA akan tercipta suatu kawasan yang memiliki tingkat kompetisi yang tinggi dan terÂintegrasi secara penuh terhadap perekonomian global dengan menciptakan sistim untuk kapiÂtalisasi modal. Sehingga setiap Negara harus mampu mengemÂbangkan competition policy, consumer protection, intellecÂtual property rights, perpajakan, dan e-commerce. Kekhawatiran banyak pihak bahwa IndoneÂsia, Negara berpenduduk paling banyak di antara Negara Asean, bukan menjadi ladang produksi melainkan justru menjadi pasar yang empuk bagi setiap produk dari Negara Asean. Namun jika Indonesia mampu mengembangÂkan industri berbasis nilai tamÂbah (manufaktur), setidaknya 50%, maka kekhawatiran itu tidak perlu ada. Karena, 50% ekspor dari sumber daya alam merupakÂan ekspor unggulan Indonesia yang tidak bisa disaingi oleh Negara Asean lainnya.
Untuk itu, dibutuhkan investasi baru yang besar dalam membanÂgun pabrik-pabrik sebagai pusat produksi manufaktur, dalam upaya mencapai target minimal 50% itu. Pokok Kebijakan ekonomi yang telah ditelorkan Pemerintah samÂpai enam jilid, memang ditujukan untuk memperbaiki iklim investaÂsi, dengan mempermudah semua proses perizinan dan perpajakan. Namun, kebijakan itu masih beÂlum bisa dilaksanakan proyek konÂstruksinya karena belum ada detail yang dijabarkan oleh Departement terkait. Apalagi jika dikaitkan denÂgan Peraturan Daerah (Perda) yang masih tumpang tindih dengan Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat harus melakukan semacam National Public Administrative reform ProjÂect, yakni melakukan reformasi dan harmonisasi Perda-perda seÂhingga dimungkinkan memperbaiÂki iklim investasi di daerah-daerah. Investasi baru dialirkan ke Luar Jawa sangat strategis dan efisien. Hal ini perlu karena, disamping melakukan pemerataan kue-ekoÂnomi yang condong ke Jawa, pemÂbangunan sentra-sentra produksi di luar Jawa juga mampu untuk menekan biaya produksi dan loÂgistik dalam lingkup kawasan Asean. Produk manufaktur yang akan dipasarkan di semenanjung Singapura, Malaysia, Vietnam dan Kamboja, misalnya, akan lebih ekonomis jika lokasi pabrik berÂtempat di Pulau Sumatera. Begitu juga daerah-daerah untuk pasar Brunai, Serawak, dan Philipina.
Dari segi sosio-politis juga menguntungkan di Luar Pulau Jawa atau di Jawa bagian tengah dan Timur. Kawasan Industri di Jakarta dan sekitarnya ( JabodeÂtabek) sudah tidak kondusif dan kompetitif, dan kalah jika dibandÂingkan dengan pembangunan Pabrik di Vietnam dan Kamboja,. Upah tenaga kerja di Jabodetabek jauh lebih mahal dibandingkan dengan kedua Negara itu. SemenÂtara produktifitas kerjanya, KamÂboja dan Vietnam disinyalir oleh para prktisi lebih baik. Hal inilah yang menyebabkan banyak peruÂsahaan garmen dari investor luar gulung tikar di daerah Jawa Barat dan merelokasi pabriknya ke kedÂua Negara Asean tersebut.
Peluang untuk memperbesar pasar ekspor masih cukup besar. Asean memiliki populasi lebih dari 600 juta jiwa. Lebih tinggi dari Eropa yang hanya sekitar 500 juta jiwa atau NAFTA yang hanya 400 juta jiwa. Total PDB Asean tercatat sebesar US$ 2,31 triliun pada 2012, dan diÂperkirakan meninÂgkat menjadi US$ 3,6 triliun pada 2016.
Total perdaganÂgan Asean pada 2014 tercatat sebeÂsar US$ 2,53 triliÂun, atau meningkat 0,6% dari 2013. Dari sisi investasi, aliÂran investasi mengalir ke Asean cukup deras dan tercatat meninÂgkat dari waktu ke waktu. Pada 2104, tercatat ada sekitar 136,2 miliar atau naik 11,3 % dari tahun sebelumnya. .
Pada akhirnya, paket kebiÂjakan pemerintah yang konsisten sebagai upaya merangsang iklim investasi dalam mengungkit lonÂjakan produk manufaktur yang beroreintasi ekspor menjadi kunci utamanya. Hal ini terbukti, dalam tahun ini setelah PemerinÂtah melakukan deregulasi dengan Paket Kebijakan jilid enam, hasilÂnya sudah terbukti. Dalam survei bertajuk “Where Asia Pacific is leading the worldâ€, sebuah riset yang dilakukan oleh PWC InternaÂtional Ltd. Menempatkan IndoneÂsia ke dalam negara-negara yang paling menarik bagi Investor. Bila perspektif positif itu terus meninÂgkat, bukan tidak mungkin realÂisasi investasi pemodal asing ke Indonesia bisa lebih tinggi lagi. (*)