Oleh: ANDI HAKIM
Mahasiswa program doktor Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

Pepatah terakhir mem­berikan dorongan positif bahwa, meski­pun hak prerogatif masa depan ada di tangan Tuhan, tapi manusia di­beri kesempatan untuk meren­canakan dan berusaha mewujud­kan mimpi mereka.

Berbicara tentang mimpi masa depan, baru-baru ini Pres­iden Jokowi menulis ”7 impian ‘besar’ bangsa Indonesia” me­lalui goresan tangannya di secarik kertas saat berada di Merauke di penghujung tahun 2015.

Jika kita boleh menarik inti­sari dari ketujuh impian terse­but, Presiden berharap dalam 70 tahun ke depan (2015-2085), Indonesia diharapkan mampu menjadi bangsa yang unggul dan makmur di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Pertanyaannya, bagaimana bangsa Indonesia bertahan dan meraih keberhasilan mewujud­kan mimpi-mimpi besar yang di­miliki (not only survive, but pre­vail) di tengah tantangan dunia yang semakin kompleks.

Untuk mewujudkan impian besar tersebut, jelas Indonesia membutuhkan pemimpin besar pula (great leader) dan bukan pemimpin yang biasa-biasa saja (ordinary leader).

Lantas, apa kriteria pemimpin besar (great leader) yang mampu menahkodai bangsa Indonesia menuju negeri impian tersebut?

Jim Collins, seorang pakar bi­dang kepemimpinan (leadership) dari Harvard University, AS men­gungkapkan dalam bukunya Great by Choice, kunci sukses menjadi pemimpin yang luar biasa. Salah satunya adalah sikap disiplin yang tinggi (fanatic disiplin).

Disiplin yang dimaksud adalah adanya konsistensi terha­dap cita-cita, konsistensi dalam bertindak, serta konsisten untuk bekerja keras.

Artinya, pemimpin yang besar memiliki totalitas dan pendirian kuat (independensi) dalam mewujudkan keberhasilan negaranya seberapa pun sulitnya, dan tidak mudah goyah dan ter­pengaruh atas tekanan-tekanan yang menerpa dirinya.

Tekanan-tekanan bisa datang dari dalam organisasi itu sendiri maupun dari lingkungan ekster­nalnya.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dalam konteks kepemimpi­nan Jokowi, sebagaimana telah menjadi konsumsi publik be­lakangan ini, dalam satu tahun periode kepemimpinannya, Jokowi telah dihadapkan dan mengalami banyak sekali tekan­an baik yang berasal dari intern kabinet, tekanan politik, sampai tekanan pihak asing terhadap kebijakan-kebijakan yang diter­apkan Presiden.

Kisruh antarmenteri, con­tohnya, menyusul munculnya sosok Rizal Ramli dengan ju­rus Rajawali Ngepret yang telah berkali-kali ‘mengepret’ menteri-menteri lain bahkan Wakil Pres­iden, menunjukan bahwa dalam kabinet sendiri belum ada sin­ergitas dan harmoni antarpem­bantu Presiden bahkan dengan Wakilnya sekaligus untuk mewu­judkan cita-cita bersama yang telah dituangkan dalam program Nawacita.

Bahkan dalam beberapa kasus, mereka saling tuding dan curiga bahwa apa yang mereka lakukan bukan didasarkan atas kepentin­gan bangsa tapi untuk individu dan kelompok mereka sendiri.

Belum lagi, tantangan dari para elite politik. Kasus ‘papa min­ta saham’ yang membuat Setya Novanto turun dari jabatannya sebagai ketua DPR menunjukan bahwa wakil rakyat yang terhor­mat tersebut masih belum bisa di­percaya untuk bisa mewujudkan impian besar bangsa Indonesia. Di antara mereka bahkan sering­kali saling sikut untuk memenuhi hasrat pribadi mereka.

Dari pihak asing, usaha berka­li-kali Australia dan beberapa negara lain untuk menggagalkan upaya eksekusi mati terhadap warga negaranya yang menjadi bandar narkoba di Indonesia menunjukan bahwa intervensi asing terhadap suatu kebijakan Presiden akan selalu ada.

Menjaga konsistensi dalam menjalankan kebijakan meru­pakan tantangan yang berat bagi seorang pemimpin, hal terse­but terjadi karena banyaknya tarik menarik kepentingan yang seringkali menjadikan seorang presiden tersandera dan akh­irnya menjadi kompromistis.

Belajar dari Lee

Mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, meru­pakan contoh sosok pemimpin dengan jiwa disiplin dan inde­pendensi yang kuat.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

PM Lee terkenal tegas dan tanpa kompromi dalam melak­sanakan kebijakan-kebijakan di negaranya, bahkan tidak segan-segan menghukum rakyatnya yang tidak mematuhi kebijakan telah ditetapkan dan menggangu stabilitas negara. Meskipun terke­san otoriter dan tidak demokra­tis, tetapi semua dilakukan demi mencapai kemakmuran bagi rakyatnya.

Faktanya, Lee Kuan Yew telah mengukir sejarah sebagai The Great Leader bagi rakyat Singa­pura bahkan diakui dunia sebagai pemimpin yang berhasil menja­dikan Singapura yang awalnya hanya sebuah negara kecil yang miskin sumberdaya, menjadi negara maju dengan tingkat daya saing dan pendapatan perkapita yang tinggi.

Berdasarkan data World Eonomic Forum 2014-2015, In­dex Kompetisi Global Singapura berada pada ranking ke-2 du­nia dari 144 negara, mengalah­kan AS di peringkat ke-3. Dan, memiliki rata-rata pendapatan perkapita sebesar 54,776 dolar AS. Sementara Indonesia saat ini masih berada di posisi 34 dengan pendapatan per kapita 3,510 do­lar AS.

Belajar dari Lee Kuan Yew, ke depan, apabila Jokowi ingin menorehkan tinta sejarah seb­agai salah satu The Great Leader yang mampu membawa Indo­nesia menuju impian besarnya di masa depan, maka tidak bisa ditawar lagi bahwa Jokowi harus konsisten terhadap cita-cita, kon­sisten dalam bertindak, dan kon­sisten untuk terus bekerja keras.

Disiplinkan kabinet untuk bekerja sesuai dengan kebijakan pimpinan, tidak perlu lagi ada perasaan takut tersandera oleh kepentingan politik dan kepentingan asing.

Lakukan tindakan-tindakan yang nyata dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena, seberat apa pun tantangan yang dihadapi seorang pemimpin, se­lama pemimpin tersebut tegas dan disiplin terhadap kebijakan dan cita-citanya yang pro-rakyat, niscaya rakyat akan selalu men­dukung dan berdiri tegak bersa­ma-sama mewujudkan cita-cita tersebut.

sumber: suarakarya.id

============================================================
============================================================
============================================================