KINI bangsa kita sedang dihadapkan dengan tumpukan sampah, limbah dan meningkatnya emisi diudara. Bahan sisa dari elektronik tergolong kepada sampah yang sulit terurai, bahan-bahannya berbahaya bagi manusia dan lingkungan, dan emisinya mencemari udara hingga menyebabkan perubahan iklim.
Oleh: Bahagia, SP., MSc.
Peneliti, dan Dosen tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor
Dari alat-alat elektronÂik itulah bermuncuÂlan banyak masalah. Sayangnya kita yang terlanjur berprinsip konsumtif justru tak menyadari dampak dari barang-barang yang kita pakai. Produksi sampah eleÂktronik tampak meningkat setiap tahunnya hingga meningkat pula jumlah sampahnya setiap tahunÂnya. Hingga akhirnya berdampak terhadap buruknya kualitas lingÂkungan hidup.
Menurut BPS (2012), produksi elektronik dalam negeri untuk 2 (dua) jenis saja yaitu televisi dan komputer, jumlahnya cuÂkup mencengangkan. Indonesia mampu memproduksi televisi sebanyak 12.500.000 kg/tahun. Jumlah televisi impor; 6.687.082 kg/tahun. Dari jumlah tersebut, televisi berpotensi menghasilkan limbah sebanyak 12.491.899.469 kg/tahun. Sementara untuk komputer, Indonesia mampu memproduksi 12.491.899.469 kg/tahun, dengan jumlah impor 35.344.733 kg/tahun. Dan potensi limbah yang dihasilkan mencaÂpai 36.020.493.768 kg/tahun. PaÂdahal komposisi dalam sebuah komputer banyak mengandung silica/glass, palstik, ferrous metal dan lain-lain.
Biasanya alat-alat elektronik yang banyak digunakan manusia diantaranya mesin cuci, lemari es, pendingin ruangan (AC), kiÂpas angin, kulkas, kompor, komÂputer, laptop, printer, telepon, modem, handphone, mesin fax, mesin scan, baterai, TV, radio, pemutar DVD/VCD. Semua alat-alat elektronik yang kita gunakan mengandung bahan beracun dan berbaya yang dapat mencemari lingkungan. Mencemari tanah, udara, dan mencemari air. Zat pencemar yang ada pada alat-alat elektronik tersebut tergolong kepada bahan beracun berbaÂhaya (B3). Bahan beracun yang berbahaya pada alat elektronik diantara logam berat (merkuri, timbal, kromium, kadmium, arÂsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lainnya).
Meningkatnya jumlah bahan sisa elektronik suatu saat tidak terlepas dari minusnya kesadaran manusia, perilaku konsumtif, dan sikap yang serakah serta egoistik serta sikap yang ingin pamer denÂgan barang-barang baru. Manusia harusnya mempunyai pengetaÂhuan yang luas dan kaitannya terhadap perubahan iklim serta pencemaran berat akibat dari baÂhan-bahan berbahaya dalam sisa alat-alat elektronik. Pengetahuan ini akan mendorong manusia untuk mengatur konsumsi akan barang elektroniknya. Bahkan, manusia bisa tidak mengulangi sikapnya yang konsumtif.
Kita membeli hanya untuk gaya saja bukan karena kebutuhan akan elektronik yang mendesak. Misalkan, model Hp baru telah dinyatakan keluar ai perusahaan tertentu maka kita berlom-lomba untuk mencarinya. Disini tampak jika kita masih sedikit serakah, jika alat elektronik yang lama maÂsih dipergunakan mengapa harus membeli yang baru. Terkecuali sudah rusak. Jika sudah rusak haÂrus dipikirkan kemana dibuang dan dijadikan apa sampahnya. Kita harus bijak, saat kita pergi ke tempat mall-mall pusat perbelanÂjaan elektronik dan perbengkelan elektronik maka banyaklah kita temukan sisa dari elektronik yang terpakai.Tumpukan dan jumlanÂya terus semakin banyak dan tak bisa dikurangi.
Manusia juga tergolong egois disini, dirinya yang banyak memÂbeli barang-barang namun harus orang lain terdampak imbasnya. Baik limbahnya yang berbahaya dan emisinya yang menyebabkan perubahan iklim. Ini tampak tiÂdak adil. Manusia yang ekonomi kelas bawah tak dapat beli tetapi harus merasakan perubahan iklim akibat banyaknya energi yang terpakai. Energi yang terÂpakait diproduksi dari mesin yang pakai BBM. Sikap pamer juga ada dalam dirinya manusia. Memang tujuannya tidak benar tetapi tak kita pungkiri sikap paÂmer ini juga ada pada diri manuÂsia baik sedikit atau banyak.
Ingin sekali memamerkan HP barunya kepada orang lain, ingin memamerkan mesin cuci baruÂnya kepada tetangga-tetangganÂya dan lain sebagainya. Hingga akhirnya memaksakan diri atau kredit barang elektronik untuk memenuhi kebutuhan untuk paÂmer. Dampak dari banyaknya sampah elektornik tadi menyeÂbabkan lingkungan tercemar, jika terbuang ke tanah maka meÂnyebabkan tercemarnya tanah dan air. Dari elektronik juga kita menghasilkan emisi yang banyak. Setiap kita mengisi batere elekÂtronik (HP, Laptop dll) menyeÂbabkan banyaknya energi yang dikonsumsi oleh alat elektronik tersebut. Bukan berarti salah meÂmiliki HP dan barang elektronik namun perlu diatur jumlahnya bukan terkesan menjadi serakah akibat banyaknya barang elekÂtronik yang ia miliki.
Bahan bakar untuk mengÂhasilkan energi listrik itu sangat banyak dan banyak terbuang sisanya ke udara menjadi emisi yang kita sebut dengan gas rumah kaca. Tentu perlu kita sadari denÂgan banyaknya kita menggunakÂan energi listrik sudah tentu kita banyak menghasilkan gas emisi seperti CO2 dan gas emisi yang lain. Emisi itu tidak pernah bisa dikurangi, hal ini karena hampir sekitar 93,70 persentase rumah tangga di Indonesia memiliki televisi (2013). Jika dari keluarga memiliki lebih dari satu televisi maka bisa dibayangkan berapa banyak limbah yang akan dihasilÂkan dari perilaku ini dan berapa banyak emisi yang terbuang ke atmosfir.
Perilaku banyaknya emisi itu juga nampak dari perilaku membiarkan televisi menyala tetapi tidak ditonton. Hampir sekitar 46,04 persen rumah tangga membiarkan televisi meÂnyala meskipun tdiak ditonton. Perilaku tersebut relatif hampir sama antara wilayah perkotaan (46,76 persen) dengan pedesaan (45,17) (BPS, 2014). Selain itu, AC juga penyebab terjadinya peÂrubahan Iklim. Disamping meÂlepaskan gas emisi karena dinyÂalakan juga menghasilkan emisi pada saat proses menyala. Hal ini karena energi listriknya mengÂgunakan bahan bakar fosil. PemÂbakaran bahan bakar fosil dari mesin ikut menyebabkan pemaÂnasan global. Untuk itu kita perlu menghemat energi dan menguÂrangi penggunan AC.
Menurut BPS (2014), hasil survei menunjukkan masyaraÂkat perkotaan sedikit lebih banÂyak menyalakan AC pada suhu di bawah 240C (23,39 persen) dibandingkan dengan masyaraÂkat pedesaan (21,11 persen). Yang konsisten juga adalah maÂsyarakat kota lebih sedikit yang menyatakan tidak pernah menyÂalakan AC di bawah suhu 240C (29,06 persen) bila dibandingkan dengan rumah tangga pedesaan (29,84 persen). Rumah tangga perkotaan yang menyatakan kadang-kadang menyalakan AC di bawah 240C (47,55 persen) lebih sedikit dari rumah tangga di pedesaan yang menyatakan hal serupa 49,06 persen). Ada beÂberapa rekomendasi yang harus dilakukan.
Pertama, pemerintah haÂrus memberlakukan denda atau dana lingkungan kemudian dibeÂbankan kepada masyarakat yang memiliki alat elektronik sama halÂnya dengan kasus plastik berbaya kini. Jika ia membeli yang baru maka berlakukan dana bayar saat itu. Hingga akhirnya ada sampah elektronik berbayar. Manusia harus membayarnya pada saat telah membeli alat elektroniknya. Kedua, pemerintah harus memÂberikan penyuluhan bagaimana kaitan penggunaan elektronik terhadap pencemaran, perubahÂan iklim, yang salah satunya yaitu banjir.
Jadi banjir juga akibat banÂyaknya kita menggunakan alat elektronik. Ketiga, orang tua diÂrumah perlu mengatur jadwal menonton anak-anak agar televisi tidak nyala secara terus menerus. Orang tua juga harus memberiÂkan pengertian kepada anak untuk tidak menggunakan elekÂtronik yang berlebihan. Ajarkan kepadanya untuk tidak banyak pamer dan banyak membeli yang tidak penting. Jika hal ini diajarÂkan maka tumbuh perilaku baik dari anak-anak. Terakhir, limbah elektronik yang bisa didaur ulang harus didaur ulang. Dijadikan kerajinan atau dijadikan produk yang sama. (*)