SAYA ini laki-laki yang ingin bersaksi bahwa sesungguhnya perempuan itu lebih perkasa daripada laki-laki. Minimal itu berlaku untuk diri saya sendiri. Sesungguhnyalah dalam setiap masyarakat dan bangsa, apalagi yang miskin, terdapat banÂyak sekali wanita perkasa dalam jumlah yang tidak terhingga. Di antara perempuan kuat itu adalah almarhum ibu dan isteri saya sendiri. KaÂlau lelaki mau jujur, sebenarnya hampir semua ibu dan isteri adalah perempuan perkasa.
Sebagai seorang isteri yang ditinggal waÂfat suami dengan sejumlah anak yang masih kecil-kecil, termasuk saya yang masih bayi, ibu saya memutuskan tidak menikah lagi. Ia berÂjuang keras tak kenal lelah di ladang dan sawah serta berjualan kecil-kecilan untuk menghidupi kami, anak-anaknya.
Ini juga terjadi pada hampir semua janda yang ditinggal mati suami. Banyak tokoh-tokoh nasional kita yang dibesarkan oleh ibu ditinggal wafat dan tidak menikah lagi seuÂmur hidupnya. Satu di antaranya adalah Pak Bacharuddin (Ruddy) Jusuf Habibie, presiden ke tiga RI. Almarhumah Ibunda beliau, Tuti Marini, bertekad (mungkin bisa dikatakan bersumpah) untuk membiayai pendidikan putera-puterinya sendiri setelah suaminya (Abdul Djalil Habibie) wafat ketika Ruddy baru berusia 13 tahun. Dan masih tak terÂhitung banyaknya lagi perempuan luar biasa yang berhasil mengantarkan putera-puterinya ke puncak sukses di seluruh dunia.
Bahkan dalam perjuangan merebut keÂmerdekaan RI, sumbangan kaum perempuan mungkin lebih besar daripada para pria yang memanggul senjata di medan laga. Di samping itu, banyak juga Srikandi atau pejuang wanita kita yang menyabung nyawa di medan perang. Lebih dari itu, kita tidak boleh lupa jasa para perÂempuan desa yang menyiapkan makanan dan minuman untuk para gerilyawan dan gerilyawati serta melindungi mereka dari kejaran musuh.
Alkisah, dalam banyak kesempatan ketika tentara penjajah Belanda tidak menemukan pejuang yang dicari, kemarahan mereka diÂtumpahkan kepada orang-orang desa dengan menyiksa mereka. Karena itu, yang berhak menyandang gelar pahlawan kemerdekaan sebenarnya termasuk orang-orang desa, laki-laki dan perermpuan, bukan hanya mereka yang berperang dengan memanggul senjata.
Oleh karena kontribusi para perempuan, baik orang kota maupun desa, inilah saya berpendapat ungkapan Bapak-Bapak Pendiri Bangsa (The Founding Fathers) kurang lengkap dan harus ditambah dengan Ibu-Ibu, sehingga menjadi Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Pendiri Bangsa (The Founding Fathers and Mothers).
Penyangga Ekonomi dan Budaya
Jika laki-laki disebut kepala keluarga, maka perempuan adalah tiang atau penyangÂga keluarga. Bagaimana kepala bisa tegak berdiri tanpa ditopang tiang atau penyangÂga? Wa bil khusus ini adalah dalam konteks ketahanan ekonomi keluarga. Banyak suami yang menyerahkan penghasilannya kepada isteri mereka dengan iringan ucapan: “Cukup, tidak cukup ini urusanmuâ€.
Mudah ditebak suami yang mengatakan seperti itu pasti penghasilannya tidak cukup untuk mencukupi keperluan keluarga. Maka, di samping harus pandai memanfaatkan uang yang ada, antara lain dengan cara menghemat, banyak isteri yang harus bekerja apa saja, terÂmasuk berjualan, guna mencukupi kebutuhan keluarga. Lihatlah pedagang di pasar-pasar tradisoional, yang didominasi oleh ibu-ibu. KaÂrena tekun dan memang berbakat, banyak wanÂita pengusaha sukses yang awalnya isteri-isteri yang bangkit tergugah menjadi pedagang kecil-kecilan karena tuntutan kebutuhan keluarga.
Jaman telah berubah atau terbalik. Dulu di desa-desa, mempunyai anak laki-laki adaÂlah dambaan dan kebanggaan, sekarang keÂbalilannya, yakni anak perempuan. Mengapa, karena lebih banyak tersedia lapangan pekerÂjaan untuk perempuan, terutama untuk buruh industri berupah rendah yang memerlukan ketelitian dan ketelatenan. Lihat saja pekerja migran kita, kebanyakan adalah tenaga kerja wanita (TKW). Sebagai tenaga kerja, perempÂuan lebih luwes untuk pekerjaan rumah tangÂga daripada pria. Karena itu, pendidikan untuk anak perempuan tidak boleh dinomerduakan.
Para TKW adalah tulang punggung ekonoÂmi keluarga. Banyak suami sekarang tinggal di rumah mengurus anak-anak, sementara isteri mereka bekerja di luar negeri. Siapa berani bilang, lelaki lebih perkasa daripada perempuan? Celakanya, ada juga suami yang tega menikah lagi sementara isterinya memÂbanting tulang bekerja di luar negeri. Tulang punggung ekonomi keluarga berarti tulang punggung ekonomi negara. Silahkan periksa sendiri, berapa besar sumbangan devisa neÂgara setiap tahun dari para TKW di luar negeri.
Dalam konteks pendidikan karakter, agama Islam menyebut perempuan dan ibu adalah tiang negara. Jika tegak perempuan suatu bangsa, tegak pula lah bangsa itu. SeÂcara alami ibu adalah penumbuh jiwa kasih sayang melalui air susu yang diberikan kepada anak-anaknya. Ibu pula lah yang dengan senÂandung dan cerita nina boboknya,mendidik, membentuk karakter anak-anaknya dan pada gilirannya melahirkan budaya suatu bangsa.
Menyadari hal itu, kebijakan politik dan bantuan untuk pemberdayaan kaum miskin harus mengarusutamakan para perempÂuan dengan multi-perannya dalam keluarga, masyarakat dan bangsa. Saya harap semua lekaki, suami, ayah dan kakek setuju dengan ini. Jika tanpa perempuan perkasa, apa jadinÂya Indonesia?