konsultasiPertanyaan

Dalam hukum pidana sering kita dengar istilah rekonstruksi. Apakah yang dimaksud dengan rekonstruksi ? Dasar hukum rekonstruksi ? Dan bole­hkah seorang tersangka menolak untuk melakukan rekonstruksi ?

Jawaban

Secara sederhana rekonstruksi dimak­nai sebagai visualisasi kembali dugaan peristiwa tindak pidana di TKP, yang pelaksanaanya dilakukan berdasarkan segala fakta yang terungkap sebagai hasil penyidikan. Rekonstruksi dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan, kejela­san dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun ten­tang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi. Sehingga kedudukan atau peranan seorang yang diduga terlibat dalam peris­tiwa tindak pidana, maupun barang bukti dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas, yang selanjutnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Rekonstruksi secara khusus diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpu­nan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Pros­es Penyidikan Tindak Pidana. Bab III ten­tang Pelaksanaan, angka 8.3.d Buku Juklak Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa: “Metode pemeriksaan dapat meng­gunakan teknik : 1) interview, 2) interogasi, 3) konfrontasi, 4) rekonstruksi.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Rekonstruksi sebaiknya hanya untuk kasus dugaan tindak pidana tertentu yang fakta hukumnya kurang jelas (misalnya : pembunuhan, perkosaan, perampokan yang dilakukan secara tidak biasa/lazim). Jadi, sebaiknya tidak untuk semua kasus, misalnya pemalsuan surat dan tanda tan­gan. Penekanannya, untuk perkara yang dimungkinkan dilaksanakan rekonstruksi sebaiknya perkara yang mengenai proses dan kronologi terjadinya tindak pidana yang masih kabur atau tidak jelas. Rekon­struksi biasanya dilaksanakan bila tersang­ka berbelit-belit, cenderung menutupi dan tidak mengatakan yang sebenarnya saat pemeriksaan dan minimnya saksi yang bisa dimintai keterangan. Sedangkan, untuk peristiwa pidana yang sudah jelas barang buktinya, seperti pemalsuan surat dan tanda tangan, tidak perlu diadakan rekonstruksi.

Rekonstruksi dilaksaanakan dengan tetap mempertimbangakan asas praduga tidak bersalah, sehingga tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat, tersangka harus dinilai sebagai subjek, bukan objek.

BACA JUGA :  APA ITU PATOLOGI ANATOMIK (PA)

Apakah rekonstruksi itu harus dilaku­kan oleh tersangka bila pihak penyidik menghendakinya? Prinsipnya, seorang tersangka bisa menolak untuk tidak melakukan rekonstruksi. Hal ini sesuai dengan asas praduga tidak bersalah di atas, bahwa seorang tidak boleh din­yatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Rumusan ini sejalan pula dengan asas non-self incrimination, yaitu seseorang tersangka/terdakwa berhak untuk ti­dak memberikan keterangan, termasuk dalam bentuk rekonstruksi, bila dirasa akan merugikan dirinya di muka sidang pengadilan. Sebab secara logika hukum, dengan melakukan dan mengikuti selu­ruh rangkaian rekonstruksi yang diminta penyidik seolah-olah seorang tersangka telah melakukan perbuatan yang disang­kakan kepadanya.

Walau harus diakui bahwa rekon­struksi bisa merugikan penyidik dalam menjalankan tugas profesinya, setidaknya penyidik menemui kesulitan dalam men­gungkap kebenaran fakta hukum, namun demikian tetap tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

Bambang Sudarsono

Pemerhati Hukum dan HAM

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================