Saat ini partai yang masih belum satu suara dengan partai lainnya ialah Partai Gerindra dan Partai Keadilan Se­jahtera. Dua partai ini masih menolak kewajiban mundur anggota DPR yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Menurut Firman, Gerindra dan PKS bisa menggunakan pihak ketiga untuk melakukan judicial review. “Silakan saja, sebab DPR tidak boleh ajukan (ju­dicial review),” katanya di gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Meski begitu, Firman yakin, tidak akan ada pihak yang mengajukan ju­dicial review. “Saya rasa, masyarakat setuju putusan (anggota DPR) mun­dur,” tuturnya.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Lukman Edy menambahkan, persepsi masyarakat situasional. Saat ini tingkat ke­percayaan masyarakat terhadap anggota dewan rendah. Maka, banyak kesempa­tan anggota dewan yang dibatasi. “Tidak apa, kami ikuti saja seperti itu,” ujarnya.

Dalam pembahasan RUU Pilkada, ada dua poin yang menjadi perdebatan alot. Pertama soal kewajiban mun­durnya anggota DPR, DPD, dan DPRD serta syarat dukungan bagi partai poli­tik dan calon perseorangan.

Pengamat Politik IPB, Yusfitriadi berpendapat, bila money politic yang disanksikan dititikberatkan pada pelaku pemberi imbalan atau bing­kisan. Pasalnya, tanpa ada yang mem­beri, uang tidak akan sampai kepada si penerima imbalan.

BACA JUGA :  Rendang Ayam Kampung, Menu Lezat untuk Santapan Keluarga Tercinta

Seperti definisi politik uang, yakni memberikan uang, barang, jasa atau menjanjikan sesuatu dalam rangka mempengaruhi pemilih. Dari definisi tersebut, terlihat jelas bila sanksi poli­tik uang hanya berlaku bagi pemberi dan bukan pada penerima. Karena si penerima uang belum tentu akan ter­pengaruh.

“Tanpa ada si pemberi, tidak mungkin ada si penerima imbalan,” tegas Yusfitriadi saat dihubungi Bogor Today, kemarin.

Sanksi yang diberikan kepada pelaku money politic pun harus te­gas. Sanksi tersebut, menurutnya, bisa berupa denda uang dalam jumlah be­sar atau didiskualifikasinya peserta pe­milu. Namun dalam konteks ini, bukti praktek money politic harus kongkrit dan tidak mengada-ada.

Sementara itu, Pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Ucok Sky Khadafi men­gatakan, karena biaya politik semakin mahal, maka politik uang sangat kuat dalam perpolitikan Indonesia. Menu­rutnya hal ini disebabkan karena tidak ada transparansi dalam proses politik.

BACA JUGA :  Bejat, Ayah Perkosa Anak Kandung di Serang hingga Hamil dan Melahirkan

Saat ini, lanjut dia, hubungan dunia politik dan dunia usaha begitu mesra. Hal ini menjadi implikasi dari semakin mahalnya biaya politik. Karena biaya politik mahal maka perangkat politik pasti mencari pengusaha yang memi­liki uang banyak.

Dalam hal ini, para pengusaha ber­peran sebagai sponsor salah satu ak­tor politik. Tentunya, ada politik balas budi nantinya antara aktor politik yang mendapatkan kekuasaan dengan si pen­gusaha yang menyokong dana kampa­nye. “Alhasil, aktor politik tersebut me­mainkan dana sponsor dari pengusaha agar tidak mengecewakan pihak-pihak terkait. Salah satunya, dengan mengha­lalkan bagi-bagi bingkisan,” tegasnya.

Menurut Ucok, pembiayan du­nia usaha di lingkungan politik harus menjadi transparan. Hubungan antara pengusaha dengan politik harus di­lakukan dengan proses politik terbuka. “Pengusaha yang menyumbang kepada politisi tertentu harus terbuka kepent­ingannya. Karena kelompok pengusaha ini juga harus diakui dalam konstitusi,” tandasnya.(*)

 

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================