TOPIAH, pekerja rumah tangga (PRT) mengaku kerap dianiaya majikannya, Fanny Afriansyah alias Ivan Haz, anggota DPR. Dia mengaku kerap ditendang dan dibenturkan ke tembok oleh putra mantan Wapres Hamzah Haz tersebut. Akibatnya, kepalanya dijahit dan telinganya robek, sehingga harus dioperasi.
Oleh: Hendri Teja
Wakil Ketua Umum PB Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo) 2014-2019
Dia juga mengaku hanya diberi makan hanya sekali seÂhari, dan dua bulan upah kerjanya beÂlum dibayar. Karena tidak tahan lagi, Topiah kabur dan kemudian melaporkan kasus ini kepada piÂhak kepolisian. Kini, polisi telah menetapkan Ivan Haz sebagai tersangka.

Pelaku Kekerasan Bisa Siapa Saja
Sebelum kasus Topiah menÂcuat, media telah ramai memÂpublikasikan keluarga pengusaha batu permata di Medan serta kasus tiga janda paruh baya di Tangerang Selatan. Di Depok, seorang PRT tua dianiaya oleh seorang PNS yang juga istri polisi. Di Bogor, pelakunya istri purÂnawirawan jenderal polisi.
Pada Juli 2015, sempat menÂcuat oknum Brimob Polda NTT menganiaya PRT yang masih anak-anak. Seorang polisi yang menyambi sebagai debt collector pun sempat kedapatan mengaÂniaya PRT di Bogor. Lantas, kenÂdati sulit dipercaya, bukan tidak mungkin seorang anggota DPR pun melakukan hal yang sama.
Kasus ini kian menyedot perÂhatian, karena selain anggota DPR, Ivan Haz adalah putra manÂtan wapres yang pernah menjadi ketua umum PPP. Sebagai pemÂbuat UU, secara otomatis anggota DPR adalah kalangan pertama yang diwajibkan taat dan patuh akan peraturan perundang-unÂdangan.
Sebagai putra Hamzah Haz dan politisi parpol Islam, tentu ada nilai-nilai humanis yang haÂrus kukuh dipegang, sehingga menjadi tanda tanya besar, kesÂalahan apa yang dilakukan TopiÂah sehingga harus kabur dengan memanjat pagar dan akhirnya terjatuh. Artinya ada ketakutan mahabesar di sini.
Damai=Tidak Ada Efek Jera
Menariknya, Ivan sempat meÂnyesalkan mengapa urusan ini tidak diselesaikan secara kekeluÂargaan. Mengapa Topiah sampai harus lapor polisi. Pernyataan ini adalah fenomena yang terjadi pada mayoritas kasus dugaan penganiayaan PRT. Data JarinÂgan Nasional Advokasi ( Jala) PRT mencatat terjadi 408 kasus keÂkerasan terhadap PRT, di mana 85 persen di antaranya terhenti proses hukumnya di Kepolisian. Artinya 347 kasus tersebut diseleÂsaikan secara kekeluargaan.
Perdamaian ini tidak terlepas dari latar belakang PRT sebagai kalangan buruh yang paling leÂmah posisinya. Bukan sekadar karena mayoritas berpenÂdidikan rendah, tetapi juga faktor kuantiÂtasnya yang bisa dihitung jari dalam satu rumah tangga. Jika buruh industri bergerak dalam wadah unit kerja, maka perjuangan PRT cenderung individual. Dan perjuangan perÂorangan selalu dihantui oleh rasa takut yang berlebihan.
Walhasil, ketika kekerasan terjadi, PRT lebih cenderung meÂmilih damai ketimbang bertarung demi mendapatkan hak-haknya. Fenomena nrimo akan kian kenÂtal jika dalam penuntutan terseÂbut, PRT tidak didampingi oleh relawan buruh yang bisa memÂbangkitkan kepercayaan dirinya.
Kemudian, tidak ada sanksi atas pelanggaran hak-hak PRT dari sisi majikan. Tidak ada ruÂjukan payung hukumnya karena UU Perlindungan PRT belum ada, sementara UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memasukkan PRT sebagai buruh atau tenaga kerja.
Sebagai buruh, PRT sejatinya memiliki hak-hak normatif, di antaranya standardisasi upah, pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, cuti mingguan, dan tahunan, hak untuk berkomuniÂkasi dan berserikat serta perjanÂjian kerja tertulis, bukan sekadar lisan. Tetapi karena tidak ada ruÂjukan payung hukumnya, polisi sulit menindak pelanggaran hak-hak tersebut.
Dalam kasus tindak keÂkerasan, polisi menggunakan pasal kekerasan dalam rumah tangga. Jadi, tindak kekerasannya yang ditindak, bukan pelanggaÂran terhadap hak-hak PRT-nya.
Fenomena ini menjadi persoÂalan pelik karena kekerasan terÂhadap PRT tidak terjadi secara tiÂba-tiba. Kekerasan terhadap PRT biasanya terjadi setelah hak-hak normatifnya dilanggar dan PRT tidak berdaulat untuk melawan.
Jika sejak pelanggaran hak-hak normatif PRT, para majikan telah diberi sanksi, kekerasan terhadap PRT akan bisa diÂminimalisasi. Sayangnya tidak ada payung hukum yang bisa mengantisipasi kejadian-kejadian ini. Maka, tak heran jika reaksi publik baru meÂledak ketika PRT suÂdah melapor ke polisi dalam kondisi berdarah-daÂrah.
UU Perlindungan PRT
Sejatinya, Kementerian KeÂtenagakerjaan telah mencoba menjawab hal tersebut dengan menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang PerlindunÂgan PRT. Tetapi, peraturan ini tidak bisa menjawab masalah seÂcara komprehensif. Permenaker tersebut lebih berorientasi pada perlindungan PRT atas “kejahatÂan†penyalur. Subjek hukum perÂmenaker bukan majikan, tetapi perusahaan penyalur, sehingga sanksi yang diberikan adalah teÂguran dan pencabutan izin.
Permenaker ini tidak berÂdaya untuk menjawab aksi-aksi kekerasan fisik dan nonfisik yang dilakukan para majikan. ApaÂlagi dalam permenaker tersebut, pemerintah tidak membuka ruÂang bagi PRT ke lembaga penyeleÂsaian perselisihan, seperti pengaÂdilan atau Dinas Ketenagakerjaan.
Satu-satunya cara adalah dengan menerbitkan UU PerÂlindungan PRT. Sejatinya UU PRT merupakan salah satu janji politik yang termaktub dalam visi dan misi Jokowi-Jusuf Kalla. Nyatanya para wakil rakyat yang tergabung dalam Koalisi Indonesia HeÂbat di DPR nyaris tak berbunyi. Bahkan, Menaker Hanif Dhakiri secara resmi tidak merekomenÂdasikan RUU PRT untuk masuk dalam prioritas Program LegisÂlasi Nasional (Prolegnas) 2015. Padahal, draf UU Perlindungan PRT versi masyarakat sudah disÂerahkan kepada DPR sejak 10 taÂhun silam.
Tebar janji dari pimpinan DPR sampai pimpinan Komisi IX yang membidangi kenegarakerÂjaan sering kali terjadi. Tetapi, nasib RUU PRT tidak jelas ujung-pangkalnya. Bahkan, RUU PerÂlindungan PRT ditolak masuk priÂoritas Prolegnas 2015 oleh DPR, yang didalamnya termasuk Ivan Haz, majikan yang dituduh telah menganiaya PRT-nya. Jadi, kepaÂda siapa lagi PRT harus berharap?
sumber: beritasatu.com