“DAN di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu†(QS. 41 : 39).
Oleh: AHMAD SASTRA
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor
Sudah beberapa bulan, Indonesia telah dan seÂdang memasuki musim hujan. Berbagai benÂcana ekologis dan soÂsiologis mengiringi musim hujan tahun ini. Berbagai prediksi sainÂtifik tentang masa kemarau yang panjang dan prediksi akan turunÂnya hujan adalah ikhtiar manusia dalam memahami alam dan geÂjalanya. Manusia memang diberiÂkan kelebihan akal untuk berfikir tentang manusia, alam semesta dan kehidupan. Alam semesta dengan seluruh fenomenanya menjadi bagian dari keimanan seperti kemarau dan hujan. SeÂbab keduanya tidak bisa diusaÂhakan oleh manusia sebagaimana Allah mengaturnya.
Karena itu jika kemarau diÂrasakan terlalu panjang hingga kekeringan, maka kaum muslimin dianjurkan melaksanakan sholat istisqa meminta hujan kepada AlÂlah Sang Pencipta kemarau dan hujan. Sebab fenomena kemarau dan hujan adalah dua tanda-tanda kekuasaan Allah untuk menjadi reÂnungan bagi manusia. Sebelum sholat istisqa dianjurkan untuk berpuasa, bersedekah, dan berÂtobat. Saat pelaksanaan istisqa dianjurkan seluruh warga keluar bersama anak-anak dan hewan-hewan ternak dengan memakai pakaian yang sederhana dengan terus memanjatkan doa yang khuÂsuk dan merendahkan hati.
Dalam perspektif teologis, musim kemarau maupun hujan adalah bagian dari peringatan dan teguran dari Allah bagi maÂnusia. Dari Aisyah berkata apaÂbila Rasululloh melihat mendung atau angin (kencang) terlihat (peÂrubahan) di wajahnya, lalu aku bertanya: ‘Wahai Rasululloh aku lihat manusia bergembira ketika melihat mendung karena berÂharap akan turun hujan, tetapi aku lihat engkau ketika melihatÂnya (mendung) aku mengetahui dari wajahmu engkau tidak meÂnyukainya.’ Lalu Rasululloh berÂsabda: ‘Wahai Aisyah tidak ada yang memberi keamanan akan datangnya adzab (kecuali Alloh) yang telah mengadzab suatu kaum dengan angin (kencang), padahal kaum tersebut meliÂhat adzab itu lalu mereka menÂgatakan: ‘Ini hanya mendung yang akan menurunkan hujan kepada kami’ (padahal itu adalah adzab Allah).[ QS. Al Ahqaf : 24]†(HR. Bukhari dan Muslim).
Peringatan dan teguran Allah kepada manusia berkaitan erat dengan perilaku manusia dalam mensikapi kehidupan, alam dan sesama manusia. Terhadap alam alam dan lingkungan, manusia terbukti telah melakukan berbÂagai kerusakan. Manusia telah melakukan berbagai eksplorasi bumi dan hutan hingga meruÂsak keseimbangan alam yang telah Allah atur keseimbanganya secara sistemik dan sistematis. Eksplorasi sumber daya alam beÂsar-besaran dan pembakaran huÂtan dengan tujuan materialisme segelintir manusia kapitalis denÂgan mengabaikan aspek teologis dan kesejahteraan rakyat adalah bentuk kezaliman kemanusiaan.
Allah telah mengingatkan manusia untuk menjaga keseimÂbangan alam yang telah Allah tata sedemikian rupa bagi kebaikan manusia seluruhnya. Dia mencipÂtakan manusia. Mengajarnya panÂdai berbicara.Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan poÂhon-pohonan Kedua-duanya tunÂduk kepada nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meÂletakkan neraca (keadilan). SupaÂya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan TegakÂkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS Ar Rahmaan : 3-9)
Islam memandang lingkungan sebagai anugerah Allah yang mesÂti dijaga, dipelihara, dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Islam mengharamkan sumber daya alam diprivatisasi dan dieksploiÂtasi secara berlebihan dengan tuÂjuan pragmatisme dan materialÂisme. Menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing yang kapitalistik adalah seÂbuah bentuk kemaksiatan dan kezaliman terhadap rakyat. Sebab sumber daya alam adalah milik umum untuk kesejahteraan seÂluruh rakyat. Sumber daya alam adalah hak rakyat sepenuhnya. Pola fikir sekuler dan materialis yang abai terhadap aspek teologis dalam mengelola lingkungan berÂdampak kepada kerusakan lingÂkungan dan kemurkaan Tuhan. “ Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka SesungguhÂnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengÂhimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan butaâ€. (QS Thahaa : 124). “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakÂwalah kepada Allah. SesungguhÂnya Allah Amat keras hukumanÂnya†(QS Al Hasyr : 7).
Dalam pandangan Islam, fenomena ekologis erat kaitanÂnya dengan perspektif teologis. Maknanya bahwa segala musibah yang menimpa manusia adalah kehendak Allah karena akibat ulah manusia yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip nilai yang dikehendakiNya, baik berkaitan dengan pelanggaran sunah keÂhidupan maupun sunah lingkunÂgan. Hal ini ditegaskan Allah dalam al Qur’an, “ Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah diseÂbabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).â€(QS Asy Syura : 30). “ Telah nampak kerusakan (fasad) di darat dan di laut diseÂbabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)â€. (QS Ar Ruum : 41).
Para mufassir memaknai kerusakan atau fasad bermacam-macam arti. Diantaranya , segala sesuatu yang tidak tergategori sebagai kebaikan, kekurangan hujan dan sedikitnya tanaman, kelaparan dan banyaknya keÂmudaratan yang terjadi. Hal ini diakibatkan oleh ulah dan perÂbuatan manusia yang melanggar hukum dan aturan yang telah Allah tetapkan. Berbagai pelangÂgaran dan penyimpangan manuÂsia dari hukum Allah dinamakan kemaksiatan. Teologi lingkungan dengan demikian adalah kesÂadaran hubungan positif antara manusia, lingkungan dan Tuhan melalui kesyukuran ekologis dan menjauhi kekufuran ekologis.
Menyikapi Hujan
Sebagai agama sempurna, Islam adalah petunjuk bagi seluÂruh sikap dan perilaku manusia dalam dalam seluruh fakta keÂhidupan. Begitupun Islam juga memberikan anjuran sikap manuÂsia menghadapi musim kemarau dan hujan. Pada prinsipnya, Islam melarang manusia mengeluh atas seluruh fenomena kekuasaan AlÂlah di alam semesta ini, apalagi mengkufurinya. Selalu ada hikÂmah dibalik setiap peristiwa yang diciptakan langsung oleh Allah seperti bencana alam, kemarau, hujan, gunung meletus, halilintar dan fenomena alam lainnya.
Di daerah Bogor beberapa hari terakhir sudah mulai turun hujan sangat lebat. Di berbagai jaÂlan-jalan utama mulai terlihat air menggenang. Pohon-pohon muÂlai banyak yang tumbang karena angin yang cukup kencang menyÂertai hujan. Meski daerah-daerah lain masih mengering dan bahÂkan sumur-sumur tak berair, naÂmun nampaknya musim hujan akan segera menyapa negeri ini. Karena itu, secara teologis, mesti tetap dalam sikap positif menghaÂdapi seluruh perubahan alam seÂbagai tanda kekuasaan Allah ini.
Perbanyak doa. Inilah salah satu yang dianjurkan Rasulullah ketika menghadapi musim hujan. Musim hujan adalah salah satu fenomena alam ciptaan Allah yang di dalamnya doa-doa dikaÂbulkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ carilah doa yang mustajab pada tiga keadaan: [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.†(HR Baihaqi’). Doa Rasulullah saat hujan turun, Ya Allah, turunkanÂlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, tuÂrukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, peÂrut lembah dan tempat tumbuhÂnya pepohonan (HR. Bukhari).
Mengambil manfaat air hujan. Inilah sikap kedua yang dilakukan oleh Rasulullah saat terjadi hujan. Air hujan adalah ciptaan Allah yang tentunya meÂmiliki manfaat dan kebaikan bagi manusia yang selalu mensyukuÂrinya. Rasulullah sendiri telah memberikan teladan bagaimana mensyukuri air hujan. Anas berÂkata, “Kami bersama Rasulullah SAW pernah kehujanan. Lalu Rasulullah SAW menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, ‘Ya Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?’ Kemudian Rasulullah SAW bersabda : KareÂna dia baru saja Allah ciptakan.†(HR. Muslim no. 2120).
Berwudhu dengan air hujan. Memanfaatkan air hujan untuk berwudhu juga merupakan sikap kesyukuran atas nikmat Allah. Hal ini telah dicontohkan oleh RaÂsulullah. Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir, Nabi SAW berkata : Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.†KeÂmudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini. (Zaadul Ma’ad).
Dengan adanya musim kemaÂrau dan hujan, diharapkan maÂsyarakat dan pemimpin negeri ini mampu memahami bagaimana harus bersikap, mengelola dan menata secara benar terhadap air, udara, tanah, hutan, barang tamÂbang, sampah, sanitasi, kebersihan lingkungan, pupuk, pohon, laut, sungai, danau, pabrik, perumaÂhan, gunung, lembah, dan seluruh aspek material yang berhubungan dengan lingkungan hidup manusia. Tentu sikap yang dimaksud selain berdasarkan sains rasional juga berdasarkan wahyu Allah SWT.
Dengan seluruh fenomen alam ciptaan Allah, semoga masyarakat tersadarkan akan perannya sebÂagai seorang khalifah dalam menÂgelola alam dan lingkungan sebÂagai bagian dari pengabdiannya kepada sang Pencipta alam raya. Keimanan dan ketaqwaan dalam perspektif ekologis adalah maÂsyarakat dan pemerintah sadar lingkungan dengan menjaga dan memelihara lingkungan sebagai amanah Allah dengan harapan mendatangkan “ keberkahan lingÂkungan†dari sang Penguasa lingÂkungan. “Jikalau Sekiranya penÂduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan meÂlimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi merÂeka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka diseÂbabkan perbuatannya.†(Qs Al A’raf : 96).
Singkatnya, saatnya umat Islam dan segenap masyarakat dunia mensikapi fenomena kosÂmologis dengan sudut pandang teologis dan saintifik, sehingga memunculkan kesyukuran dan pengelolaan alam dengan baik dan seimbang. Bukan malah mengkufuri dan melakukan berÂbagai bentuk kezaliman kemanuÂsiaan. Sebab keberkahan alam seÂmesta akan memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia, seluÂruh binatang dan tanam-tanaman di muka bumi ini. (*)