20131216korupsi-bawa-uang-edtJANGAN main-main dengan politik uang saat pemilihan kepala daerah. Sebab, para pelaku money politics alias politik uang bisa dipenjarakan selama tiga tahun.

PATRICK|YUSKA APITYA AJI
[email protected]

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas UU No­mor 1 Tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.

Salah satu pasal yang disepakati antara DPR dan pemerintah, yaitu penjelasan mengenai politik uang, terma­suk sanksi serta penguatan wewenang Badan Pengawas Pemilu. “DPR dan pemerin­tah sepakat bila terpenuhi un­sur memberikan uang untuk mempengaruhi penyelenggara atau pemilih dikenai pidana atau denda,” kata Ketua Komi­si Pemerintahan DPR, Rambe Kamarulzaman saat menyam­paikan laporannya di sidang paripurna, Jumat (4/6/2016).

Rambe menambahkan, sedangkan bagi calon dikenakan diskualifikasi. Ke­tentuan tersebut tertuang dalam Pasal 73 yang menyebut larangan calon mau­pun tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lain untuk mempen­garuhi penyelenggara atau pemilih. Calon yang terbukti melanggar dapat dibatalkan pencalonannya oleh KPU. Bagi tim kampanye yang terbukti me­langgar, dikenai hukuman pidana atau denda. Bagi pemberi uang maupun penerima, dapat diancam hukuman penjara paling singkat 36 bulan dan maksimal 72 bulan, denda Rp 200 juta-Rp 1 miliar.

Dalam menangani masalah ini, DPR dan pemerintah sepakat untuk me­ningkatkan wewenang Bawaslu. Pasal 135 Undang-Undang Pilkada dijelaskan Bawaslu Provinsi dapat menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran politik uang dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja. Pemeriksaan dilaku­kan secara terbuka sesuai ketentuan perundang-undangan.

Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib me­nindaklanjuti putusan Bawaslu dengan menerbitkan putusan paling lambat tiga hari kerja. Keputusan KPU dapat beru­pa sanksi pembatalan pasangan calon. Calon yang menerima sanksi tersebut dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung paling lambat tiga hari sejak keputusan KPU keluar.

Mahkamah Agung diberikan waktu selama 14 hari guna memutus hukum pelanggaran tersebut. “Tentang Bawas­lu, DPR dan pemerintah sepakat untuk dapat memutus pidana politik uang,” kata Rambe.

Wajib Mundur

Poin krusial yang disepakati ialah anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri wajib mundur. Meski telah disepakati, dalam sidang ini, dua fraksi dari Gerindra dan Partai Keadi­lan Sejahtera tetap menyampaikan pendapatnya perihal sikap yang ber­beda. Dua fraksi ini tetap berpendapat bahwa anggota Dewan cukup mengaju­kan cuti.

BACA JUGA :  Timnas Indonesia Lolos ke Perempat Final Piala Asia U-23 2024

Menurut anggota Fraksi PKS, Al Muzammil Yusuf, seharusnya ada per­lakuan yang setara antara kepala daerah inkumben dan anggota Dewan. “Pada tahun ini, gubernur cukup cuti, karena itu anggota DPR juga tidak perlu mun­dur,” katanya di Gedung DPR, Jakarta.

Menurut Muzammil, yang harus mundur ialah TNI, pegawai negeri sip­il, dan Polri. Anggota Dewan tidak bisa disamakan dengan mereka karena ti­dak akan menimbulkan konflik kepent­ingan.

Senada dengan Muzammil, anggota Fraksi Partai Gerindra, Azikin Solthan, meminta pimpinan sidang memper­timbangkan masukan dari partainya. Gerindra berpendapat, anggota Dewan tidak perlu mundur jika akan men­calonkan diri. “Anggota TNI dan Polri yang harus mundur,” tuturnya.

Meski begitu, pada akhirnya si­dang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan itu tetap mengetuk palu, tanda disahkannya Un­dang-Undang Pilkada ini.

Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan pihak-pihak yang masih keberatan dengan isi Undang-Undang Pemilihan Kepala Dae­rah dipersilakan untuk mengajukan ju­dicial review ke Mahkamah Agung.

Saat ini partai yang masih belum satu suara dengan partai lainnya ialah Partai Gerindra dan Partai Keadilan Se­jahtera. Dua partai ini masih menolak kewajiban mundur anggota DPR yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Menurut Firman, Gerindra dan PKS bisa menggunakan pihak ketiga untuk melakukan judicial review. “Silakan saja, sebab DPR tidak boleh ajukan (ju­dicial review),” katanya di gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Meski begitu, Firman yakin, tidak akan ada pihak yang mengajukan ju­dicial review. “Saya rasa, masyarakat setuju putusan (anggota DPR) mun­dur,” tuturnya.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Lukman Edy menambahkan, persepsi masyarakat situasional. Saat ini tingkat ke­percayaan masyarakat terhadap anggota dewan rendah. Maka, banyak kesempa­tan anggota dewan yang dibatasi. “Tidak apa, kami ikuti saja seperti itu,” ujarnya.

Dalam pembahasan RUU Pilkada, ada dua poin yang menjadi perdebatan alot. Pertama soal kewajiban mun­durnya anggota DPR, DPD, dan DPRD serta syarat dukungan bagi partai poli­tik dan calon perseorangan.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Pengamat Politik IPB, Yusfitriadi berpendapat, bila money politic yang disanksikan dititikberatkan pada pelaku pemberi imbalan atau bing­kisan. Pasalnya, tanpa ada yang mem­beri, uang tidak akan sampai kepada si penerima imbalan.

Seperti definisi politik uang, yakni memberikan uang, barang, jasa atau menjanjikan sesuatu dalam rangka mempengaruhi pemilih. Dari definisi tersebut, terlihat jelas bila sanksi poli­tik uang hanya berlaku bagi pemberi dan bukan pada penerima. Karena si penerima uang belum tentu akan ter­pengaruh.

“Tanpa ada si pemberi, tidak mungkin ada si penerima imbalan,” tegas Yusfitriadi saat dihubungi Bogor Today, kemarin.

Sanksi yang diberikan kepada pelaku money politic pun harus te­gas. Sanksi tersebut, menurutnya, bisa berupa denda uang dalam jumlah be­sar atau didiskualifikasinya peserta pe­milu. Namun dalam konteks ini, bukti praktek money politic harus kongkrit dan tidak mengada-ada.

Sementara itu, Pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Ucok Sky Khadafi men­gatakan, karena biaya politik semakin mahal, maka politik uang sangat kuat dalam perpolitikan Indonesia. Menu­rutnya hal ini disebabkan karena tidak ada transparansi dalam proses politik.

Saat ini, lanjut dia, hubungan dunia politik dan dunia usaha begitu mesra. Hal ini menjadi implikasi dari semakin mahalnya biaya politik. Karena biaya politik mahal maka perangkat politik pasti mencari pengusaha yang memi­liki uang banyak.

Dalam hal ini, para pengusaha ber­peran sebagai sponsor salah satu ak­tor politik. Tentunya, ada politik balas budi nantinya antara aktor politik yang mendapatkan kekuasaan dengan si pen­gusaha yang menyokong dana kampa­nye. “Alhasil, aktor politik tersebut me­mainkan dana sponsor dari pengusaha agar tidak mengecewakan pihak-pihak terkait. Salah satunya, dengan mengha­lalkan bagi-bagi bingkisan,” tegasnya.

Menurut Ucok, pembiayan du­nia usaha di lingkungan politik harus menjadi transparan. Hubungan antara pengusaha dengan politik harus di­lakukan dengan proses politik terbuka. “Pengusaha yang menyumbang kepada politisi tertentu harus terbuka kepent­ingannya. Karena kelompok pengusaha ini juga harus diakui dalam konstitusi,” tandasnya.(*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================