Oleh: RUSDI MARPAUNG
Anggota Pendiri Imparsial, Advokat di Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta
Aksi pembakaran kanÂtor kedubes dan konÂsulat Saudi di Teheran awal tahun ini, tidak dapat dihentikan oleh penguasa Iran. Hal ini berindiÂkasi pelanggaran serius terhadap hubungan diplomasi dengan SauÂdi, karena kantor kedubes adalah wilayah yang menjadi simbol negara berdaulat yang dilindungi hukum internasional. Namun, terlepas dari aksi penyerbuan di Teheran, kekhawatiaran berikutÂnya adalah reaksi balasan dari pemerintah Saudi. Betul saja, pemerintah Saudi akhirnya meÂmutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Apa yang dapat dipelajari dari perisitwia ini? Pertama, adanya tedensi hubungan diplomatik yang makin memanas di tingkatan negara Islam, terutama antara Iran yang mayoritas Syiah dan Saudi yang mayoritas Sunni. Walaupun Saudi menolak bahwa alasan huÂkuman mati adalah karena ada terpidana dari kalangan Syiah, naÂmun sulit menghadang pendapat sebagaian kalangan di Iran yang terkena sentimen anti syiah di SauÂdi dan beberapa kejadian di berbÂagai negara lain di dunia. PemerinÂtah Saudi mendapat protes keras dari pihak Iran dan beberapa negÂara lainnya seperti Bahrain. Aksi perusakan kedubes disadari meruÂpakan pelanggaran hukum interÂnasional yang cukup serius karena merupakan penanda serangan terÂhadap kedaulatan negara.
Kedua, isu hukuman mati yang dilakukan di Saudi ternyata telah mendapat tantangan yang relatif lebih besar dibanding penolakan hukuman mati dari negara lain termasuk Indonesia. Sebelumnya Indonesia juga suÂdah mengalami warga negaranya yang dieksekusi hukuman mati. Bahkan menurut kemenlu RI sampai hari ini akan mengantri 36 lagi warga negara Indonesia yang akan dieksekusi mati.
Sebaliknya di Indonesia, taÂhun 2015 pemerintah Jokowi sudah mengeksekusi 12 warganegÂara Asing dari total 14 orang yang dieksekusi mati. Jumlah eksekusi ini lebih tinggi dibandingkan pada masa SBY pada tahun pertama pemerintahannya. Bila dibandÂingkan dengan kasus eksekusi pimpinan Syiah, eksekusi mati warganegara asing di era Jokowi tak sampai menimbulkan keruÂsuhan besar, seperti pembakaran kedubes RI di Brasil. Hanya saja sempat terjadi ketegangan diploÂmatis antara Brasil dan Indonesia.
Ketiga, belajar dari peristiwa pembakaran kedubes dan reaksi terusannya, sebaiknya semua piÂhak terutama pemerintah Iran dan Saudi menahan diri untuk tidak membiarkan aksi kekerasan terjadi. Secara diplomatik, boleh saja pemerintah Saudi memutusÂkan hugungan diplomatik. Sama seperti reaksi Brasil yang memÂprotes keras eksekusi mati wargÂanya di Indonesia pada awal tahun 2015. Kala itu pemerintah Brasil menunda pelantikan dubesnya yang sempat membuat malu kubu Indonesia yang sudah siap untuk datang ke acara tersebut.
Berbeda dengan kejadian di Iran, tak ada reaksi yang relaÂtif mengerikan seperti pembaÂkaran gedung kedubes Indonesia dan pengusiran warga di Brasil. Dalam kasus diplomasi Brasil dan RI, ketegangan mencair setelah dilantiknya perwakilan Brasil oleh Presiden Jokowi akhir 2015. Walaupun seperti diungkapkan tentu kasusnya berbeda karena ada unsur sentiman Syiah di Iran.
Banyak lagi kasus ketegangan diplomatik yang memicu adanya reaksi kekerasan dan perusakan simbol-simbol negara. Termasuk di Iran pada saat revolusi Iran yang mengusir diplomat Amerika bahkan menyandera sebagian staf kedubesnya.
Apa yang bisa dilakukan meÂlihat peristiwa ketegangan Iran dan Saudi di awal tahun Monyet 2016? Pertama, perlunya para pihak menahan diri, terutama untuk membantu menyelesaikan konflik di regional pasca krisis kekerasan di Suriah di satu sisi, namun juga dalam penyelesaian kasus terorisme yang menjadi perhatian internasional terutama pasca pengeboman di Paris akhir 2015 silam.
Kedua, tak pelak pemicu keÂmarahan sebagian warga di Iran adalah eksekkusi mati piminan Syiah. Karena itu tampakanya perÂlunya meninjau kembali praktik hukuman mati karena dalam kaÂsus ini terbukti eksekusi mati sanÂgat mudah menaikkan tensi emosi warga karena sifatnya yang mutÂlak dan tak kenal pembelaan lagi.
Indonesia beruntung karena sudah memiliki konsituti yang melindungi hak hidup. Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahÂwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahÂankan hidup dan kehidupanÂnyaâ€. Namun Pemerintahan RI tampaknya masih mengabaikan dan menganggap bahwa putuÂsan mati sudah benar secara huÂkum dan adil. Jokowi, misalnya, berulangkali menyatakan bahwa hukuman mati adalah putusan pengadilan yang harus dihormati karena prosesnya sudah melalui jalan yang panjang.
Namun yang menjadi masalah apakah betul proses hukum sudah diwujudkan secara benar karena masih banyaknya korupsi yang dilakukan hakim, jaksa, maupun polisi bahkan pengacara sebagai penegak hukum. Wacana moratoÂrium hukuman mati sudah sempat muncul pada November silam. NaÂmun wacana itu kembali dikoreksi sehingga antrean terpidana mati pada 2016 tampaknya akan terÂjadi apabila tak ada koreksi dari pemerintah Jokowi.
Semoga Indonesia juga melakukan refleksi terhadap eksekusi mati, melihat pengalaÂman Iran ini. Indonesia harus mengamati implikasi hukuman mati yang semakin berkurang negara pendukungnya dunia. Bahkan pada masa akhir pemerÂintah SBY, Menlu Marty meÂnyatakan bahwa Indonesia telah membuat moratorium hukuman mati walaupun tidak serta merta menghapus hukuman mati.
Mendukung solusi damai di Timur Tengah adalah sangat penting, namun tak kalah pentÂing untuk melihat faktor eksekusi mati yang nyatanya masih berÂlaku pula di Indonesia. MeledaÂknya sentimen di Iran, tak lepas dari problema eksekusi mati waÂlaupun faktor-faktor lain seperti ketegangan Iran dan Saudi terÂkait perbedaan Syiah dan Sunni. Semoga perluasan ketegangan yang menjurus pada kekerasan tidak terjadi.
sumber; satuharapan.com