JANGAN main-main dengan politik uang saat pemilihan kepala daerah. Sebab, para pelaku money politics alias politik uang bisa dipenjarakan selama tiga tahun.
PATRICK|YUSKA APITYA AJI
[email protected]
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas UU NoÂmor 1 Tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.
Salah satu pasal yang disepakati antara DPR dan pemerintah, yaitu penjelasan mengenai politik uang, termaÂsuk sanksi serta penguatan wewenang Badan Pengawas Pemilu. “DPR dan pemerinÂtah sepakat bila terpenuhi unÂsur memberikan uang untuk mempengaruhi penyelenggara atau pemilih dikenai pidana atau denda,†kata Ketua KomiÂsi Pemerintahan DPR, Rambe Kamarulzaman saat menyamÂpaikan laporannya di sidang paripurna, Jumat (4/6/2016).
Rambe menambahkan, sedangkan bagi calon dikenakan diskualifikasi. KeÂtentuan tersebut tertuang dalam Pasal 73 yang menyebut larangan calon mauÂpun tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lain untuk mempenÂgaruhi penyelenggara atau pemilih. Calon yang terbukti melanggar dapat dibatalkan pencalonannya oleh KPU. Bagi tim kampanye yang terbukti meÂlanggar, dikenai hukuman pidana atau denda. Bagi pemberi uang maupun penerima, dapat diancam hukuman penjara paling singkat 36 bulan dan maksimal 72 bulan, denda Rp 200 juta-Rp 1 miliar.
Dalam menangani masalah ini, DPR dan pemerintah sepakat untuk meÂningkatkan wewenang Bawaslu. Pasal 135 Undang-Undang Pilkada dijelaskan Bawaslu Provinsi dapat menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran politik uang dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja. Pemeriksaan dilakuÂkan secara terbuka sesuai ketentuan perundang-undangan.
Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib meÂnindaklanjuti putusan Bawaslu dengan menerbitkan putusan paling lambat tiga hari kerja. Keputusan KPU dapat beruÂpa sanksi pembatalan pasangan calon. Calon yang menerima sanksi tersebut dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung paling lambat tiga hari sejak keputusan KPU keluar.
Mahkamah Agung diberikan waktu selama 14 hari guna memutus hukum pelanggaran tersebut. “Tentang BawasÂlu, DPR dan pemerintah sepakat untuk dapat memutus pidana politik uang,†kata Rambe.
Wajib Mundur
Poin krusial yang disepakati ialah anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri wajib mundur. Meski telah disepakati, dalam sidang ini, dua fraksi dari Gerindra dan Partai KeadiÂlan Sejahtera tetap menyampaikan pendapatnya perihal sikap yang berÂbeda. Dua fraksi ini tetap berpendapat bahwa anggota Dewan cukup mengajuÂkan cuti.
Menurut anggota Fraksi PKS, Al Muzammil Yusuf, seharusnya ada perÂlakuan yang setara antara kepala daerah inkumben dan anggota Dewan. “Pada tahun ini, gubernur cukup cuti, karena itu anggota DPR juga tidak perlu munÂdur,†katanya di Gedung DPR, Jakarta.
Menurut Muzammil, yang harus mundur ialah TNI, pegawai negeri sipÂil, dan Polri. Anggota Dewan tidak bisa disamakan dengan mereka karena tiÂdak akan menimbulkan konflik kepentÂingan.
Senada dengan Muzammil, anggota Fraksi Partai Gerindra, Azikin Solthan, meminta pimpinan sidang memperÂtimbangkan masukan dari partainya. Gerindra berpendapat, anggota Dewan tidak perlu mundur jika akan menÂcalonkan diri. “Anggota TNI dan Polri yang harus mundur,†tuturnya.
Meski begitu, pada akhirnya siÂdang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan itu tetap mengetuk palu, tanda disahkannya UnÂdang-Undang Pilkada ini.
Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan pihak-pihak yang masih keberatan dengan isi Undang-Undang Pemilihan Kepala DaeÂrah dipersilakan untuk mengajukan juÂdicial review ke Mahkamah Agung.
Saat ini partai yang masih belum satu suara dengan partai lainnya ialah Partai Gerindra dan Partai Keadilan SeÂjahtera. Dua partai ini masih menolak kewajiban mundur anggota DPR yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Menurut Firman, Gerindra dan PKS bisa menggunakan pihak ketiga untuk melakukan judicial review. “Silakan saja, sebab DPR tidak boleh ajukan (juÂdicial review),†katanya di gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Meski begitu, Firman yakin, tidak akan ada pihak yang mengajukan juÂdicial review. “Saya rasa, masyarakat setuju putusan (anggota DPR) munÂdur,†tuturnya.
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Lukman Edy menambahkan, persepsi masyarakat situasional. Saat ini tingkat keÂpercayaan masyarakat terhadap anggota dewan rendah. Maka, banyak kesempaÂtan anggota dewan yang dibatasi. “Tidak apa, kami ikuti saja seperti itu,†ujarnya.
Dalam pembahasan RUU Pilkada, ada dua poin yang menjadi perdebatan alot. Pertama soal kewajiban munÂdurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD serta syarat dukungan bagi partai poliÂtik dan calon perseorangan.
Pengamat Politik IPB, Yusfitriadi berpendapat, bila money politic yang disanksikan dititikberatkan pada pelaku pemberi imbalan atau bingÂkisan. Pasalnya, tanpa ada yang memÂberi, uang tidak akan sampai kepada si penerima imbalan.
Seperti definisi politik uang, yakni memberikan uang, barang, jasa atau menjanjikan sesuatu dalam rangka mempengaruhi pemilih. Dari definisi tersebut, terlihat jelas bila sanksi poliÂtik uang hanya berlaku bagi pemberi dan bukan pada penerima. Karena si penerima uang belum tentu akan terÂpengaruh.
“Tanpa ada si pemberi, tidak mungkin ada si penerima imbalan,†tegas Yusfitriadi saat dihubungi Bogor Today, kemarin.
Sanksi yang diberikan kepada pelaku money politic pun harus teÂgas. Sanksi tersebut, menurutnya, bisa berupa denda uang dalam jumlah beÂsar atau didiskualifikasinya peserta peÂmilu. Namun dalam konteks ini, bukti praktek money politic harus kongkrit dan tidak mengada-ada.
Sementara itu, Pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Ucok Sky Khadafi menÂgatakan, karena biaya politik semakin mahal, maka politik uang sangat kuat dalam perpolitikan Indonesia. MenuÂrutnya hal ini disebabkan karena tidak ada transparansi dalam proses politik.
Saat ini, lanjut dia, hubungan dunia politik dan dunia usaha begitu mesra. Hal ini menjadi implikasi dari semakin mahalnya biaya politik. Karena biaya politik mahal maka perangkat politik pasti mencari pengusaha yang memiÂliki uang banyak.
Dalam hal ini, para pengusaha berÂperan sebagai sponsor salah satu akÂtor politik. Tentunya, ada politik balas budi nantinya antara aktor politik yang mendapatkan kekuasaan dengan si penÂgusaha yang menyokong dana kampaÂnye. “Alhasil, aktor politik tersebut meÂmainkan dana sponsor dari pengusaha agar tidak mengecewakan pihak-pihak terkait. Salah satunya, dengan menghaÂlalkan bagi-bagi bingkisan,†tegasnya.
Menurut Ucok, pembiayan duÂnia usaha di lingkungan politik harus menjadi transparan. Hubungan antara pengusaha dengan politik harus diÂlakukan dengan proses politik terbuka. “Pengusaha yang menyumbang kepada politisi tertentu harus terbuka kepentÂingannya. Karena kelompok pengusaha ini juga harus diakui dalam konstitusi,†tandasnya.(*)
Bagi Halaman