SECARA teoritis istri yang sudah bercerai berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), berarti sudah tidak ada lagi terikat perkawinan dengan mantan suami. Atau dengan kata lain sudah kembali membujang.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Sekalipun suami mengajukan perÂÂmohoan Peninjaun Kembali (PK), naÂÂmun permohonan PK tersebut tidak dapat mengÂÂhentikan putusan pengadiÂÂlan. Hal ini telah tegas diatur pada Pasal 66 ayat (2) Undang – Undang (UU) No.14 Tahun 1985 (yang telah diubah denÂÂgan UU No.3 Tahun 2009) Tentang Mahkamah Agung, bahwa permohonan PK tidak menangguhkan atau menghÂÂentikan putusan pengadilan.
Oleh sebab itu tidak ada halangan bagi seorang wanita bila ingin melangsungkan pernikahan kembali dengan pasangan yang telah menjadi idaman hati. Namun demikiÂÂan, patut pula dicermati adÂÂanya dilema hukum manakala putusan PK tersebut ternyata dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Terlebih lagi bila perÂÂnikahan yang berikutnya ternyata dikarunia anak, hal ini tentunya akan menimbulÂÂkan persoalan hukum yang cukup pelik. KonsekuensinÂÂya, bila PK dikabulkan berarti seorang harus kembali kepaÂÂda suami lama, padahal saat ini sudah terikat perkawinan dengan suami yang baru.
Oleh sebab itu, keingiÂÂnan wanita untuk menikah kembali dengan pria lain seÂÂbaiknya ditangguhkan dulu, menunggu terbitnya putusan PK. Atau bila punya prediksi yang teramat jitu bahwa puÂÂtusan PK itu pasti menolak permohonan suami, silakan melaksanakan niat untuk menikah kembali. (*)
Bagi Halaman