JAKARTA, TODAY—Rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan kembali tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan bisa ditermina industri rokok dengan satu syarat. Penaikan tarif CHT maksimal hanya 6 persen, sehingga pertumbuhan industri dan kelangsungan hidup para pekerja tetap terjaga.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran menilai, pemerÂintah memang tidak pernah berÂhenti menaikkan CHT setiap kali tahun anggaran berganti. Ketika tarif cukai baru berlaku mulai 1 Januari 2017, maka proses peÂnyediaan pita cukai berlangsung selama tiga hingga enam bulan sebelumnya.
“Sebelum tiga enam bulan kami sudah ada perundingan-peÂrundingan. Namun sekarang situÂasinya pelik, karena tahun lalu CHT sudah naik 12-16 persen,†ujar IsÂmanu, Rabu (18/5/2016).
Kenaikan cukai rokok tahun lalu membuat berkurangnya pangÂsa pasar industri rokok nasional. Terlebih lagi, beban industri seÂmakin berat karena terbitnya PerÂaturan Menteri Keuangan (PMK) yang mewajibkan pembayar cukai di muka, yaitu pembayaran cukai Januari dan Februari tahun ini harus dilakukan pada Desember 2015.
“Saya berharap pemerintah memaklumi kondisi industri saat ini. Dengan kenaikan cukai rokok tahun ini sebesar 11 persen lebih, kondisi ini berat bagi industri,†ujar Ismanu.
Ia mewanti-wanti, jika pemerÂintah tetap ngotot mengerek tarif CHT di atas inflasi dan pertumbuÂhan ekonomi, maka dikhawatirkan akan menjadi bumerang sendiri bagi pemerintah yakni merosotÂnya kinerja perusahaan-perusaÂhaan rokok yang berefek pada melesetnya target pemerintah sendiri. “Pemerintah jangan coba-coba berpikir dengan harga rokok tinggi, produksi industri akan tuÂrun. Itu keliru,†tegasnya.
Pasalnya, industri rokok kretek di Indonesia sangat berbeda. Di sini sangat mudah membuat roÂkok. Misalkan satu keluarga bisa membuat rokok seratusan batang sehari, ini juga akan menjadi maÂsalah karena dari sisi cukai tidak terkontrol. “Kretek itu khas karena bahan baku mudah didapat, juga banyak tenaga kerja belum bekerÂja secara formal,†ujarnya.
Hal lain, jika dihitung secara persentasi, khusus untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM), komponen yang dibayarkan ke negara unÂtuk harga per batang rokok, dihiÂtung cukai plus pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) hampir mencapai 70 persen. “Itulah jumÂlah yang dibayarkan ke negara,†ucapnya.
Maksimal 6 Persen
Kalau pun pemerintah tetap menaikkan tarif CHT, Ismanu berÂharap angkanya hanya naik di kisaÂran 5-6 persen. Dengan kenaikan sebesar itu, pemerintah juga bisa menghindari potential lost lantaÂran merebaknya rokok ilegal alias rokok tanpa cukai. Selain itu, buÂruh pabrik rokok bisa terhindar dari bencana pemutusan hubunÂgan kerja.
Sementara Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri HarÂtati meminta pemerintah juga lebÂih fokus untuk melakukan ekstenÂsifikasi cukai, tidak terus-menerus bergantung terhadap cukai rokok.
Pemerintah pun harus mengÂharmonikan agar industri tidak dirugikan dengan maraknya kamÂpanye negatif tembakau. “Jika semua konsisten tidak ada saling gesek. Sekarang kalau kemudian misal ada anak kecil merokok ya bukan industri yang salah. Itu kegÂagalan pemerintah dalam menÂjaga distribusi rokok,†tegas Enny.
Ia mewanti-wanti, penggiat anti tembakau tidak bisa mengaÂtasnamakan kepentingan sendiri, kemudian menafikan kepentingan lain. Industri tembakau tidak dilaÂrang oleh negara, justru dikenakan cukai sebagai instrumen pengenÂdalian. “Tidak bisa menonjol asÂpek kesehatan saja,†tandas Enny.
Pemerintah juga harus meliÂhat kenyataan bahwa saat ini penÂgangguran sangat tinggi sehingga memerlukan kebijakan rokok yang lebih akomodatif dengan dibarenÂgi mengedapankan penegakan huÂkum. Tidak bisa, sekadar mengiÂkuti saran satu pihak saja. Industri harus diberi ruang tumbuh, teruÂtama sigaret kretek tangan yang notabene menyerap banyak tenaÂga kerja.
(Yuska Apitya/dtk)
Bagi Halaman