MAKNA ijab kabul harus dimaknai secara luas bagi yang mau menikah. Menikah itu persoalan tanggungjawab seseorang kepala keluarga terhadap anak dan istrinya. Kepala keluargalah yang akan menjadi salah saat kedua-duanya tidak benar dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Ijab kabul artinya disitu bukan sebatas menjalankan hidup dan menangkap rezeki dari tuhan, mendidik anak dengan benar, dan mendidik istri agar tetap dijalan yang benar. Maknanya lebih luas dari itu yaitu menjalankan perintah agama karena menikah itulah termasuk ibadah dengan pahala yang besar.
Oleh: Bahagia, SP. MSc.
S3 IPB. Dosen tetap Prodi Pendidikan Agama Islam.
Universitas Ibn Khaldun Bogor
Sebaliknyapun bisa terÂjadi karena semua yang dilakukan oleh istri dan anak maka kepala keÂluarga juga kelimpahan dosa-dosanya. Betapa beratnya menjadi seorang kepala keluarga saat dirinya memutuskan untuk menikahi seorang perempuan. Justru yang terjadi kini kasus perceraian terus semakin meninÂgkat. Artinya tampak bahwa meÂnikah itu dianggap sebagai jalan membuat manusia terlepas dari nafsu jangka pendek. Atau niat yang tulus pada awalnya namun tak sanggup menghadapi duri-duri rumah tangga sehingga beÂrakhir dengan perceraian. Kini perceraian secara nasional meÂningkat.
Menurut BPS (2015) perÂceraian di tingkat nasional terus meningkat. Tahun (2013) ada sekitar 324247 pasangan berceÂrai dan tahun (2014) ada sekitar 344237 pasnagan bercerai. Jawa timur termasuk daerah dengan perceraian yang terbanyak. TaÂhun 2014 ada sekitar 85484 pasÂangan bercerai dan (2014) sekitar 89406 pasangan bercerai. PerÂbuatan itu tidaklah baik sebab berpisah karena adanya konfik diantara mereka. Faktornya meÂmang banyak. Hal yang sepele seperti kebiasan buruk masa lajang kemudian ia bawa saat suÂdah menikah dapat pemicu utaÂma ricuhnya rumah tangga.
Banyak kebiasaan buruk, seperti bangun siang sementara pasangannya selalu bangun pagi. Kebiasaan itu membuat keluarga jadi berantakan. Istri yang tidak bisa masak bisa menjadi pemicu masalah penting jika tidak dimakÂlumi. Seringnya makan tak berÂsamapun penyebab perceraian sebab tidak terjalin komunikasi antara mereka sehingga akhirnya yang satu sibuk kerjaanya dan yang satunya sibuk kerjaan lain. Bersama dengan itu, guncangan keadaan ekonomi yang serba pas-pasan menambah rumitnya maÂsalah tadi. Inilah hal penting yang harus dianalisis sebelum ijab KaÂbul itu. Makna ijab kabul layak kita pertanyakan dengan melihat kejadian dari data diatas. Makna ijab kabul setidaknya memahami bagaimana sejaharah dari pasanÂgan yang akan kita jadikan sebÂagai teman hidup.
Haruslah nilai-nilai moral melekat padanya sehingga bisa mendidik anak-anak dikemudian hari. Artinya mulai dari lamaÂran sampai perrnikahan harus memenuhi syarat. Pasangan yang menikah setelah berpacaran sekiÂan lama maka dianggap hal yang tidak baik dalam agama. Justru inilah yang kerap kali terlupakan begitu saja. Sebaiknya pacaran ditiadakan dan lebih memilih paÂsangan dengan cara mendekati keluarga sehingga mengerti bagaimana mutu dari pasangan hidup yang akan berpengaruh terhadap kualitas dari anak. TenÂtu akan berbeda anatara manusia yang berpacaran lama dengan manusia yang tidak menghalalÂkan pacaran terlebih dahulu.
Pacaran inipun berdampak buruk bagi perilaku anak kelak. Anak kita yang sudah dewasa tentu tidak kita inginakan jika ia terlibat menjadi anak yang tidak bermoral. Anak yang mendekati pacaran dalam hidupnya maka cenderung menghalalkan yang dilarang dalam agama. Kita sepakat bahwa agama yang harus diberikan kepada anak agar menÂjadi anak yang bermoral. Saat kita tidak mau dekat nilai agama maka cenderung kita tidak sukses mendidik anak-anak kita. Iangat, orang tualah yang akan menjadiÂkan anak itu menjadi orang yang baik, menjadi orang penjiza, penÂcuri, dan perampok. Begitulah karena beratnya tanggungjawab orang tua.
Semuanya bergantung keÂpada orang tua. Jika orang tuanÂyanya menikah dengan mengÂhalalkan pacaran maka bisa terbayang oleh kita bagaimana anak-anaknya akan meniru perilakunya. Padahal kita sepakat manusia yang berpacaran termaÂsuk manusia yang berzina. Suatu saat apa yang dilakukan oleh orang tuanya masa lalu seperti seperti pacaran, dekat dengan teÂman lawan jenis, hilir dan mudik kota maka akan diperaktekkan oleh anak-anaknya. Kini budaya pacaran itu tal lagi tabu. Bukinya banyak anak remaja yang berpaÂcaran hingga akhirnya banyak yang menikah karena hamil duÂluan. Tentu ijab kabul yang benar harus kita pahami dengan baik, tentu saat meminang itulah haÂrusnya kita tahu sejarah dari keÂluarganya, apa yang ia lakukan, dekat dengan siapa ia selama ini, dan bagaimana karirnya kedeÂpannya.
Keluarga dari pasangan haÂruslah menerapkan nilai agama secara baik sehingga anaknyapun akan berperilaku sesuai dengan orang tuanya. Kemudian apa urÂgensinya bergau dengan siapa sebelum menikah. Hal ini erat kaitannya dengan manusia yang bergaul dengan orang baik maka ialah manusia yang baik. Jika Ijab kabul yang kemudian beruÂjung kepada perceraian memÂbuat anak-anak akan sulit dapat hak atas kasih sayang ibu dan ayahnya. Ayah dan ibunya yang terpisah harus memilih kemana anak harus dibiarkan. Apakah haÂrus tinggal di neneknya atau tingÂgal pada salah satu pasangan itu. Jika sewaktu-waktu menikah Ibu dan ayahnya maka bisa dibayangÂkan keadaan psikologi anak yang harus serumah dengan ayah/ibu tirinya.
Jika anaknya perempuan dan yang sana ibunya maka ayah tiri bisa berbahaya baginya. Anak itu akan tumbuh pada kondisi yang tertekan selama ia masih tinggal bersama orang asing yang menÂjadi oarng tua tirinya. Kedua, tidak jarang juga pasangan seÂbelum bercerai berbahasa keras karena telah terjadi pertikaian yang hebat dan bahkan melakuÂkan kekerasan fisik. Akhirnya anak yang tinggal pada kondisi rumah seperti ini menyebabkan anak itu juga berperilaku keras. Atau justru ia menjadi manusia yang tertekan sehingga hidupnya terbebani. Terjadilah gangguan psikologis yang amat berat. Terakir, anak rawan terkena perÂgaulan bebas.
Ia tak bisa menyimpan rahaÂsia yang terjadi pada lingkungan rumahnya. Jika ia remaja berkeÂmungkinan ia akan curhat kepada teman sebayanya. Saat itu kondisi menjadi labil sehingga dipengaÂruhi oleh teman dekat dan bisa dibawa kemana-mana karena broken home. Akhirnya tak bisa dipungkiri bahwa anak itu bisa terlibat pergaulan bebas. KedÂua, istri dan suami harus segera mengoreksi diri saat terjadi perÂtikaian dan usahakan mengalah salah satunya. Keluarga dari istri dan suami juga harus sering menÂjalin silaturahmi sehingga namÂpak perkembangan mereka.
Pihak kementerian agama juga harus memberikan gerakan penyuluhan tentang bahaya perÂceraian dan anak. Termasuk doÂsa-dosanya. Meminimnya sentuÂhan rohani oleh pihak Ustadz dan tokoh agama lain menyebabkan seseorang itu dengan mudah meÂmutuskan untuk bercerai. Tentu butuh perubahan pengajian pada lingkungan agama dan masyaraÂkat. Jangan mengkaji hal-hal raÂdikal tetapi usahakan mengkaji hal-hal yang menyentuh dalam persoalan masyarakat sehingga secara bertahap budaya bercerai bisa diatasi dengan baik. Hal iniÂlah yang sangat minim pada negeri kita. (*)