KOMISI Penyiaran Indonesia (KPI) memulai tradisi baru dengan menyelenggarakan uji publik sebagai upaya memperoleh masukan masyarakat guna memperkaya bahan dalam pengambilan keputusan terkait perpanjangan izin penyelenggaraan siaran televisi swasta.
Oleh: Ali Mutasowifin
Dosen Institut Pertanian Bogor
Yang menarik, niat yang mulia dan diÂlakukan dengan cara yang baik dan maÂsuk akal ini ternyata memperoleh tentangan dari angÂgota DPR, beralasan bahwa apa yang dilakukan KPI itu tidak diaÂtur oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Patut diduga, penentangan mereka terhadap aksi KPI itu berkaitan dengan kekhawatiran bahwa izin penyelenggaraan siÂaran yang berlaku saat ini akan sulit memperoleh perpanjangan jika ternyata hasil uji publik memÂberi nilai minus terhadap penyÂelenggaraan siaran selama ini. Sementara, kita semua mafhum, para anggota DPR yang bersuara lantang menentang uji publik KPI itu memiliki hubungan sangat erat dengan para pemilik stasiun televisi yang banyak disorot maÂsyarakat.
Memang, banyak yang meÂnilai selama ini hampir semua stasiun televisi mengecewakan. Walaupun menggunakan frekueÂnsi milik publik terbatas, lembaga penyiaran swasta yang ada sanÂgat sering menyiarkan beragam acara seolah-olah sedang mengÂgunakan frekuensi milik pribadi, tanpa mempedulikan pendapat masyarakat dan akal sehat.
Corong kepentingan pribadi
Selama ini, masyarakat hanya mampu menahan marah dengan kelakuan para pemilik stasiun televisi yang sangat sering meÂmanfaatkan televisi miliknya unÂtuk menyiarkan kegiatan dirinya, promosi partainya, maupun panÂdangan pribadi dan kelompoknya.
Yang sangat sering mengguÂnakan televisi miliknya seolah-olah disiarkan dengan frekuensi milik pribadi adalah Hary TanoeÂsoedibjo, menguasai stasiun teleÂvisi RCTI, GLOBAL TV, MNC TV, serta iNews TV. Bayangkan, beÂtapa dongkolnya penonton teleÂvisi seluruh Indonesia, tidak meÂmiliki pilihan hiburan lain selain televisi, setiap saat dipaksa harus menatap wajah Hary TanoesoediÂbjo dan istrinya.
Kedua orang tersebut sangat sering tampil di televisi-televisi miliknya, entah ketika sedang beraktivitas sebagai ketua umum Partai Perindo yang didirikannya, mengomentari sebuah peristiwa, atau tampil membintangi tayangan Mars Partai Perindo, serta aktivitas-aktivitas lainnya. Begitu kerapnya, sampai banyak anak-anak kecil kini mampu dengan lancar melagukan Mars Partai Perindo.
Pada saat Hary TanoesoediÂbjo masih membela Partai NasÂdem dua tahun lampau, ia juga menggunakan seluruh jaringan televisi miliknya untuk mengÂkampanyekan Partai Nasdem. Saat pindah ke Partai Hanura dan menjadi pasangan Wiranto, ia pun mengerahkan segenap jarinÂgan televisi miliknya untuk mengÂkampanyekan dirinya dan Partai Hanura.
Setali tiga uang dengan Hary Tanoesoedibjo adalah Aburizal Bakrie. Meskipun frekuensinya tidak sebanyak Hary TanoesoediÂbjo, akhir-akhir ini ia juga rajin muncul di dua stasiun televisi miliknya, ANTV dan TVOne, teruÂtama saat mencoba menggiring opini publik berkaitan dengan kisruh Partai Golkar, di mana ia ngotot mengaku sebagai ketua umum Partai Golkar yang sah.
Peran ganda ANTV dan TVOne sebagai corong kepentÂingan pemiliknya bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Pada saat pemilu legislatif dua tahun lalu, ANTV dan TVOne praktis menjadi juru kampanye tidak resmi Partai Golkar. Sedangkan saat pemilihan presiden, kedua stasiun televisi itu berganti peran menjadi corong pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta.
Sama dan sebangun, Metro TV juga tidak lepas dari pengaruh pemiliknya. Saat pemilu legislatif 2014, Metro TV tampak jelas telah menjadi media kampanye Partai Nasdem, partai yang didirikan dan kini diketuai pemilik Metro TV, Surya Paloh. Sedangkan saat pemilihan presiden, mengikuti pilihan politik pemiliknya, Metro TV juga kentara sekali dalam menÂdukung pasangan capres-cawaÂpres Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Membodohi Masyarakat
Selain menjadi corong pemiÂliknya, televisi juga tak jarang meÂnyiarkan acara yang dinilai tidak penting, bahkan membodohi maÂsyarakat. Sebagai contoh, lihatlah reality show proses persalinan Ashanty berjudul “Anakku: Buah Hati Anang & Ashanty†yang disiarkan secara langsung oleh RCTI pada 14 Desember 2014 seÂlama sekira 4 jam! Sebelumnya, acara serupa juga ditayangkan oleh RCTI saat memaksa penonÂton menyaksikan secara langsung selama 3 jam resepsi pernikahan Anang-Ashanty yang dibungkus judul “Jodohkuâ€.
Trans TV tidak luput melakuÂkan kebodohan serupa, dengan menyiarkan secara langsung seÂlama belasan jam dalam sehari rangkaian acara pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Trans TV bahkan menampilkan segmen live eksklusif “Menuju Janji Suci†pada dua tayangan regulernya, Insert dan Show Imah sepanjang 6-15 Oktober 2014. Puncak rangÂkaian acara ini adalah penayanÂgan proses pernikahan secara langsung pada 16-17 Oktober 2014, sejak pukul 08.00 hingga 22.00 WIB.
Yang juga dipraktikkan merÂata oleh banyak televisi adalah acara lawakan, yang sering tidak lucu, yang menampilkan para pelawak dan presenter yang itu-itu saja, dari pagi hingga malam. Bahkan, beberapa presenter terus menerus tampil dari pagi, siang, sore, hingga malam bergantian di berbagai stasiun televisi.
Penayangan acara-acara yang tidak mendidik seperti itu sering disebut untuk memenuhi permintaan pasar. Namun, seÂharusnyalah stasiun televisi juga menjalankan kewajibannya unÂtuk mendidik masyarakat dengan menyajikan tontonan yang cerÂdas dan mendidik.
Penataan industry
Beberapa contoh di atas menggambarkan penyalahguÂnaan frekuensi publik yang diÂlakukan secara telanjang dan sewenang-wenang oleh stasiun-stasiun televisi di Tanah Air. PaÂdahal, frekuensi yang digunakan televisi adalah milik publik yang seharusnya dimanfaatkan sebeÂsar-besarnya bagi kemaslahatan masyarakat banyak.
Yang membuat masyarakat gondok dan kecewa, kejadian serupa bukan hanya sekali dua kali saja dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi. Seolah-olah, merÂekalah yang berkuasa dan tak ada pengawas yang sanggup mengaÂtur tingkah polah dan keinginan mereka, apatah lagi menghukum mereka.
Tidak salah jika masyaraÂkat kecewa dengan kinerja KPI selama ini. Buktinya, berulang kali KPI melayangkan teguran, pelanggaran serupa terus saja diÂlakukan oleh stasiun televisi yang sama atau stasiun televisi yang lain. Seolah-olah, “anjing mengÂgonggong, kafilah berlalu.â€
Masyarakat tentu berharap KPI lebih tegas bertindak untuk memastikan stasiun televisi tidak seenaknya sendiri menggunakan frekuensi milik publik untuk keÂpentingan diri, keluarga, partai, dan kelompoknya sendiri. ApaÂbila teguran tertulis tidak pernah diindahkan dan terus diulangi, baik oleh televisi itu sendiri mauÂpun televisi lain, saatnya KPI menerapkan sanksi yang lebih tegas, misalkan menghentikan seÂluruh siaran selama jangka waktu tertentu.
Untuk menghindarkan domiÂnasi pribadi, izin penyiaran televisi sebaiknya meniru single presence policy pada dunia perÂbankan. Dengan single presence policy, seorang pemilik modal hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali (PSP) pada satu bank.
Jika dia menjadi PSP pada lebÂih dari satu bank, dia harus menÂdivestasi sahamnya pada bank lainnya, hingga akhirnya hanya menjadi PSP pada satu bank saja. Jika hal ini dapat diterapkan pada dunia pertelevisian, diharapkan terhindar kondisi seperti saat ini, di mana satu orang dapat menÂgendalikan hingga empat stasiun televisi sekaligus yang, celakanya, dimanfaatkan untuk menggiring opini publik demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. (*)