BERAGAM ikhtiar terus dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, salah satunya dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pemerintah berharap, program KUR akan memper cepat pengem bangan sektor riil dan pemberdayaan Usaha mikro, Kecil, Mene ngah, dan Koperasi (UMKMK); me ningkatkan akses pembiayaan kepada UMKMK; serta menanggulangi kemiskinan dan memperluas lapangan kerja.

Oleh: Ali Mutasowifin
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Melalui program KUR, Pemerintah bersama dengan lembaga keuangan menyediakan skema kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi bagi UMKMK di bidang usaha yang produktif dan feasible namun be­lum bankable agar dapat mem­peroleh akses pendanaan yang dibutuhkan untuk memperluas dan mengembangkan usahanya.

Apabila selama ini KUR hanya disalurkan oleh bank umum dan bank pembangunan daerah, be­berapa waktu lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewacanakan peluang bank perkreditan rakyat (BPR) untuk turut serta menyal­urkan KUR melalui skema chan­neling. Penambahan BPR sebagai bank penyalur KUR diharapkan dapat meningkatkan penyaluran KUR yang tahun ini ditargetkan sebesar Rp 103,4 triliun, menin­gkat hampir lima kali lipat dari realisasi tahun lalu yang hanya Rp 21,4 triliun.

Data yang ada menunjukkan keberadaan BPR tidak dapat di­remehkan. Pada Desember 2015, misalnya, jumlah BPR mencapai 1.637 buah, dengan jumlah kan­tor 5.100 buah dan total aktiva mencapai Rp 101.713 miliar.

Peran BPR juga terlihat dalam intermediasi keuangan, khusus­nya kepada golongan ekonomi lemah. Hingga akhir tahun lalu saja, jumlah kredit konvensional yang disalurkan mencapai Rp 74.807 miliar, sedangkan dana pihak ketiga yang dikumpulkan berjumlah Rp 67.266 miliar.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Berlainan dengan Bank Umum, BPR lebih fokus me­layani kebutuhan masyarakat kecil, seperti petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan yang belum dijangkau oleh bank umum serta sebagai upaya mewujudkan pemerataan lay­anan perbankan, kesempatan berusaha dan pendapatan.

Kesempatan turut serta me­nyalurkan KUR juga memung­kinkan BPR bersaing dengan bank umum yang selama ini mampu menawarkan suku bun­ga kredit lebih rendah. Apalagi, BPR diyakini memiliki kompe­tensi dan pengetahuan yang baik dalam menyalurkan kredit kepa­da kelompok sasaran penerima KUR. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu diper­hatikan dalam menentukan BPR yang akan diberi kesempatan menyalurkan KUR.

Pertama, calon penyalur KUR haruslah BPR berkategori “sehat”. Dengan demikian, BPR yang ber­kategori “cukup sehat”, “kurang sehat”, apalagi “tidak sehat” se­baiknya tidak diperhitungkan. Tingkat kesehatan BPR biasanya ditentukan berdasarkan penilaian atas aspek-aspek permodalan, kualitas aktiva produktif, manaje­men, likuiditas, dan rentabilitas.

Kedua, BPR calon penyalur KUR haruslah berpengalaman menyalurkan kredit produktif. Saat melakukan penelitian ten­tang BPR di beberapa provinsi di Indonesia, penulis menemukan banyak BPR mencatatkan kiner­ja cemerlang dengan CAR bagus, LDR tinggi, pertumbuhan kredit dan DPK tinggi, serta BOPO dan NPL rendah. Namun, semua itu ternyata diperoleh dari kucuran kredit yang sebagian besar atau hampir seluruhnya merupakan kredit konsumtif.

Kredit konsumtif biasanya disalurkan BPR kepada para pegawai, baik yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta, yang pengembaliannya diangsur dengan cara potong gaji setiap bulan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pen­gurus BPR yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk kredit konsumtif, strategi ini dipilih karena pertimbangan risiko yang dinilai lebih rendah serta return yang lebih tinggi.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Akibatnya, penyaluran kredit ke usaha-usaha produktif yang dinilai lebih berisiko pun dihindari. Padahal, penyal­uran kredit kepada usaha-usaha produktif diharapkan mampu menopang kehidupan masyara­kat di sekeliling BPR dan meng­hasilkan multiplier effect yang lebih besar dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.

Karena karakteristik kredit produktif sangat berlainan den­gan kredit konsumtif, tidaklah mudah bagi sebuah BPR yang terbiasa hanya menyalurkan kredit konsumtif untuk para pegawai kemudian banting stir menyalurkan kredit produktif untuk para pengusaha.

Ketiga, BPR yang akan ditun­juk menyalurkan KUR haruslah memiliki kepatuhan yang baik terhadap peraturan yang ber­laku. Hal ini perlu menjadi perha­tian, karena dibandingkan bank umum, kepatuhan BPR dalam menjalankan aturan cenderung lebih rendah. Misalnya, tingkat kepatuhan BPR untuk melak­sanakan kewajiban mengumum­kan LPS rate dan maksimum ni­lai simpanan yang dijamin LPS hanya sekitar 30 persen, sedang­kan kepatuhan serupa pada Bank Umum mencapai 80 persen.

Kondisi-kondisi di atas meru­pakan contoh yang perlu diper­hatikan oleh OJK dalam mem­pertimbangkan BPR mana yang akan diberi kesempatan dengan skema channeling untuk turut serta menyalurkan KUR. Kare­na, pemilihan BPR yang tepat akan meningkatkan probabilitas keberhasilan dan mengurangi risiko kegagalan dalam menyal­urkan KUR. (*)

============================================================
============================================================
============================================================