Diskusi-Pimpinan-KPK-Dengan-Wartawan-290316-Hma-5JAKARTA, TODAY—Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahkamah Agung (MA), Nurhadi menyangkal keterlibatan dirinya dalam dugaan suap perkara di PN Jakarta Pusat. Bantahan ini disampaikan Nurhadi dalam pemeriksaan oleh Komite Etik MA, Jumat (27/5/2016).

“Saat pemerik­saan Pak Nurhadi bilang tidak punya hubungan dengan pihak-pihak dalam perkara itu,” ujar juru bicara MA Su­hadi saat dihubungi, Jumat (27/5/2016). Suhadi mengatakan, Komite Etik MA sengaja dibentuk untuk mengklari­fikasi keterlibatan Nurhadi dalam dugaan suap perkara di PN tersebut.

Sementara itu, hingga saat ini dia belum mengetahui status kepegawaian Nurhadi di MA. Padahal Nurhadi diketahui sudah tak ma­suk kerja hampir satu bulan lamanya.

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil apabila seseorang tak masuk kerja dalam jangka waktu tertentu bisa dikenai sanksi ringan, sedang, berat hingga pemecatan. “Saya tidak cek Pak Nurhadi masuk atau tidak karena itu bukan kewenangan saya. Kalau merujuk aturan itu mestinya ada sanksi tapi saya belum tahu,” katanya.

Suhadi juga mengaku tak punya ke­wenangan untuk mencari keberadaan PNS MA Royani yang mendadak hilang dan dise­but-sebut sebagai sopir Nurhadi. Menurut­nya, pencarian terhadap Royani menjadi kewenangan penyidik sepenuhnya.

“Kalau ada pegawai yang tidak masuk kantor sampai berhari-hari kami tidak pu­nya aparat untuk mencari. Jadi kami serah­kan ke penyidik,” tutur Suhadi.

Ketua KPK Agus Rahardjo, menyatakan ada indikasi keterlibatan Nurhadi dalam kasus suap pengajuan Peninjauan Kembali melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

BACA JUGA :  Menu Sarapan dengan Cah Kangkung Bawang Putih yang Harum Menggugah Selera

Dugaan mencuat setelah penyidik memeriksa dua tersangka yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan, yaitu Pani­tera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan kalangan swasta bernama Doddy Arianto Supeno.

Selain itu penyidik juga telah meng­geledah kediaman dan ruang kerja Nurhadi. Penggeledahan dilakukan untuk mencari jejak tersangka dan barang bukti lain. KPK menyangka DAS menyuap Edy. Dalam OTT, KPK menyita uang sebanyak Rp50 juta dalam bentuk pecahan Rp100 ribu.

Kasus ini juga menyeret tiga anggota polisi. Ketiga polisi tersebut Andi Yulianto, Dwianto Budiawan, dan Fauzi Hadi. “Ke­tiganya diperiksa sebagai saksi untuk ter­sangka DAS (Doddy Arianto Supeno),” ujar Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Jumat (27/5/2016).

Menurut Yuyuk, ketiga polisi tersebut diminta keterangan untuk mendalami ket­erlibatan Sekretaris MA Nurhadi dalam dugaan suap tersebut. Ketiga polisi ini didu­ga mengetahui pertemuan antara Nurhadi dengan Doddy. KPK menetapkan Panitera Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution dan pihak swasta Doddy Arianto Supeno sebagai tersangka melalui operasi tangkap tangan. Dalam operasi tersebut KPK meny­ita uang Rp50 juta yang diduga terkait pen­gajuan PK atas perkara yang sedang disidan­gkan di PN Jakarta Pusat.

MA Banyak Godaan

Juru bicara MA Suhadi tak menampik banyaknya pihak yang ingin mempengaruhi putusan hakim dalam suatu perkara. Berb­agai cara pun dilakukan, salah satunya den­gan menyuap hakim.

BACA JUGA :  Resep Membuat Tumis Tahu Kuning dan Tauge, Lauk Praktis dan Sederhana di Tanggal Tua

“Banyak pihak yang mempengaruhi agar putusannya sesuai dengan yang di­inginkan. Imbalannya pasti dengan uang atau mungkin fasilitas lain,” ujar Suhadi.

Tak hanya hakim, pihak panitera hingga staf di lembaga peradilan pun tak luput dari jerat korupsi tersebut. Suhadi menyebut­kan, pihak yang ingin menyuap ini biasan­ya mengajukan permintaan melalui calo perkara yang ada di lembaga peradilan.

Permintaannya pun beragam, mulai dari pengaturan majelis hakim, merekaya­sa saksi, hingga munculnya tarif tertentu untuk mempercepat atau memperlambat proses putusan sebuah perkara.

Lebih lanjut Suhadi menuturkan, bukan pekerjaan mudah mengawasi tiap aktivitas yang dilakukan hakim. Sebab hal itu telah menjadi tanggung jawab ketua pengadilan negeri setempat. Perkembangan teknologi saat ini pun, kata dia, semakin mempermu­dah sejumlah pihak yang ingin mempenga­ruhi putusan hakim.

Tanpa perlu bertatap muka, kedua pi­hak bisa melakukan transaksi melalui sam­bungan telepon atau surat elektronik. Na­mun kemudahan ini justru menjadi kendala bagi pihak MA lantaran tak bisa mendeteksi transaksi yang dilakukan kedua pihak. “Akh­irnya baru ketahuan setelah KPK menang­kap dan memberikan bukti kalau ada per­cakapan itu di telepon,” katanya.

Berbagai upaya perbaikan di lingkun­gan lembaga peradilan diakui Suhadi telah dilakukan secara maksimal. Mulai dari per­baikan modul kerja bagi hakim hingga pe­nyusunan kode etik..

(Yuska Apitya Aji

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================