JAKARTA, TODAY — Kabar gembira bagi para pegiat bisnis kuliner, obat-obatan, dan kosÂmetik. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memangÂkas prosedur izin edar produk makanan, obat dan kosmetik lokal. Artinya, para pebisnis lokal yang selama ini kesulitan mendapatkan restu dari BPOM, kini bisa dipermudah.
Kepala Pusat Informasi Obat dan Makanan pada BPOM, Rita Endang mengatakan, untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, lembaganya akan meringkas mekanisme prosedur izin edar produk makanÂan, obat, dan kosmetik loÂkal agar bisa cepat bersaÂing. “UnÂtuk yang low risk, pendaftÂaran pra registrasi akan dibuat sesingkat mungÂkin,†kata Endang di Aula Pusat Pengujian Obat dan Makanan, Jakarta, Selasa (9/2/2016).
Endang mengaku cara tersebut dilakukan agar produk lokal bisa lebih cepat bereÂdar di pasar. Untuk itu BPOM meminta produk lokal bisa meningkatkan kualitasnya agar diteriÂma masyarakat. “Meski prosedur regÂistrasi lebih singkat, kualitas produk harus lebih terjaga,†kata Endang.
Selain itu, BPOM juga membentuk export consultation desk agar para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan MeÂnengah (UMKM) bisa menghasilkan produk dengan kualitas ekspor.
Program ini, menurut Endang, suÂdah pernah ada sebelumnya. Namun, kali ini mekanisme yang diterapkan, baik untuk industri kosmetika, obat tradisional, maupun makanan dibuat jauh lebih terstandar. “Supaya mereka bisa lebih mengetahui mekanisme, prosedur, dan persyaratan yang ada,†kata Endang.
Selain memperkuat produk lokal, untuk menghadapi serangan produk dari luar negeri, BPOM menerapkan aturan pre market dan post market untuk memperketat barang yang berÂedar. Pre market berfungsi untuk menÂgawasi makanan sebelum beredar, seÂdanglan post market untuk mengawasi yang sudah beredar.
Dalam program pengawasan terseÂbut, BPOM akan memperhatikan betul apakah produk tersebut terdaftar. Jika terdaftar, maka akan dilihat lagi mutu dan khasiatnya apakah sesuai dengan keterangan yang ada di kemasan. SeÂlanjutnya, BPOM akan melakukan penÂgujian secara berkala dengan mengamÂbil sampel sebagai evaluasi post market. “Ini dilakukan dalam rangka melindungi konsumen,†kata Endang.
Menyikapi kebijakan anyar BPOM ini, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Bogor, Hidayat Yudha Priatna, mengaku sangat mengapresiasi. “Di Bogor ada sekitar 6.000 unit usaha keÂcil. Produknya sangat terbatas wilayah peredarannya. Pedagang belum bisa menjual ke luar Bogor karena terkenÂdala izin edar dari BPOM. Kami berÂharap, produk-produk yang belum terlisensi ini bisa diurus dan dipermuÂdah,†kata dia, Selasa (9/11/2016).
Yudha juga berencana bakal berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk permudahan sertifikasi halal produk. “Jadi aman menurut BPOM, belum tentu aman menurut MUI. Ini praktik yang terjadi di lapangan. Makanya perlu adanya sinkronisasi regulasi antara BPOM dengan MUI,†pintanya, mengimbuh.
300 Situs Online Diblokir
Selain membuat terobosan peÂmangkasan izin produk, BPOM juga memblokir 300 situs belanja online. Langkah ini dilakukan lantaran adanya temuan bahwa situs tersebut melakuÂkan penyimpangan produk. “Sudah ditutup aksesnya atau diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan InforÂmatika. Pemblokiran ini dilakukan lantaran produk yang dijual tidak meÂmenuhi syarat izin edar,†kata Endang. “Kami sudah kerja sama dengan KeÂmenkominfo, sebab bukan wewenang BPOM untuk memblokir situs terseÂbut,†sambungnya.
Saat ini, menurut Endang, selain bekerja sama dengan Kemenkominfo, BPOM juga bekerja sama dengan InterÂpol antar negara yang disebut dengan Operation Pangea. Operasi ini melibatÂkan 60 negara dalam menutup situs penjualan online yang kebanyakan menjual obat palsu, makan serta kosÂmetik yang tidak aman. “Sudah sekitar 300 website yang ditutup,†tuturnya.
Endang menyebutkan situs yang diblokir bukan hanya situs lokal, tetapi juga situs asing. Pemblokiran juga muÂdah dilakukan karena negara-negara yang masuk dalam kerja sama APEC, berkomitmen bersama dalam memÂberantas penjualan obat palsu online. Setiap negara memiliki sistem untuk mendeteksi penjualan obat palsu seÂcara online.
Endang mencontohkan, setiap neÂgara yang mengirimkan produknya ke Indonesia pasti harus melewati pemeriksaan Ditjen Bea Cukai. Dalam proses pengurusan bea cukai tersebut, BPOM harus dilibatkan. Sampai saat ini, pengujian produk yang masuk ke Indonesia masih masuk tahap uji pada tataran apakah produk tersebut menÂgandung narkotika atau psikotropika. Sementara, untuk obat palsu, masuk dalam Operasi Pangea.
Endang menyatakan saat ini BPOM dan Kemenkominfo belum berfokus mengawasi transaksi jual-beli yang melewati akun media sosial, seperti instagram atau facebook. “Belum samÂpai sana, belum populer ke sana,†kata Endang. “Nanti kami akan berkoordiÂnasi lagi dengan Kemenkominfo,†tanÂdasnya.
(Yuska Apitya Aji)