093716200_1463501822-20160517--Menkopolhukam-Luhut-Binsar-Pandjaitan-Jakarta--Herman-Zakharia-03JAKARTA, TODAY—Isu ke­bangkitan komunisme kian panas. Para keturunan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) terus mendesak pemerintah agar meminta maaf atas peris­tiwa 1965. Sementara masyara­kat anti komunis kian gencar melakukan penolakan.

Namun, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan me­minta ormas tidak bertindak represif dalam memberantas komunisme. Luhut menyebut Indonesia menjunjung tinggi sistem demokrasi, sehingga ti­dak bisa sembarangan menin­dak begitu saja.

“Kekerasan enggak boleh. Misalnya ada baju-baju tulisan PKI, ya kita juga enggak boleh represif karena nanti orang luar lihat kita, mereka bilang kita kan negara demokrasi tapi kok malah jadi otoriter,” ujar Luhut di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (30/5/2016).

Luhut juga meminta kepa­da seluruh ormas di Indonesia untuk tidak melakukan aksi sweeping terkait paham komu­nis. Sebab hal itu tidak diber­narkan hukum. “Enggak boleh sweeping. Sekarang kita tegas itu enggak boleh.

Di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 juga sudah dibilang bukan hanya komunis tapi ormas yang enggak beride­ologi Pancasila pada waktunya akan kita tertibkan,” tegasnya.

“Jadi sweeping enggak boleh. Ke­kerasan enggak boleh. Di TR Kapolri sudah ada dan sudah jelas, jadi enggak boleh tuh. Kita harus mengarahkannya dengan cantik,” tutup Luhut.

Sebelumnya, ribuan anggota gabun­gan berbagai organisasi masyarakat (or­mas) berunjuk rasa di Balai Kota Suka­bumi, Jawa Barat, sekira pukul 10.30 WIB. Mereka mengenakan seragam masing-masing organisasi dan mem­bawa poster atau tulisan berisi menolak paham komunis.

Ada beberapa poin yang disampai­kan perwakilan massa ormas. Di an­taranya menolak dan siap perang ter­hadap paham dan organisasi komunis. Pemerintah juga harus lebih tegas dan waspada terhadap bahaya laten komu­nis dan organisasinya.

Simposium Bela Pancasila

Sementara itu, di Jakarta simposium nasional akan kembali digelar atas re­spons isu kebangkitan PKI. Tema yang diusung dalam simposium ini adalah “Mengamankan Pancasila dari Bahaya PKI dan Ideologi Lain”.

Ketua pelaksana acara, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan bahwa simposium ini bertujuan meny­elamatkan Pancasila dan NKRI. Hal ini diucapkannya di konferensi pers Simpo­sium dan Apel Akbar yang dilaksanakan di Dewan Dakwah Indonesia, Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

“Inti dari simposium ini ialah meny­elamatkan Pancasila dan NKRI dari pa­ham yang tidak jelas itu. Yang penting, seluruh komponen bangsa meningkat­kan kewaspadaan terhadap ancaman-ancaman Pancasila, yang ingin meng­gangu pembangunan nasional. Kedua, perlunya mengangkat kembali pendidi­kan Pancasila baik formal, informal dan nonformal,” ujar Kiki, Senin (30/5/2016).

Kiki melanjutkan, ide simposium ini berangkat dari keprihatinan atas memusarnya Pancasila sebagai ideologi negara. Ia melihat, belakangan waktu muncul fenomena kebangkitan PKI.

Hal itu ditandai dengan adanya be­berapa festival, maraknya penggunaan atribut palu arit, adanya petisi untuk menghancurkan Monumen Pancasila Sakti oleh Shinta Miranda dan adanya kelompok yang menyanyikan lagu “Gen­jer-Genjer” pada festival sastra di TIM.

Simposium ini akan digelar pada 1-2 Juni nanti, bertempat di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Kiki mengaku juga akan turut mengundang pihak yang sebelum­nya sudah menggelar Simposium Peny­elesaian Tragedi ‘65 yang sevelumnya sudah dilakukan. “Nanti Kontras akan diundang, Imparsial diundang, Agus Wi­djojo diundang, YPKP juga. Bejo Untung juga. Kita lihat, mereka akan datang juga,” ujar Kiki.

Simposium ini akan digelar dengan membahas PKI dalam lima aspek, yaitu ideologi, kesejarahan, agama dan kon­stitusi. Seperti simposium sebelumnya, pada simposium ini akan dihasilkan satu rekomendasi.

Nantinya rekomendasikan tersebut akan dibahas kembali dengan rekomen­dasi yang sudah dihasilkan sebelumnya. “Waktu Pak Luhut datang ke PPAD (Per­satuan Pernawirawan Angkatan Darat), kita usulkan untuk ditahan dulu hasil sim­posium yang kemarin. Nanti digabung­kan dengan rekomendasi ini. Panitia su­dah siap untuk duduk bersama berdialog untuk finalisasi rekomendasi,” ujar Kiki.

Setelah simposium selesai digelar, pihak yang terlibat dalam acara ini akan menggelar Apel Siaga Nasional pada Ju­mat (3/6) siang bertempat di Monumen Nasional, Jakarta. Pihak yang terlibat dalam rangkaian acara ini dipelopori oleh Gerakan Bela Negara, berbagai ormas berlandaskan Pancasila, ormas Islam dan berbagai organisasi purnawi­rawan TNI-Polri.

BACA JUGA :  Menu Sarapan dengan Cah Kangkung Bawang Putih yang Harum Menggugah Selera

Dalam Simposium Membedah Trage­di 1965 yang digelar pada medio April lalu, disampaikan adanya kuburan mas­sal yang tersebar di Indonesia. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) ‘65 kemudian menyampaikan data se­mentara sudah ditemukan 122 titik ku­buran massal.

Kemudian YPKP ‘65 mulai bergerak mengumpulkan data dari kuburan massal yang tersebar tersebut. Pemerintah, me­lalui Menko Polhukam sendiri ingin men­getahui jumlah pasti korban tragedi 65.

Namun, wacana pembongkaran kuburan korban tragedi ‘65 mendapat­kan tentangan dari kalangan masyara­kat. Letjen TNI Purn Kiki Syahnakri menyatakan penolakannya. Ia ber­pendapat, wacana ini dapat memicu konflik sosial. “Lalu ada rekomendasi dari simposium kemarin, untuk mem­bongkar kuburan. Ini sangat berbahaya, bisa memicu konflik horizontal. Justru simposium ini untuk meredam konflik seperti itu,” ujar Kiki.

Sebanyak 70 organisasi akan turut serta dalam simposium nasional ber­tema “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain”. Kiki mengatakan, simposium yang akan digelar ini dapat meredam konflik. “Itu dia. Justru simposium ini untuk mencegah jangan sampai hasil simposium Aryaduta kemarin agar tidak jadi konflik horizontal,” ujar Kiki.

Tak Ambil Pusing

Menko Polhukam Luhut Pandjai­tan tak mau ambil pusing soal polemik penggalian makam terkait tragedi ‘65. Makam-makam itu kabarnya berisi ku­buran massal. Namun ada pihak yang menolak adanya penggalian makam. “Kalau ramai-ramai bilang nggak akan digali ya gak digali. Kan nggak susah, gitu saja repot,” jelas Luhut.

Menurut Luhut, dirinya sudah bi­lang berkali-kali bahwa masalahnya, dia tidak percaya ada sampai 400 ribu orang yang mati terkait tragedi ‘65. “Itu saja. Dan ini bukan masalah salah benar, sekarang bukan masalah kiri kanan ini kemanusiaan saja. Kita ingin luruskan semua biar di kemudian hari nggak di­ingat-ingat. Masa generasi kamu masih mau. Cukup di generasi saya saja. Kita coba meluruskan semua,” tegas dia.

(Alfian)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================