Untitled-1BOGOR, TODAY—Nilai tukar rupiah terus me­lemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Pagi kemarin, USD mendekati level Rp 13.700. Mata uang Paman Sam tersebut menembus level tertingginya pada pekan ini di angka Rp 13.680.

Me n t e r i Keuan­g a n B a m ­b a n g Bro d j o ­n e g o r o , m e n ­g a t a k a n , penguat an The Green­back terjadi karena spekulasi naiknya bunga The Federal Reserve (The Fed), yaitu Fed Fund Rate. “Ya ini gejolak karena (pelaku pasar) merasa ada kemungkinan kenaikan Fed Rate saja,” ujar Bambang di sela-sela 40th IPA Convex di JCC, Senayan, Jakarta Se­latan, Rabu (25/5/2016).

Hal tersebut juga sebelumnya di­amini oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo. Menurut Agus, faktor eksternal yang memberi banyak pengaruh ke nilai tukar USD.

“Kondisi nilai tukar (rupiah) yang relatif lebih lemah itu sepenuhnya karena statement yang kuat dari peja­bat-pejabat di The Fed yang meyakini bahwa di Juni dan Juli akan dinaikkan Fed Fund Rate, statement yang cend­erung menaikkan bunga itu berdampak ke stabilitas keuangan dunia karena banyak yang kemudian meresponsnya,” jelas Agus di Kantor Pusat BI.

Agus menekankan, dari sisi ekster­nal, ada pengaruh dari The Fed yang berencana menaikkan suku bunga acuan. Kemudian juga pengaruh dari Inggris yang besar kemungkinan akan tetap berada di Uni Eropa. Hal ini me­nimbulkan kepastian bagi kalangan investor pasar keuangan. “Berita baik dari Inggris yang kelihatannya cender­ung untuk tetap di UE makin tinggi dan menimbulkan kepastian dan lagi-lagi masyarakat bereaksi. Jadi hal-hal sep­erti itu banyak terpengaruh,” paparnya.

BACA JUGA :  Daftar Pebulu Tangkis Indonesia di Thailand Open 2024

Di samping itu, juga ada perkem­bangan dari harga minyak. Ada kekha­watiran harga minyak kembali anjlok setelah Iran memutuskan untuk tidak mengurangi produksi. “Iran mengam­bil posisi tidak mau mengurangi jum­lah produksi. Dan juga berpengaruh kondisi ini berdampak ke negara dunia termasuk ke Indonesia,” terang Agus.

Dari dalam negeri, pengaruh ter­besar datang dari tingginya kebutuhan valuta asing oleh berbagai perusahaan untuk pembayaran dividen. “Banyak korporasi yang memerlukan valas un­tuk melakukan pembayaran dividen ke luar negeri atau pun kewajiban lain. Jadi secara umum itu adalah bersifat se­mentara dan BI akan terus ada di pasar untuk terus menjaga,” terang Agus.

Pekan lalu, The Fed memang mengejutkan investor dengan ren­cana kenaikan suku bunga acuan pada Juni. Ini membuat bursa saham utama dunia naik, dipimpin oleh saham sek­tor keuangan. Demikian juga dengan saham teknologi yang mendapatkan keuntungan dari kenaikan suku bunga acuan ini. Kemudian, nilai tukar euro juga turun 0,7% ke USD 1,1136, atau tingkat terendah sejak 16 Maret.

BACA JUGA :  Kendaraan Dinas Terlibat Kecelakaan Beruntun di Ciampea Bogor, Hampir Adu Banteng

“Ekspektasi kenaikan suku bunga oleh The Fed ini jadi penggerak utama dolar AS,” kata Analis, Richard Franu­lovich, dilansir dari Reuters, Rabu (25/5/2016).

Bursa saham Wall Street juga ditu­tup menguat 1% lebih pada perdagan­gan Selasa. Meski kenaikan suku bun­ga acuan ini bisa berpengaruh negatif bagi pasar saham, namun para pelaku pasar saham melihat adanya prospek perbaikan kondisi ekonomi AS.

Sementara harga minyak naik, karena investor mengantisipasi turun­nya stok minyak dari AS. Harga minyak jenis Brent naik 0,5% ke USD 48,61/barel. Harga minyak West Texas Inter­mediate (WTI) naik 1,1% ke USD 48,62/barel. Penguatan dolar ini membuat harga emas turun ke tingkat terenda­hnya dalam 4 pekan terakhir. Harga spot emas turun 1,5% ke USD 1.229,25 per ounce.

(Yuska Apitya/dtk)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================