Oleh: ITO PRAJNA-NUGROHO
Anggota Lingkar Studi Terapan Filsafat dan Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Perjalanan tugas keliling Amerika yang ditemÂpuhnya selama 7 bulan, sejauh 14.000 km dari bagian utara Dakota ke ujung selatan Texas, dari PanÂtai Timur ke Pantai Barat, menyÂingkapkan tiga persoalan dasar dalam demokrasi yang menyita pikirannya.
Tocqueville menjabarkan tiga persoalan dasar ini dalam buku monumentalnya, Democratie en Amerique (Democracy in AmeriÂca) (1835/1840 [1998]).
Karya tersebut menjadi karya monumental sebab tidak hanya berkenaan dengan demokrasi di Amerika, tetapi secara mendasar berkenaan dengan dasar-dasar sistem demokrasi sebagai tatanan politik yang paling adil yang dapat diupayakan manusia.
Tetapi bahkan bentuk tatanan yang paling menjamin keadilan dan kesetaraan pun menyisakan ketidakadilan.
Tocqueville setidaknya menunjuk tiga persoalan dasar yang dapat menelikung demokrasi dari dalam sistemnya sendiri, yaitu: 1) tirani mayoritas, 2) kesewenang-wenangan (despotisme) birokrasi, dan 3) sikap tidak peduli warga negara terhadap proses politik (apatisme politik).
Aporia Demokrasi dan Bahaya Intoleransi
Untuk Indonesia yang terÂgolong muda belia dalam deÂmokrasi, 70 tahun setelah IndoÂnesia menegaskan kedaulatannya sebagai negara-bangsa merdeka dan hampir 2 dekade setelah IndoÂnesia meninggalkan pola pemerÂintahan otoriter gaya Orde Baru, rambu-rambu yang diberikan TocÂqueville perlu dicermati dengan seksama.
Apalagi, proses demokrasi meÂmang seringkali terasa pedih dan menguras kesabaran. Kebuntuan proses politik (political gridlock) yang sering terjadi dalam deÂmokrasi di antara eksekutif dan legislatif semakin menambah keÂpedihan.
Sebab, political gridlock adalah jalan buntu (aporia) yang mengebiri efektivitas kebijakan negara dan mematikan berbagai terobosan di bidang-bidang pentÂing lainnya, seperti ekonomi, sosÂial, pendidikan, dan kebudayaan.
Ketidakacuhan para pungÂgawa negara dan ketidaklayakan para wakil rakyat yang memanipÂulasi proses demokrasi semakin membuat rasa keadilan publik terinjak-injak.
Rendahnya partisipasi publik dalam pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak (Pilkada) pada 9 Desember 2015 lalu, yang menurut BBC Indonesia di beberapa daerah tingkat partisiÂpasi warga bahkan di bawah 50%, merupakan pertanda apatisme politik sebagaimana telah ditunÂjuk oleh Tocqueville.
Bukan tanpa alasan jika TocÂqueville dalam bagian V dan VI buku Democracy in America menyatakan bahwa gaya pemerintahan despoÂtik, yang muncul sebagai akibat ketidakacuhan warga terhadap proses politik yang terus-menerus mengecewakan harapan mereka, justru akan semakin mudah munÂcul dalam tatanan demokratis (TocÂqueville, 1998: VI, 362).
Bagi Tocqueville ketidakadiÂlan dan kesewenangan kekuasaan dalam demokrasi muncul bukan dalam bentuk penindasan oleh penguasa.
Sebaliknya kesewenangan dan ketidakadilan dalam tatanan deÂmokrasi muncul secara tidak disÂadari sebagai ‘normalitas’ ketika tiap-tiap warga semakin apatis dengan politik, aspirasi-aspirasi warga menguap tanpa arti di bilik-bilik pemilihan, tindakan-tindaÂkan politis warga semakin terjiÂnakkan oleh beratnya pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari, yang semuanya membuat warga semakin abai dengan proses poliÂtik (Tocqueville, 1998: V, 359).
Singkatnya, prinsip kebeÂbasan, kesetaraan, dan partisipasi warga yang menopang demokrasi secara paradoksal ternyata juga dapat menjadi faktor yang mengÂgagalkannya.
Tocqueville sepertinya telah jauh-jauh hari menyadari bahwa apa yang dipertaruhkan adalah pudarnya toleransi yang bergeser menjadi intoleransi.
Padahal toleransi adalah benang merah yang merekatkan bangunan demokrasi. IntolerÂansi terhadap mekanisme politik dan hukum formal, intoleransi terhadap elit politik, intoleransi terhadap perbedaan dalam maÂsyarakat, intoleransi terhadap kelompok minoritas, bahkan intoleransi terhadap demokrasi itu sendiri merupakan bahaya yang mengancam demokrasi dari dalam tubuhnya sendiri.
Konflik dan disintegrasi adalah konsekuensi logis yang muncul jika efek-efek sampingan tersebut tidak disadari. Aporia dalam demokrasi adalah awal deformasi di dalam tuÂbuh demokrasi itu sendiri.
Pengakuan akan adanya perÂsoalan merupakan langkah awal terpenting menuju penyelesaianÂnya. Dalam konteks zaman keÂtika Tocqueville menulis, Amerika Serikat di Abad ke-19, rambu baÂhaya yang dibunyikan Tocqueville ditanggapi secara responsif.
Amerika Serikat ketika itu segera merespon dengan memÂperkuat dua hal pokok, yaitu memperkuat kepemimpinan eksekutif dan menata struktur kongres/ parlemen yang membuat lebih diÂpercayanya sosok wakil rakyat.
Terpilihnya Abraham Lincoln pada 1860 sebagai sosok presiden ‘kuat’ berkarakter yang visioner dan mampu menerobos berbagai kebuntuan proses politik, misalÂnya lewat penghapusan perbudaÂkan, merupakan bentuk nyata re-organisasi diri demokrasi Amerika ketika itu.
Beberapa Amandemen KonÂstitusi yang muncul di masa itu mampu menjawab kekecewaan warga terhadap wakil-wakilnya di konggres parlemen yang lebih sering bersiasat satu sama lain.
Arcana rei publicae
Dalam konteks Indonesia, denÂgan anggota parlemen yang gemar saling bersiasat di belakang mata publik, para pejabat negara yang lebih menyerupai pedagang dariÂpada negarawan, sikap jengah dan lelah terhadap proses demokrasi sepertinya mulai menentukan suasana kebatinan masyarakat.
Romantisme salah kaprah terÂhadap masa lalu, entah itu menÂgidealkan masa Orde Lama atau mendambakan kembalinya masa Orde Baru, adalah bentuk-bentuk endapan kejengahan terhadap masa kini dan reformasi yang tanÂpa ujung.
Respons dari para penyelengÂgara kekuasaan negara dan peÂmangku kepentingan terhadap kejengahan publik ini akan meÂnentukan nasib demokrasi IndoÂnesia jauh ke masa depan.
Maka, membuat tatanan deÂmokrasi yang sedang kita jalani bersama mampu berfungsi efektif merupakan jalan berat demokrasi yang juga harus ditapaki bersama betapa pun melelahkannya jalan itu.
Sebab proses politik sejatinya akan selalu dibayangi oleh logika politik purba yang oleh Niccolo Machiavelli disebut sebagai arcana rei publicae, yaitu kesepakatan-kesepakatan rahasia yang menenÂtukan kebijakan kekuasaan di ruÂang publik.
Dalam hal ini elit politik dan para wakil rakyat mengemban tanggungjawab terberat untuk membuktikan dirinya mumpuni mengendalikan dan menjinakkan logika politik purba tersebut. SeÂbab, sebagai sesuatu yang purba atau arcane, politik kongkalikong yang tanpa wajah itu memang tiÂdak dapat dihilangkan sama sekali.
Selama manusia berkepentinÂgan untuk memakmurkan dirinya, selama itu pula berlaku logika arÂcana rei publicae yang dikatakan Machiavelli.
Raison d’être negara, alasan dasar dibentuknya negara, adalah persis untuk melindungi kepentÂingan umum seluruh warganya di hadapan berbagai kemungkiÂnan sabotase politik kongkalikong dengan cara menjinakkan logika politik purba tersebut melalui kebijakan-kebijakan negara yang berpihak kepada rakyatnya.
Mengikuti filsuf Spinoza mungÂkin kita perlu menyadari bahwa demokrasi sebetulnya lebih meÂnyerupai kondisi asali yang di dalamnya setiap orang setara dan merdeka. (*)