JAKARTA, TODAY—Di tengah perdebatan panjang soal sanksi dan siapa yang mengeksekusi keÂbiri pelaku kejaÂhatan seksual, MarÂkas Besar (Mabes) Polri memberiÂkan kejutan. Polri menyatakan siap memberikan banÂtuan dalam proses eksekusi pengeÂbirian kimiawi terÂhadap terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
“Kalau berkaiÂtan dengan kebiri kimia tentunya (eksekutor bekerjasama) dengan Kementerian Kesehatan, misalnya. Kami juga punya Pusdokkes (Pusat Kedokteran dan Kesehatan) yang juga siap apaÂbila dimintai bantuan untuk melaksanakan
eksekusi ini,†kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur JenÂderal Boy Rafli Amar di Jakarta, Jumat (27/5/2016).
Dalam hal ini, yang berperan seÂbagai eksekutor adalah kejaksaan. Setelah perkara berkekuatan hukum tetap, jaksa akan meminta bantuÂan pihak yang berkompeten untuk melakukan hukuman kebiri kimia itu. “Saya ilustrasikan hukuman mati saja. Jika dijatuhkan hukuman mati, pihak Kejaksaan minta bantuan kepada PolÂri untuk mengeksekusi,†ujar mantan Kepala Kepolisian Daerah Banten itu.
Boy juga mengatakan, hukuman kebiri tidak serta-merta dijatuhkan pada peradilan tahap pertama. Hal tersebut baru bisa dilakukan ketika perkara sudah berkekuatan hukum tetap. “Tentunya upaya hukum yang dapat dilakukan terdakwa itu tetap berjalan normal. Apakah ingin bandÂing, apakah ingin kasasi, itu adalah upaya hukum,†ujarnya.
Boy mengatakan proses hukum terhadap pelaku kejahatan seksual anak tetap dilakukan sebagaimana pada perkara biasa. Artinya, segala tahapannya masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. “Kemudian apakah kepada terdakwa diberikan hukuman tamÂbahan atau tidak, terkait dengan masalah kebiri kimia ataupun pembeÂrian alat deteksi elektronik, itu adalah keputusan dari hakim,†kata Boy.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan pihak yang akan melakÂsanakan kebiri masih jadi perdebatan. Perdebatan tersebut didasari kabar adanya sejumlah dokter yang enggan terlibat dalam eksekusi hukuman ini.
Yasonna mengatakan para dokter itu enggan terlibat karena bertugas unÂtuk menyembuhkan, bukan sebaliknya. Itu juga sudah termasuk dalam sumpÂah profesi dari para dokter. “Teknisnya memang menjadi perdebatan karena dokter kan menyembuhkan bukan memberi rasa sakit,†ujar Yasonna.
Menurut Yasonna, tugas dan fungsi dokter tersebut memang menÂjadi perdebatan tapi pada akhirnya dokter juga merupakan warga negara yang harus mengikuti aturan yang suÂdah ditetapkan oleh pemerintah.
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengimbau para dokter di Indonesia untuk tidak ragu menÂjalankan hukuman kebiri bagi terpiÂdana kasus kekerasan anak.
Menurut Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, dasar hukum penetapan hukuman kebiri telah ada setelah PerÂaturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perlindungan Anak ditandatangani Presiden Joko Widodo, Rabu (25/5/2016). Dokter pun diimbau tak perlu merasa takut untuk menerapÂkan peraturan tersebut.
“Sesungguhnya dengan adanya ketentuan perundangan, dokter pun tidak harus merasa bersalah dan disÂalahkan ketika harus mengeksekusi. Nanti pelaksanaan hukuman tamÂbahan kebiri, jadi dokter tidak perlu merasa bersalah. Undang-undang memberikan alasan pemaaf untuk itu,†tutur Prasetyo di Kejagung, JaÂkarta, Jumat (27/5/2016).
Prasetyo juga berkata bahwa penerapan Perppu Perlindungan Anak akan dibedakan kepada para pelaku kekerasan seksual.
(Yuska Apitya Aji)
Bagi Halaman