Untitled-1PASTILAH ada yang bertanya- tanya, apa kaitannya antara pelayanan publik dan nasionalisme? Terkesan topik yang terpisah dan tidak ada keterkaitan sama sekali.

Oleh: Prof Amzulian Rifai PHD
Ketua Ombudsman RI

Tidak salah juga yang berpikiran demikian. Namun saya yakin setelah membaca artikel ini agak jelas juga kaitan kedua hal ini. Secara sederhana nasionalisme Indone­sia dimaksudkan adanya kecin­taan yang mendalam terhadap Indonesia. Bahkan ada yang ter­kadang secara ”membabi buta” menyatakan apa pun yang terjadi dengan negaranya, dia tetap cin­ta menggunakan kaca mata kuda. Ungkapan right or wrong is my country melekat dalam sanubari.

Ketika belajar dan bekerja di Australia sekitar tujuh tahun, agak terasa juga hal-hal yang ter­kait dengan nasionalisme ini. Se­belum 1998 (era Reformasi) kami dihadapkan dengan berbagai gerakan atas nama pelanggaran HAM di Timor Timur, Aceh, dan Irian Jaya (kini Papua). Terasa benar sentilan-sentilan nasional­isme karena di masa itu berbagai rupa demonstrasi anti-Indonesia cukup meluas.

Berbagai elemen masyarakat di Kota Melbourne bersatu untuk satu bahasa membela apa pun yang menjadi kebijakan Indone­sia. Pelajar, mahasiswa, kelom­pok pengajian, kelompok kedae­rahan maju tak gentar membela Indonesia Raya. Jika dikaji lebih mendalam, sesungguhnya saya juga bertanya- tanya, apakah nasionalisme yang tinggi ketika itu karena ”kami” tidak sempat berpikir kritis terhadap kelakuan pemerintahan pada masa itu, hanyut dengan berbagai doktrin negara yang berakibat nasional­isme itu terpatri tanpa ada pe­mikiran kritis?

BACA JUGA :  BERGERAK BERSAMA, MELANJUTKAN MERDEKA BELAJAR

Pascareformasi masyarakat Indonesia lebih kritis. Nasional­isme itu tidak lagi berarti pasrah, menerima saja apa yang dilaku­kan negara. Tidak juga nrimo dengan berbagai perilaku korup kaum birokrat. Mulai dipertan­yakan prestasi pemerintah atas pajak yang diterima. Adakah pen­ingkatan fasilitas publik setelah rakyat dikejar-kejar membayar pajak? Ada banyak pertanyaan kritis lainnya. Itu sebabnya, surat Kementerian PAN-RB yang ditan­datangani sekjennya mengenai permintaan fasilitas bagi kolega menteri yang akan berlibur di Sydney menghebohkan.

Begitu juga ketika salah seorang anggota DPR meminta fasilitas saat berlibur dengan ke­luarganya di Paris menuai protes publik. Tentu duduk perkara ses­ungguhnya perlu didalami, tetapi heboh itu sudah telanjur ada. Fasilitas dan pelayanan publik di Indonesia memang tergolong ”payah dan parah”. Memang ada peningkatan secara perlahan, tetapi dalam banyak hal ked­uanya masih menyesakkan dada apabila dibandingkan dengan negara-negara yang sepatutnya sudah menjadi bahan perbandingan bagi Indonesia.

Tidak kalah untuk diperbin­cangkan adalah pelayanan publik di wilayah-wilayah terluar Indone­sia. Populer juga dengan sebutan wilayah kita yang berbatasan lang­sung dengan negara-negara tet­angga. Ada beberapa ciri kebijakan negara di masa lalu mengenai wilayah perbatasan. Ciri pertama, kebijakan belum berpihak pada ka­wasan tertinggal. Kedua, masih ad­anya paradigma ”kawasan perba­tasan sebagai halaman belakang” wilayah yang terabaikan.

Sarana dan prasarana yang minim diiringi dengan tingginya angka kemiskinan. Akibatnya, ad­anya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga. Pelay­anan publik dan fasilitas publik adalah hak rakyat dan karena itu pula rakyat sepakat menyerah­kan kedaulatan mereka kepada negara. Negara kemudian diper­intah oleh para birokrat yang seharusnya amanah dengan ja­batannya. Di mana-mana, rakyat memimpikan kesejahteraan.

BACA JUGA :  REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: REPRESI SISTEM PENDIDKAN DALAM BENTUK KOMERSIALISASI

Pelayanan publik oleh neg­ara sebagai awal mencapai kes­ejahteraan itu. Namun nasion­alisme mereka, terutama rakyat yang tinggal di wilayah perba­tasan, diuji ketika dihadapkan pada pelayanan publik yang disajikan negara yang berbatasan langsung. Logikanya, sebagian orang tidak sulit menentukan pilihan ketika dihadapkan antara tetap mempertahankan nasion­alisme sebagai orang Indonesia dengan berbagai kekurangannya atau mengubah paspor dengan pelayanan publik yang luar biasa.

Jika ingat beberapa tahun lalu ada berita tentang Askar Watani­ah, mereka adalah ratusan orang Indonesia yang dilatih baris-ber­baris, strategi perang, bersenjata, dan dijadikan Malaysia sebagai tentara bayaran untuk menjaga perbatasan dengan Indonesia di Kalimantan. Tidak hanya digaji, tetapi mereka juga diakui sebagai warga negara Malaysia. Pastilah terjadi ”peperangan nurani” an­tara nasionalisme dengan kebu­tuhan hidup.

Tidak semua warga kita di perbatasan yang dengan mudah menggadaikan nasionalismenya. Namun ketika kebebasan berpikir itu dimiliki, pertanyaan- pertan­yaan kritis mengemuka. Di antara mereka pastilah ada yang minta ketegasan, apalah artinya nasi­onalisme ketika air bersih, listrik, pendidikan, dan pekerjaan tidak didapatkan. Padahal berbagai kebutuhan dasar dan pelayanan publik paripurna itu bisa mer­eka dapatkan dengan mudah dari negara tetangga. Manusiawikah ketika mereka meninggalkan na­sionalisme sekadar untuk bertah­an hidup sebagai manusia?

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================