KATA kebiri mendadak populer menyusul respons yang luar biasa dari publik pascakematian YN. Anak perempuan berusia 14tahun itu menjadi korban keÂbiadaban 14 laki-laki yang memperkosa, lalu memÂbunuhnya. Tujuh dari 14 pelaku yang masih anak-anak dari Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, telah divonis 10 tahun penjara. Sedangkan pelaku yang sudah dewasa masih diproses hukum.
Sebagian kalangan menilai hukuman itu terÂgolong ringan, karena sesungguhnya hakim bisa menjatuhkan vonis maksimal, yakni 15 tahun penÂjara, sesuai amanat UU 35/2014 tentang PerubaÂhan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Mereka ingin hukuman bagi pelaku pemerkosaan anak-anak diperberat, karena telah melakukan perÂbuatan keji yang menodai masa depan korban. Bila korban pemerkosaan meninggal dunia, tentu hukuÂmannya harus lebih berat lagi.
Kegeraman publik terhadap pelaku pemerkosaan langsung mendapat respons pemerintah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan keÂkerasan seksual, terutama terhadap anak-anak, haÂrus dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Jokowi memerintahkan Kepolisian, Kejaksaan, dan kemenÂterian terkait, menyusun regulasi yang lebih menÂimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak, termasuk pemerkosaan, hingga korban meningÂgal dunia, seperti diatur dalam UU 35/2014, yakni maksimal 15 tahun penjara, dinilai masih ringan. Oleh karena ini, pemerintah ingin merevisinya menjadi maksimal 20 tahun penjara. Mengingat proses revisi undang-undang di DPR membutuhkan waktu berbulan-bulan, sementara pemerintah inÂgin segera memberlakukan aturan tersebut, penerÂbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi pilihan yang masuk akal.
Selain memperberat hukuman menjadi maksiÂmal 20 tahun penjara dalam hukuman pokok, pemerintah juga menggagas hukuman tambahan, yakni kebiri dan penanaman chip pada pelaku keÂjahatan terhadap anak-anak agar bisa terus dipanÂtau aparat Kepolisian. Hukuman kebiri inilah yang belakangan mengundang tentangan dari sebagian kelompok masyarakat.
Dari beberapa metode kebiri yang ada, pemerÂintah cenderung memilih hukuman kebiri dengan cara menyuntikkan bahan kimia untuk mematikan fungsi organ penghasil sperma. Metode yang diseÂbut kastrasi kimiawi ini juga akan menurunkan level testosteron atau hormon laki-laki yang menimbulÂkan hasrat seksual. Hukuman kebiri dengan metode ini sudah diterapkan di Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Korea Selatan.
Para tokoh agama dan moral dari berbagai agaÂma umumnya menentang hukuman kebiri. Mereka menilai kebiri merupakan sebuah penolakan terhaÂdap kodrat manusia dan merampas prerogatif TuÂhan YME. Dari beberapa referensi diketahui belum pernah ada pemerintahan di negara yang menerapÂkan hukum Islam memberlakukan sanksi kebiri.
Di internal pemerintahan pun belum satu kata menyangkut hukuman kebiri. Menteri PemberdayÂaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Yembise, mengatakan, sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan hukuman kebiri dapat menurunkan kasus kejahatan seksual pada anak.
Demikian juga Menteri Kesehatan, Nila Djuwita Moeloek mengatakan sanksi kebiri akan menyulitÂkan dokter sebagai eksekutor, sebab dari sudut pandang etika kedokteran, dokter wajib mengoÂbati dan mengembalikan fungsi organ tubuh bukan malah merusaknya.
Oleh karena itu, kita mengimbau pemerintah untuk mengkaji lebih jauh lagi rencana penerapan hukuman kebiri. Suara kelompok masyarakat yang menentang hukuman kebiri patut didengar. Kita pun sependapat bahwa hukuman kebiri hendaknya tak diterapkan karena melanggar hak asasi manuÂsia (HAM). Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sempurna, sehingga tak pantas atas nama hukum manusia, kita malah mengurangi kesemÂpurnaan ciptaan-Nya. Kalaupun sebagian manusia berlaku jahat, masih ada banyak hukuman lain yang bisa diterapkan, selain kebiri dan hukuman mati.
Bagi kita, pemberatan hukuman hingga 20 taÂhun penjara dan juga hukuman seumur hidup bagi pedofil, sudah cukup memberi efek jera dan bisa menciutkan nyali calon pelaku kejahatan terhadap anak-anak. Bila ada hukuman tambahan, kita menÂdorong pemasangan chip pada mantan penjahat seksual dan pelaku kekerasan pada anak-anak agar pergerakan mereka bisa terus dipantau dan bisa dicegah ketika ingin mengulangi kejahatannya.
Selain itu, proses rehabilitasi terhadap pelaku dan juga korban perlu dilakukan. Keluarga dan maÂsyarakat juga harus lebih peduli pada upaya perlindÂungan anak-anak dari berbagai tindak kekerasan. (*)
Bagi Halaman